(sebatas satu perenungan penuh komat-kamit)
P. Kons Beo, SVD
Kini, telah semakin gencar gelorakan klaim demi klaim. Tuntut pengakuan tentang ini dan itu. Segala yang silam di jalur periwayatan dibangkitkan. Lalu coba disegarkan dalam tafsir historis popularistik pun simplistiknya juga. Narasi pun ditenun jadi ‘dogma kebenaran sosial.’ Yang diberi label HAK. Maka menyeruduk HAK jelas itu perbuatan melawan hukum. Bisa berurusan serius pula dalam kerangka Hak Asasi Manusia.
Tapi, siapa sebenarnya harus bicara di atas wadas legal dan autentik? Yang lalu mesti ditaati oleh pihak mana pun? Tapi rasanya sulit. Ketidakadilan itu memang harus dibenci. Namun, daya rasa tentangnya justru ‘disenangi’ untuk digelorakan dan dipompa ke dalam hati yang (dibikin) resah dan gelisah.
Tak cuma itu. Jangankan sebatas tafsiran demi tafsiran, klaim pun mesti diberi bobot dalam komparasi tak seimbang. ‘Orang kecil versus Orang Besar dan elitis.’ Seperti ‘cicak versus buaya’ begitulah.
Mesti diberi kesan kuat pada publik bahwa ada kesewenangan, ketidakadilan, dengan segala tekanan dan intimidasi. Dan kisah seperti itu mesti ditayangkan luas. Opini, tafsiran, sudut pandang (sendiri) mesti dibikin lebar tersebar.
Intinya harus ada tsunami tekanan moral dari publik di muaranya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel