Cepat, Lugas dan Berimbang

Ini Bukan Hukuman, Hanya Satu Isyarat

(Puasa: titik balik ke diri sendiri)

“Keheningan itu murni dan suci. Itu menyatukan orang, karena hanya mereka yang merasa nyaman satu sama lain lah  yang dapat duduk bersama walau tanpa bicara” (Nicholas Spaks)

P. Kons Beo, SVD

Terkadang, betapa sulitnya untuk mulai dari diri sendiri. Biarpun sekedar bertanya pada diri sendiri untuk hal teramat sederhana. Apalagi bila hal itu beririsan dengan kisah yang buruk, petaka, atau hal-hal yang tak berkenan di hati. Kita cenderung ‘lari keluar.’ Mencari-cari dan ciptakan semacam alasan ini dan itu pada ‘yang bukan aku.’

Kita ini, katanya, teramat sayang pada diri sendiri. Itulah sebabnya tak sampai hati kita mesti persalahkan diri sendiri. Siapakah yang mau menghakimi diri sendiri? Apalagi bila harus ‘dipersalahkan’ oleh yang lain?

Sekiranya kita sungguh mengenal diri dan segala hal ikhwal di dalam diri, setiap orang pastilah tahu dan memahami apa yang disebut ‘the secret of the body,’ misalnya. Dan untuk ‘tubuhku dan hal ikhwal di dalamnya’ pada rana personal, akulah yang mengenal titik-titik kekuatan dan kerapuhannya.

Sebab itulah apa yang disebut self discovery (temukan diri) hingga pada tujuan mulia di muara self acceptance (penerimaan diri) yang sehat mesti jadi jalan kekuatan diri yang sehat pula. Bersyukurlah bahwa fisik kita bugar, bahwa daya-daya rohani, mental spiritual kita ada di lintasan kepantasan. Tetapi, akuilah  pula jika sekiranya raga kita sekian rawan, dan mental kita acap kali tak stabil.

Tapi, lagi-lagi sayangnya, kita bisa saja mencari afirmasi, pembenaran atau pengakuan luaran. Kita bangga diakui ‘jago minum dan kuat mete’ (begadang malam). Namun, jagonya hingga pada titik mana? Sebab, reaksi fisik, cepat atau lambat, pada titiknya pasti akan berujung kekuatiran.

‘Orang bisa memujimu bahagia. Aura ceriahmu sepertinya ditampak-tampakkan. Namun, siapa kah yang pernah tahu, bahwa di dalam sunyimu penuh sendiri, Anda sebenarnya lagi berteman sepi dan air mata? Mental Anda tak sekuat seperti yang terlihat, ternilai dan ditafsir publik.’ Sama seperti yang terlukis berulang-ulang kali, “Body-fisik memang berbentuk truck ekspedisi, namun mental terpaut pada kisaran mesin honda revo 110 Cc, yang sulit lewati jalan berat penuh tanjakan di kehidupan ini.”

Jika demikian, tak perlu ratapi diri dan segala silam yang terlewati. Ini memang bukan hukuman alam semesta. Hanyalah sebatas isyarat kehidupan untuk kembali pada diri sendiri. Telah lama ‘diri ini dikeluarkan dari yang semestinya’ untuk diserahkan begitu saja pada ‘pujian dan pengakuan, atau pun pencitraan nan dangkal.’ Atau pun kepada penghakiman luar tanpa ampun dan belaskasih.

Maka, kiranya Masa Puasa ini adalah sebuah momentum sakral pertobatan. Pohonkan ampun, tak hanya pada Yang Mahakuasa, tetapi juga pada ‘diri sendiri.’ Sebab kita sendiri telah ‘berkhianat dan menipu diri sendiri.’

Iya, Masa Puasa, di titik ini pun, adalah satu perjalanan pulang kepada diri sendiri. Demi berakrab ria seperti apa adanya dan senyatanya dengan diri sendiri. Di situlah kita berani temukan dan memeluk diri sendiri yang tak indah, dan bahwa kita sanggup untuk berkaca ‘lihat luka bernana di wajah kita.’

Puasa itu mesti membatalkan pengakuan dan penegasan dari sesama dan khalayak ‘bahwa kita sedang berpuasa. Sebaliknya, biarlah Puasa itu adalah aksi ‘tipu-tipu suci basuh muka, minyaki kepala’ agar publik tak pernah boleh tahu bahwa kita sedang berpuasa.

Yang ‘paling dibenci Yesus’ adalah kemunafikan yang berintensi dapatkan penilaian dan pembenaran picisan dari publik. Tak usalah dicanang-cangkan supaya orang tahu bahwa ‘kita sedang bersedekah, sedang berdoa dan sedang berpuasa’ (cf Matius 6:1-6.16-18).

Puasa memang membawa siapapun untuk menjadi teduh dengan diri sendiri dan berteguh iman pula dalam kekuatan diri sendiri atas rahmat Tuhan. Puasa yang benar dipastikan damai dan selalu terbitkan aura sejuk dan bening dari kemuliaan hati dan iman penuh tawakal. Dan, puasa tak pernah ‘gaduh, ribut, bising atau rentan kekacauan.’ Sebab hati yang dimeterai iman telah berujung damai dan kasih.

Karena itulah, Puasa yang benar seturut Yesus adalah ekspresi ‘kepala yang diminyaki dan wajah yang dibasuh.’ Itulah tanda wajah yang segar, yang lahir dari hati yang segar pula. Puasa itu tak boleh bermuram wajah apalagi berwajah bagai seorang tahanan. Yang memaksa siapapun untuk berkesimpulan tegas bahwa ‘kita sedang berpuasa.’ Atau bahwa siapapun dipaksa dan ditekan untuk mengakui bahwa ‘kita lagi berpuasa.’ Tidak!

Puasa bukanlah momentum hukuman terhadap diri atau kesempatan untuk menghukum orang lain sejadinya. Puasa, ada bagusnya, dipandang dan dialami sebagai ‘isyarat sakral-spiritual’ bahwa kita mesti sanggup pulang kepada diri sendiri, dan bahwa kita sanggup buktikan maknanya ‘memerangi diri..’ Sebab dari situlah, sekali lagi, akan terbitlah fajar kedamaian dan sukacita. Bagi diri sendiri, terhadap sesama dan di dalam semesta.
Yakinlah!

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel