Cepat, Lugas dan Berimbang

Di Jalan Menuju Kaparnaum Itu?

(sebatas sentuhan halus dari Injil Markus 9: 30 – 37)

“Kesalahan yang membuatmu belajar untuk rendah hati dan apa adanya jauh lebih mulia dari segudang prestasi yang membuatmu jadi sombong dan merendahkan yang lain..”
(Sang Bijak)

P. Kons Beo, SVD

Daya saing itu sepertinya semua kita miliki. Namun, seberapa besar kekuatan daya saing itu, pastilah berbeda-beda, antara satu dengan lainnya. Tak ditampik bahwa di sudut hati terdalam terdapat apa yang disebut animo, selera, gairah atau ambisi untuk tempatkan diri pada ‘posisi dan kedudukan, pada jabatan dan pada kewenangan tertentu. Atau….?

Bahwa demi amankan kepentingan, kita bisa bergerilya dalam perjuangan agar junjungan atau pilihan kita bisa menggapai posisi atau kedudukan puncak. Itulah tempat atau posisi di level ‘memutuskan.’ Ketika posisi atau jabatan itu ‘singular,’ dan kompetitor itu ‘jamak,’ maka tak terelaklah gerak adu tangkas diluncurkan dalam strategi. Di situ, segala modus bisa dihalalkan.

Saling sikut dan bergesekan sudah diamini. Tinggal asa mental, dan, itu tadi, piawai dalam meracik pola bermain, yang walau kasar kasat mata toh tetap terlihat cantik dan menawan penuh pikat.

Tetapi, kini, mari kini susuri kisah yang dibentangkan Penginjil Markus tentang “Siapa yang terbesar di antara para murid Yesus.” Ada ribut-ribut penuh gejolak antara para murid. Inti soal bermula pada gejolak hati penuh ambisi: Siapakah yang terbesar di antara mereka?

Yesus tahu pasti aura saling sikut antara para muridNya. “Apa yang kamu percakapkan di perjalanan tadi?” Pertanyaan itu sudah cukup untuk membuat para murid hening ‘mati langkah.’ Sebab memang di jalan tadi mereka mempersoalkan ‘siapakah yang terbesar di antara mereka.’

Sementara sebelumnya bicara tentang kisah Anak Manusia ‘yang menderita, mati dan bangkit’  toh para  murid tak paham namun tak punya selera untuk bertanya apa artinya semuanya. Mereka malah larut dalam keributan  ‘siapa yang terbesar di antara mereka.’

Bila ditafsir rombengan dan seadanya, bisa terjadi para murid sedikit paham bahwa Yesus, sang Guru ‘segera pergi dan tinggalkan mereka. Maka ‘yang terbesar di antara mereka mesti jadi pemimpin.’ Atau bahwa setelah ‘dibunuh dan bangkit’ Yesus segera masuk dalam kemuliaanNya, dan ‘yang terbesar dari para murid akan dapatkan posisi yang penting dalam kekuasaanNya.’

Masing-masing murid nampaknya merasa ‘punya jasa dan andil, punya perjuangan, kerja keras dan pengaruh dalam kebersamaan bersama Yesus, Tuhan dan Guru. Nah, sekiranya Ia datang dalam kemuliaan kebangkitanNya, maka ‘yang terbesar itulah’ yang berhak merapat untuk dapatkan tempat yang menentukan pula.

Wah, sekiranya ini yang terjadi, nampaknya para murid tak mau ikuti Yesus ‘suka rela bodo-bodo.’ Sebab, hati tetap mengincar posisi, tempat, kedudukan, jabatan atau kewenangan sebagai buah atau efek manis dari ‘ada, tinggal dan ikuti Yesus’ menuju kemuliaanNya.

Inikah yang disebut ‘kemuridan transaksional?’ Yang lalu mesti ‘saling ribut untuk tegaskan siapa yang paling berjasa, berkorban, lebih berandil demi ‘kemenangan kebangkitan Yesus?’ Dan dia itulah ‘yang terbesar?’ Dan karena itu pula lah berhak dapatkan posisi dan kedudukan?

Di ujung ribut-ribut dan saling sikut yang telah terjadi, dan mungkin akan terus berlanjut, animasi dan pedagogi klaim ‘siapa terbesar’ mesti disuarakan Yesus. Satu standar baru, tegas, dan amatlah asing buat Para murid mesti digaungkan:

“Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya, dan pelayan dari semuanya…” (Markus 9:35).

Dan Yesus malah menempatkan seorang bocil di tengah-tengah dan memeluk bocil itu penuh kasih dan perhatian! Toh, menjadi nyata, bahwa yang terbesar di antara para murid adalah siapapun yang sanggup bersama Yesus dan di dalam semangatNya untuk melihat ‘yang kecil dan sederhana, yang tak diperhitungkan, kaum yang tak beruntung hidup dan nasibnya. Dan semuanya dalam spirit kerendahan hati. Iya, dalam semangat kerendahan hati!

Oh iya, mari menyeberang ‘situasi hari-hari ini.’ Setelah pelantikan 22 Kepala Daerah asal NTT, pada Kamiss 20 Februari 2025 lalu, akan kah mereka disambut dalam suasana untuk ‘mesti segera melayani Flobamora dan daerah pengabdian masing-masing dengan penuh kesetiaan dan perjuangan?’

Untuk Partai pengusung, para pendukung, tim sukses, ‘tangan kanan’ dan seterusnya, sekiranya tak ada geliat yang mederu-deru untuk menghitung-hitung ‘siapakah yang terbesar’ dalam jasa membawa Paket Pilkada untuk resmi menahkodai daerah. Adakah yang sudah bersiap-siap untuk satu dua kalkulasi transaksi politik? Entahlah.

Semoga tak terlalu simplistik, spiritualistik atau biblistik untuk bergaunggema: “Biarkanlah Para Kepala Daerah kita berbakti, berdedikasi, berjuang dalam semangat jiwa merdeka: ‘merah merdeka, putih merdeka. Warna merdeka…….’

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel