Cepat, Lugas dan Berimbang

Gereja dan Tambang, Kontradiksi Khotbah Moral di Mimbar Agama

Ruteng, infopertama.com – Flores, pulau indah di NTT dengan Mayoritas Katolik menyimpan keindahan tiada tara, juga memiliki kekayaan energi, salah satunya panas bumi.

Penobatan Flores sebagai pulau panas bumi atau Geothermal karena memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, dengan lebih dari 30 titik yang diperkirakan memiliki daya sekitar 900 megawatt. Julukan ini diberikan secara resmi pada 19 Juni 2017 oleh Menteri ESDM melalui Surat Keputusan. 

Pemanfaatan energi panas bumi di Flores sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum SK itu ditetapkan. PLTP Ulumbu di Desa Wewo, kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai sudah beroperasi sejak 2012 tuk memenuhi kebutuhan listrik di Manggarai. Saat itu, suplai energi dari Ulumbu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Manggarai, termasuk pada beban puncak. Cahaya lampu dengan energi panas bumi mengubah wajah Manggarai, tak hanya rumah warga dan kantor pemerintah saja, gereja dan gedung-gedung milik keuskupan juga dialiri listrik dari panas bumi Ulumbu.

Namun, seiring waktu dengan bertambahnya jumlah penduduk dengan segala konsekuensinya kebutuhan listrik di Manggarai sudah tidak bisa lagi dipenuhi Ulumbu yang hanya mampu mensuplai 7,5 MW dari kebutuhan listrik Manggarai kekinian yang sudah berada di angka 13,5 MW.

Besarnya kebutuhan listrik di Manggarai menggugah pemerintah untuk melakukan pengembangan memanfaatkan potensi Panas Bumi di Poco Leok dan beberapa tempat lain di Flores. Selain itu, pengembangan pemanfaatan panas bumi juga sebagai upaya pemerintah tuk berangsur mengurangi ketergantungan pada energi konvensional, energi Fosil yang didatangkan dari luar. Energi yang jelas-jelas kotor dan tentunya merusak lingkungan sebagaimana PLTU di Ropa yang menggunakan Batu Bara dari Kalimantan.

Pemanfaatan Panas Bumi juga untuk mewujudkan Flores Mandiri Energi, mirip dengan gereja Mandiri.

Sayangnya, alih-alih didukung semua pihak, semua elemen nyatanya belakangan ini pengembangan potensi panas bumi Flores justeru mendapat penolakan. Memang, penolakan itu datang dari beberapa pihak saja yang hanya mengatasnamakan masyarakat, termasuk yang paling mengejutkan penolakan dari komunitas agama, gereja lokal gerejawi Ende dengan enam wilayah keuskupan di Nusa Tenggara termasuk keuskupan Denpasar yang dipimpin Mgr. Silvester San.

Penolakan dari kelompok gereja lokal Gerejawi Ende atau Gereja Nusa Tenggara ini membakar semangat yang sama di berbagai wilayah Nusa Tenggara. Terlebih karena gereja dan para gembalanya masih dianggap sebagai manusia setengah dewa, perwakilan Tuhan yang ada di bumi. Mereka diyakini sebagai pembela masyarakat kecil, pembela umat. Mereka dianggap memiliki kepedulian yang tinggi terhadap hak-hak ekonomi dan hak-hak lain umat.

Pada salah satu media lokal, gereja bahkan tegas mengatakan bahwa mereka tak akan diam jika tanah-tanah umat dirampas tuk pengembangan Geothermal.

Bahkan, seorang imam Katolik, Feliks Baghi, SVD pada forum Puan Floresta Bicara dengan tegas mengkafirkan orang katolik yang mendukung Geothermal di Flores.

Pernyataan Feliks Baghi ini seakan menegaskan bahwa Geothermal yang adalah energi bersih tidak sejalan dengan semangat gereja Katolik global pun lokal yang concern dengan Ekologi.

Penolakan Geothermal di Flores juga disuarakan di mimbar-mimbar gereja dalam surat gembala uskup se-Gerejawi Ende, gereja Nusa Tenggara.

Penolakan Geothermal di Flores: Sebuah Kontras yang Tajam

Di Pulau Flores, sejumlah umat dan tokoh Gereja bahkan berdiri di garis depan menolak proyek geothermal (panas bumi), seperti PLTP Ulumbu dan proyek serupa di Wae Sano. Alasan mereka jelas: proyek ini mengancam wilayah adat, sumber air, dan ketenangan spiritual masyarakat lokal. Mereka menuntut pendekatan yang lebih manusiawi dan kontekstual terhadap transisi energi.

Ironisnya, ketika umat Katolik di Flores mempertaruhkan relasi sosial dan ekologis untuk melindungi tanah mereka, institusi nasional Gereja melalui DPKWI justru menyimpan investasi besar di perusahaan batubara—simbol paling jelas dari energi kotor.

Bagaimana mungkin Gereja bersuara lantang menolak satu jenis energi (meski terbarukan) karena dianggap tidak adil, tapi justru diam saat uangnya menyokong energi yang lebih merusak dan penuh jejak pelanggaran HAM?

Gereja Bicara Ekologi, Tapi Investasi di Batubara?

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) menegaskan bahwa krisis iklim adalah krisis moral dan spiritual. Ia menyerukan pertobatan ekologis—meninggalkan ketergantungan pada energi fosil demi keadilan antargenerasi dan martabat manusia. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pun menyambut seruan itu, mendorong perlindungan lingkungan dan menolak proyek-proyek merusak seperti PLTU batubara.

Namun, di tengah narasi profetis itu, sebuah kenyataan pahit terungkap: Dana Pensiun KWI (DPKWI) [Mgr Silvester San sebagai ketua badan Perwakilan Pendiri] ternyata menanamkan investasi dalam saham perusahaan batubara, termasuk Adaro Energy Tbk dan Indo Tambangraya Megah Tbk.

Hipokrisi Ekologis?

Laporan resmi DPKWI per 31 Desember 2021  yang dipublikasikan di situs resminya, menunjukkan adanya kepemilikan 6 juta lebih saham Adaro Energy, senilai lebih dari Rp14 miliar.

Investasi di emiten tambang lain seperti Antam, United Tractors, dan ITMG. Dan, nilai pasar total investasi di sektor ekstraktif mencapai puluhan miliar rupiah.

Ini bukan sekadar masalah teknis keuangan. Ini adalah konflik moral mendalam. Bagaimana mungkin Gereja menolak PLTU batubara karena merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat, tetapi di saat yang sama mengambil keuntungan dari perusahaan yang membangun dan menyuplai PLTU?

Doa, Tapi Juga Dividen?

Umat berdoa bagi bumi. Para uskup bersuara menentang krisis iklim. Tapi dana pensiun para imam dan karyawan gereja mengalir dari dividen batubara? Ini bukan saja tidak etis, tetapi melukai hati umat dan publik yang memercayai integritas moral Gereja.

Alih-alih menjadi saksi keadilan ekologis, investasi seperti ini menempatkan Gereja di sisi yang sama dengan para perusak bumi. Dan celakanya, semua ini terjadi secara diam-diam, nyaris tanpa akuntabilitas ke umat.

Gereja Katolik tak bisa berdalih tidak tahu. Laudato Si’ dengan gamblang menyatakan:

> “Masalah energi menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia. Sangat mendesak pengembangan kebijakan agar energi berasal dari sumber yang dapat diperbarui.”

Bahkan dalam Laudate Deum (2023), Paus Fransiskus menyindir negara dan institusi yang berbicara soal iklim, tapi tetap menanam modal di energi kotor.

Kalau Gereja Indonesia ikut-ikutan model investasi rakus seperti itu, untuk apa lagi kita berkhotbah tentang pertobatan ekologis?

Konsistensi moral bukan pilihan—itu keharusan. Jika KWI benar-benar mau menjadi suara kenabian di tengah krisis iklim, maka langkah pertama adalah:

1. Menarik seluruh investasi dari industri batubara dan energi fosil.
2. Mengaudit seluruh portofolio DPKWI secara etis dan transparan.
3. Mengalihkan dana ke sektor yang mendukung kehidupan, seperti energi bersih, pendidikan, dan pertanian berkelanjutan.
4. Memberi laporan terbuka ke umat—karena ini uang milik Gereja, bukan milik kelompok elit finansial.

Gereja yang Mau Didengar Harus Memberi Teladan

Moralitas Gereja diuji bukan di mimbar, tetapi dalam keputusan konkret seperti ini. Dunia tidak butuh Gereja yang pandai bicara tapi diam saat uangnya kotor. Dunia butuh Gereja yang berani mencuci tangannya dari uang yang membakar bumi.

Jika KWI tidak segera mengambil tindakan, maka umat dan publik berhak bertanya:

> Apakah Gereja masih berpihak pada kehidupan, atau telah terseret dalam pasar yang membunuhnya?

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel