PEKAN BIASA XI
Rabu, 15 Juni 2022
Bacaan: 2Raja-Raja 2: 1.6-14; Matius 6: 1-6.16-18
Hidup bersama atau tinggal bersama tidak bersifat kekal dan abadi. Ada waktunya untuk berpisah. Perpisahan itu bisa alami, tetapi juga bisa non alami. Perpisahan alami adalah perpisahan yang dapat terjadi karena pergantian atau perpindahan tugas atau karena kematian. Sedangkan perpisahan non alami adalah perpisahan yang terpaksa dilakukan atau perpisahan yang mau tidak mau dijalani karena kebersamaan hidup tidak lagi dapat dipertahankan. Hidup bersama atau tinggal bersama dirasakan sudah menjadi beban. Karena itu kebersamaan hidup lebih baik dipisahkan atau diceraikan.
Dalam bacaan I hari ini, kita mendengar tentang perpisahan yang terjadi antara Elia dan Elisa. Elisa sebagai anak yang akan mengganti dan meneruskan tugas kenabian bapanya Elia sama sekali tidak menghendaki perpisahan itu. Maka dalam perjalanan dari Gilgal menuju Sungai Yordan, Elia berkata kepada Elisa: “Baiklah engkau tinggal di sini, sebab Tuhan menyuruh aku ke Sungai Yordan.” Jawab Elisa: “Demi Tuhan yang hidup dan demi hidupmu sendiri, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan dikau” (2Raj 2: 1.6).
Mendengar kata-kata itu, mereka masih terus berjalan bersama-sama sampai melewati Sungai Yordan. Di Sungai Yordan itu mereka berjalan di tanah kering, karena Elia memukul sungai itu dengan jubahnya yang digulung, sehingga Sungai Yordan itu terbelah atau terbagi menjadi dua bagian dan mereka berjalan di tanah yang kering. Sampai di seberang, berkatalah Elia kepada Elisa: “Mintalah apa yang hendak kulakukan bagimu, sebelum aku terangkat dari padamu.” Jawab Elisa: “Semoga aku mewarisi dua bagian dari rohmu” (2Raj 2: 8-9).
Terhadap permintaan Elisa itu, Elia berkata: “Apa yang kamu minta itu sukar! Tetapi jika engkau dapat melihat aku terangkat dari padamu, akan terjadilah bagimu seperti yang kau minta. Jika tidak, ya tidak akan terjadi”. Ketika mereka berjalan terus sambil bercakap-cakap, tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya. Lalu naiklah Elia ke surga dalam angin badai. Melihat itu berteriaklah Elisa: “Bapaku! Bapaku!”. Kemudian Elia tidak kelihatan lagi oleh Elisa sampai ia pulang dengan membawa jubah Elia yang telah terjatuh. Dengan jubah yang sama itulah, ia membela Sungai Yordan. Sehingga ia menyeberang sebagaimana sebelumnya ketika ia masih bersama Elia bapanya (2Raj 2: 10-14).
Isi Permintaan Elisa
Perpisahan antara Elia dan Elisa dalam kisah suci di atas bukanlah suatu perpisahan alami atau non alami atau terpaksa, tetapi suatu perpisahan superalami atau perpisahan adikodrati. Disebut perpisahan superalami atau adikodrati, karena perpisahan itu berjalan dalam bingkai rencana dan kehendak Allah atau dalam tuntunan misi dan tugas perutusan dari Tuhan.
Hal yang menarik dalam perpisahan adikodrati ini adalah permintaan Elisa terhadap Elia. Elisa meminta adanya suatu warisan sebagai kenangan dari Elia untuk dirinya. Isi permintaan itu adalah warisan dua bagian dari roh Elia. Ketika ditanya apa yang dilakukan oleh Elia bagi Elisa anaknya, tanpa ragu-ragu Elisa berkata: “Semoga aku mewarisi dua bagian dari rohmu.”
Seperti jawaban Elia, permintaan Elisa ini amat ‘sukar’, karena isi permintaannya bukan benda-benda yang kelihatan seperti uang, materi atau harta bergerak dan tidak bergerak seperti aset tanah, tetapi ‘roh’ yang melekat dengan diri atau pribadi Elia. Roh itulah yang membuat Elia hidup dan bergerak. Namun roh itulah yang diminta oleh Elisa.
Dengan kata lain yang diminta oleh Elisa adalah hal-hal rohani, semangat hidup, sikap dan prilaku yang baik, termasuk kapasitas ilahi untuk melakukan mukjizat seperti yang ada pada Elia. Ini adalah kenangan yang lebih bernilai dan berguna bagi Elisa daripada benda-benda material.
Kenangan Rohani Tidak Hancur
Seperti Elisa, hendaklah kita meninggalkan kenangan rohani apabila kita mengalami perpisahan dengan siapa saja dalam hidup. Kenangan material akan rusak, hancur dan binasa, Kenangan rohani sebaliknya tidak rusak, hancur dan binasa. Kenangan material akan cepat hilang, tetapi kenangan rohani tetap lestari dan bertahan lama dan tahan hancur dalam hidup manusia.
Untuk maksud ini, hendaklah selama hidup bersama kita benar-benar menjadi orang yang baik dan benar dalam sikap dan prilaku, dalam perkataan dan perbuatan. Kita mesti benar-benar menjadi contoh dan teladan dalam hidup. Dengan bahasa Yesus, kita mesti menjadi “garam dunia” dan “terang dunia” (Mat 5: 13-14) dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, anak cucu kita atau pelanjut generasi manusia mesti mengalami ‘kesaksian hidup” yang baik dan benar dari orang tua. Anak-anak tidak boleh tinggal jauh atau memisahkan diri dari orang tua. Dengan demikian mereka bisa menyaksikan secara langsung cara hidup orang tua yang baik dan benar. Mereka bisa melihat dan mengenal dari dekat serta belajar dan mengetahui banyak hal yang indah dan menarik pada orang tua mereka.
Melalui dinamika hidup bersama seperti ini, kenangan indah akan menjadi warisan rohani yang bertahan dalam hidup ketika kita pada suatu waktu mengalami perpisahan dengan orang lain. Apabila hal-hal positif, baik dan benar, berguna dan bermanfaat yang kita tinggalkan sebagai kenangan, perpisahan tidak menjadi sebuah peristiwa yang sedih dan menyakitkan. Hal yang membuat perpisahan menjadi beban hidup yang berat adalah sikap dan perilaku yang negatif, perkataan dan perbuatan yang buruk dalam diri dan hidup kita.
Maka marilah kita meninggalkan kenangan yang indah dan menarik bagi orang lain dalam hidup ini. Kenangan yang indah dan menarik menciptakan atau melahirkan perpisahan yang disukai dan dirindukan oleh siapa saja di dunia ini. Dengan kenangan yang indah dan menarik, kita selalu merindukan kehadiran orang yang tidak lagi tinggal bersama kita dalam hidup.
Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel