(sebatas satu perenungan penuh komat-kamit)
P. Kons Beo, SVD
Kini, telah semakin gencar gelorakan klaim demi klaim. Tuntut pengakuan tentang ini dan itu. Segala yang silam di jalur periwayatan dibangkitkan. Lalu coba disegarkan dalam tafsir historis popularistik pun simplistiknya juga. Narasi pun ditenun jadi ‘dogma kebenaran sosial.’ Yang diberi label HAK. Maka menyeruduk HAK jelas itu perbuatan melawan hukum. Bisa berurusan serius pula dalam kerangka Hak Asasi Manusia.
Tapi, siapa sebenarnya harus bicara di atas wadas legal dan autentik? Yang lalu mesti ditaati oleh pihak mana pun? Tapi rasanya sulit. Ketidakadilan itu memang harus dibenci. Namun, daya rasa tentangnya justru ‘disenangi’ untuk digelorakan dan dipompa ke dalam hati yang (dibikin) resah dan gelisah.
Tak cuma itu. Jangankan sebatas tafsiran demi tafsiran, klaim pun mesti diberi bobot dalam komparasi tak seimbang. ‘Orang kecil versus Orang Besar dan elitis.’ Seperti ‘cicak versus buaya’ begitulah.
Mesti diberi kesan kuat pada publik bahwa ada kesewenangan, ketidakadilan, dengan segala tekanan dan intimidasi. Dan kisah seperti itu mesti ditayangkan luas. Opini, tafsiran, sudut pandang (sendiri) mesti dibikin lebar tersebar.
Intinya harus ada tsunami tekanan moral dari publik di muaranya.
‘Suara kritis’ mulai menyasar dan berfokus pada arogansi kekuasaan. Yang dinilai telah ‘sampai hati’ mesti menggusur dan menekan yang lemah. Iya, benarlah! Tak dilarang sedikit pun gemuruhnya suara profetik demi yang ternilai lemah, tak berdaya serta berpotensi besar jadi ‘victim.’
Demi kaum lemah dan atas nama kehidupan yang layak, siapapun mesti merasa terpanggil untuk kibarkan bendera berwarna ‘justice, peace, and integrity of creation.’ Itu bukan lagi sekedar harapan. Tetapi mesti terpatri sebagai keharusan panggilan sosial kemanusiaan.
Bagaimana pun…
Siapapun tak sekedar letuskan klaim demi klaim atas dasar ini dan itu. Apalagi atas dasar sudut pandang sendiri yang teramat subyektif. Jika hal ini yang digencarkan maka telah jadi satu kepastian bahwa ‘perang narasi, adu opini’ bakal tak terhindarkan. Dan bahkan akan nampak term-term yang bertendensi humiliastik-peyoratif dan ad hominem yang diluncurkan. Akibatnya?
Substansi dari duduk perkara segera keluar jalur yang seharusnya. Tak jadi fokus lagi.
Ada komen lepas terdengar. Klaim versus klaim bakal tetap ramai dan terus ramai. Dan di situ pasti saling merendahkan dan bahkan melukai jadi sulit terbendung. Berakibat pula pada sikap dan gesture di keseharian yang jadi makin sulit untuk beradu pandang bersua hati. Dan itu pun terasa berat untuk berujung selesai sekiranya satu pihak belum sepenuhnya dilumpuhkan (total).
Mungkin ternilai teramat spiritualistik murahan sekiranya mesti terdengar suara-suara berlevel debu jalanan. ‘Bahwa kita mesti banyak berbenah.’ siapa pun yang terpanggil untuk bersuara setidaknya, ‘tengoklah ke dalam sebelum bicara.’ Bersuara dalam iman – harapan dan kasih, itulah yang jadi sandaran dan pijakan utama.
Itu lah suara yang terdengar dalam Suara Tuhan. Itulah keadaan yang dilihat mata di dalam Mata Tuhan. Bukan hanya atas dasar kehebatan, ketenaran, kepakaran, serta segala kuat manusiawi. Tentu yang dirindukan di muaranya adalah ‘sikap tobat berjamaah, dan juga pertobatan pribadi.’
Bagaimana pun, ini sekedar satu perenungan penuh komat-kamitnya.
Namun, ‘Sayang, bila hanya angin yang mengerti….’
Verbo Dei Amorem Spiranti.
Collegio San Pietro – Roma.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel