(sebatas satu kerka batin)
“Di mana pun kita berada, dan bagaimanapun bingung dan berantakannya diri kita, di situlah titik tolak kita untuk melakukan perjalanan pulang”
(Radcliffe T, ‘What is the Point of Being a Christian?)
P. Kons Beo, SVD
infopertama.com – Yang diyakini St Thomas Aquino itu memang mesti dimaknai bijak dan serius. ‘Kendati dosa dibersihkan di dalam Darah Kristus, hawa nafsu tetap, kecenderungan ke dosa tetap, tidak adanya ketertiban yang mengerikan pun tetap pula.’
Memang! Tetaplah ada keyakinan liturgis-sakramental, bahwa dalam dan melalui sakramen, sebagai tanda nyata Kasih Allah, dosa-dosa diampuni. Di situ, ada daya gerak balik diri untuk kembali sebagai manusia ‘gambar dan rupa Allah yang bercitra.’
Di Masa Prapaskah (hari-hari tobat), banyak kesempatan disiapkan ‘untuk kembali dan berbena diri.’ Umat Allah diarahkan untuk ‘membasuh diri dari kotoran di wajah dengan air sumur.’ Ini untuk mengambil kembali alegori dari Penulis The Cloud of Unknowing (Awan Tanpa Pengetahuan). Tulisnya, “Jika kotoran itu adalah dosa tertentu, sumurnya adalah Gereja Kudus dan airnya adalah pengakuan, dengan situasinya.”
Betapun demikian, manusia yang diampuni, yang ‘membasuh muka’ tetaplah insan yang karnalik dan berhasrat. Apalagi sekiranya ‘manusia mesti ‘membasuh muka dengan air berlumpur.’ Penulis Awan Tanpa Pengetahuan yakini bahwa kotoran yang dibasuh itu mungkin bukanlah dosa. Itulah kecenderungan untuk berdosa. Itulah gairah alami yang menuntun kepada penyimpangan gerak dan arah diri yang semestinya lurus dan seharusnya tak berkelok-kelok.
Manusia tetap hidup dalam akar dosa yang masih hidup dan bertumbuh. Benar, bahwa dalam pengakuan dosa manusia sungguh diampuni. Manusia pun sekian berupaya masuk ke hadirat Mahakudus, untuk sekian giat dalam kegiatan-kegiatan spiritual. Bagimanapun, bolehlah manusia ciptakan kesan seolah-olah suci lahir dan di dalam batin, dengan mendekatkan diri pada hadirat Suci, toh ia tetap saja tak bebas dari hasrat dan kecenderungan berdosa.
Sama halnya ketika seseorang ciptakan kesan dalam alur komparasi acak-acak, bahwa ia ‘lebih baik (suci) dari orang lain.’ Atau saat ia yakini diri dalam syukur kepada Yang Kuasa, bahwa “Aku tidak seperti semua orang lain” (cf Lukas 18: 9-14), toh ia tak bebas sedikit dari akar hidup kecenderungan berdosa.
Iya, siapa pun bisa hembuskan kisah hidup miris tak senonohnya orang lain, sambil harapkan pujian dari pendengar bahwa ‘aku sekali-kali tidak seperti itu!’ Toh, ia pasti tak pernah sanggup bikin mati total akar kecenderungan untuk berdosa. Jika mesti diingat-ingat penuh ketulusan, kejujuran dan kerendahan hati maka akuilah bahwa betapa manusia mudah sekali berkisah tentang ‘ketidakhebatan dan hitamnya jalan yang dilalui sesamanya.’
Mari kembali ke St Thomas Aquino. Manusia itu menjadi lumpuh akibat dosa, baik dari dosa asal maupun dari dosa pribadi, “akibat dosa itu tetap dan akan tetap ada sampai mati.” Singkat kata, sekali lagi, ‘manusia tak bebas, apalagi bebas murni dan bebas mutlak, dari ‘kecenderungan ke kejahatan, kelekatan yang tak teratur, selera yang tak terkendali, kedambaan, kelengketan dan kelekatan yang tak teratur, serta segala kecenderungan yang melemahkan, dan semuanya itu yang diklaim oleh dunia modern sebagai kecanduan. Akibatnya?
Hidup manusia jadinya samar dalam bayang-bayang. Penuh tanya dan tebalkan sangsi. Hilangkan asa. Lumpuhkan semangat. ‘Yang dianggap dan terkesan spiritual dan alkitabiah, toh nyata terlihat over-surplus dalam tendensi kejasmaniannya. Jauh dari buah-buah hidup injili, misalnya; yang penuh dengan khazanah susila dan moral, tentu tak sekian mudah untuk hidup tegar, tegak-lurus dan sedikitpun tak cemar dan lecet dari panduan moral-etis.
Di semuanya ini, apakah kita mesti terperangkap dalam arus putus asa dan kebingungan tak bertepi? Apakah yang diagungkan dan dimuliakan sebagai nilai, harapan dan kehendak baik mesti terpaku mati dan terkuburkan? Tentu saja tidak!
Puasa adalah jalan-ziarah Gereja, kita semua, yang ‘tak hanya ditebus oleh derita dan kematian Yesus, tetapi bahwa Gereja-kita pun rela disalibkan bersama Yesus.’ Satu ziarah spiritual yang tak mudah dan menantang. Bila mesti kembali lagi ke The Cloud of Unknowing ‘Gerak dan munculnya dosa di dalam diri Anda masih tetap ada.’ Katanya pula, dalam lukisan lain, ‘Betapapun mata, hidung, mulut dibikin lumpuh, bahkan alat vital pun dibikin mati.’ Lalu ke manakah kita, manusia pengembara mesti berziarah?
Para mistikus gemakan Jalan Purgativa. Itulah Jalan Pemurnian jiwa, yang lalu mesti masuk pula dalam Via Illuminativa (Jalan Penerangan), dan akhirnya bermuara dalam alam Via Unitiva (Jalan Persatuan), yang jadi puncak kesempurnaan hidup spiritual. Iya, sekalipun ada akar yang lahirkan kecenderungan untuk berdosa, kita selalu hidup dalam harapan di dalam Tuhan. Perumpamaan Yesus tentang Anak Yang Hilang, tentu bisa dimaknai dalam ‘Via Purgativa, Via Illuminativa dan Via Unitiva’ ketika pada akhirnya si Anak kembali bersatu dengan Ayahnya yang merindukannya kembali (Lukas 15: 11 – 32).
Apakah “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih” adalah Jalan Kerohanian yang selayaknya dilewati? Ini bisa dimaknai dalam alur kontemplatif. Kontemplasi artinya “telanjang.” Iya, “bertelanjang diri di hadapan Tuhan.” Segala yang ada dalam diriku tak tersembunyi. Dan tak ada yang tak terselami. Semua dan segalanya ku tak bebas dari tatapan Yesus Tuhan.
Bagaimanapun ‘tatapan mata Yesus bukanlah kebaikan hati yang sementara dan samar-samar.’ Tuhan tak menatap untuk menakut-nakuti, mengancam atau untuk memata-matai. Tuhan memandang dan menatap siapapun ‘sebagaimana adanya.’ Dan di situlah lahir sukacita atas kebenaran. Sebab Tuhan ‘tidak pura-pura mengenal siapa aku? Atau bahwa Tuhan sungguh tak pedulikan aku, tetapi bahwa aku bergembira sebab Tuhan mengenal aku dalam kesegalaanku’ (gaudium de veritate-sukacita atas kebenaran, St Agustinus).
Maka, Masa Puasa bagi kita tetap menjadi momentum ilham Kasih dan Sukacita. Benar, di hari-hari kendali diri penuh ugahari dan laku tapa ini, kita selimuti diri dalam doa bertautan, penuh hening, konsen pada kata-kata penuh makna.
Tetapi, benarlah pula bahwa di Masa Puasa ini pertarungan diri untuk “kita mesti telanjang dan benar-benar bersih” mesti digelorakan dalam sunyi penuh tawakal. Untuk membiarkan Tuhan menatap kita sebagaimana adanya. Seperti Tuhan memandang Petrus yang rapuh, lemah, takut dan tak berdaya, yang di hadapan perempuan itu harus menyangkal. Iya, Petrus yang seolah-olah heroik pemberani untuk tetap setia ikuti Yesus di kisah deritaNya.
Yang ditatap Tuhan adalah ‘aku yang tak berdaya, yang tak tersembunyikan, yang banyak drama dan penuh aksi treatrikal kehidupan. Namun, di situlah semakin menjadi nyata kuat kuasa daya kasih Tuhan yang menyelamatkan…’ Mari kita ‘bertelanjang di hadapan Tuhan. Demi suci lahir dan di dalam batin…’
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel