(sekadar satu goresan)
P. Kons Beo, SVD
infopertama.com – Jalan panjang itu memang mesti disudahi. “Final and binding” mesti mengunci semuanya. Ini jelas maksudnya. Demi hukum, semesta negeri mesti berkiblat pada satu putusan kemenangan. Dan itu pasti. Indonesia mesti bersorak, dalam histeria penuh eforia, dan walau pun dalam nada sepat penuh pahit sekalipun: “Habemus presidentem.”
Kita sudah punya seorang presiden yang ‘terkunci dalam kepastian amar putusan hukum tertinggi Mahkamah Konstitusi.’ Dan adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, Arsul Sani, yang diketuai Suhartoyo, yang menjadi simpul ketuk palu akhir dari kepastian dan kebijaksanaan demi jatuhkan keputusan itu.
Dan adalah Prabowo Subiyanto dipastikan bakal jadi pemegang kendali eksekutif – Pemerintahan Republik Indonesia. Sejak 22 April hingga 19 Oktober 2024, Mantan Pangkostrad, yang dijendralkan oleh Presiden Jokowi ini, sungguh dalam penantian pasti untuk dilantik. Ada kah sesuatu yang pantas direnungkan pasca Prabowo dilantik 20 Oktober 2021 nanti? Aura seperti apakah yang ditelisik, dirasa dan dialami sebagai aroma sosial (politik) dalam negeri?
Mari kita menatap seadanya. Membaca sebisanya:
Pertama, demi mencapai puncak kekuasaan, jelas Prabowo tak sendiri. Koalisi hasil rakitan beberapa partai telah jadi kendaraan mulus. Semuanya demi Indonesia yang lebih maju, berkembang dan berdaulat. Tetapi, apakah ‘mengantar Prabowo ke puncak kekuasaan adalah cita-cita yang ‘terkunci mati’ hingga pada hari pelantikan itu? Atau?
Koalisi pengantar Prabowo – Gibran tentu diharapkan untuk terus berdampak kontribuitif dan konstruktif bersama pemerintah. Semuanya demi peradaban negeri yang semakin bercitra, berwibawa dan maju.
Bagaimana pun…
Tentu, selalu ada kekuatiran sekiranya rumpun Koalisi itu mulai mainkan strategi baru hanya demi ‘income partai’ yang mesti segera menggemuk tambun dari kemenangan itu. Mengimpikan atau bahkan menuntut ‘jatah buat partai dari kemenangan’ tentu bukan menjadi tantangan yang sederhana. Apalagi sekiranya kepentingan nasional, publik bakal ditatap sebelah mata, apalagi terabaikan.
Marilah pula berandai jauh, bahwa sekiranya kelompok ‘prajurit tangguh‘ bakal benar-benar senyap setelah 20 Oktober 2024. Bahwa tugas mengantar Prabowo hingga saat pelantikan telah serius dan penuh komitmen sudah dijalankan.
Apakah sungguh bahwa orang-orang seperti Qodari, Babe Haikal, Habiburokhman, Immanuel Ebenezer serta sekian banyak orang ‘sejenis dan sejiwanya’ bakal ‘senyap’ di ujung cita-cita ‘telah mengantar’ Prabowo hingga hari H pelantikan? Atau, sesungguhnya, tetap ada perhitungan bisnis ekonomik politik di balik semua aksi berjibakutai secara publik di jalur fanatik PRO Prabowo?
Kedua, Bukan kah kemenangan Prabowo – Gibran itu apakah juga adalah kemenangan Jokowi? Sungguh nyata, opini mayoritas tentu mengamininya. Adalah perjuangan yang ‘menderang walau sering disamarkan’ dalam geliat Jokowi untuk memenangkan PraGib.
Namun, yakinlah! Kemenangan ini mesti ditangkap sebagai jembatan buat Jokowi untuk lanjutkan dan muluskan cita-citanya yang masih tersisa atau belum terampungkan.
Efek telah berjasa berat itu diharapkan jadi perhitungan moril bagi Prabowo demi tunaikan harapan dan cita-cita Jokowi yang ‘belum kesampaian itu.
Sulit terbayangkan bahwa Jokowi mesti jadi ‘presiden emeritus’ yang mesti pulang untuk bersunyi senyap di Solo, sambil tak mempedulikan lagi nasib Ibu Kota Nusantara, misalnya. Itu baru satu kisah mega proyek yang belum dirampung tuntas. Dapat terbayangkan sekian menggumpal dan menebalnya virus Post Power Syndrome sekiranya Jokowi tak ada keluasan sedikitpun untuk ‘nimbrung di istana’ bersama Prabowo dan kaum lingkarannya (yang baru). Waktu bakal memcbuktikan semuanya. Yang ditakutkan Jokowi tentu sekiranya ia bakal jadi ‘bebek lumpuh’ andaikan Prabowo memang berpikir dan bertindak demi ‘mau-maunya sendiri.’
Ketiga, Semesta Indonesia pasti penuh serius menatap Prabowo, sang Presiden, dalam apa yang disebut psikologi sebagai ‘zona diri kemandirian.’ Prabowo, di hari-hari ini, bisa larut dalam tarung batin antara citra diri sebagai (mantan) prajurit TNI bahkan lebih dari TNI yang gagah, berani, berkualitas, tegas, cerdas, berwibawa, dan dari tuduhan serius efek dari Pilpres curang, politik bansos, buah dari cawe-cawe Jokowi, pengerahan ASN, TNI – Polri.
Sekian lemah dan rapuhnya kah Prabowo sehingga mesti ditopang dan diusung sejadinya oleh berbagai titik kekuatan yang mesti digenjot secara terstruktur, sistematis dan massif?
Kini, setelah dilantik nanti, Prabowo mesti buktikan dirinya sebagai Presiden ‘utuh di dalam diri dan kuasa’ yang dimandatkan kepadanya. Ia tak boleh dibuyarkan dalam kemandiriannya oleh halusinasi heroisme Gibran yang pada satu ketika berucap, “Tenang saja, Pak Prabowo, tenang saja, Pak, saya sudah ada di sini…” Sekian lemahnya kah Prabowo sehingga mesti ditenangkan oleh Gibran? Atau kah bahwa dua tahun memimpin Solo adalah modal kuat dan cukup bagi Gibran untuk ‘tenangkan Prabowo yang telah sarat pengalaman dan bermental prajurit?’ Atau hanyalah karena faktor sang ayah, Jokowi’, yang mentang-mentang masih berkuasa, makanya Gibran sekian PD bersuara demikian?
Biarlah, demi terlantik jadi Presiden, faktor “Gibran dengan segala geliat hulu dan hilirnya” sudah amat berjasa dan berpengaruhnya demi Prabowo. Bagaimanapun di perjalanan selanjutnya Prabowo mesti tampil prima demi jalankan roda pemerintahan negeri di jalur program-program yang ditawarkan dan diuarkan.
Bayangkan sekiranya Prabowo mesti serius ‘tinggalkan dan lepaskan’ Jokowi. Semuanya agar Prabowo sendiri dapat berfokus pada mimpi-mimpinya sendiri, demi ‘pembangunan dan kejayaan negeri.’
Tetapi, bahwa ‘lepaskan Jokowi’ adalah juga bisa ditilik sebagai bantuan berharga buat Jokowi sendiri yang sudah ternilai publik sebagai pribadi ‘haus kekuasaan dalam obsesi dinasti politik.’ Walau si sulung, Gibran, sudah didaulat sebagai Wapres, Prabowo mesti punya cara tegas dan bijak demi selamatkan ‘wajah Jokowi’ dari sekian banyak gempuran ‘penistaan dan pembunuhan kharakter.’
Kini, saatnya, Prabowo bakal bertugas sah memimpin Negeri sebagai Presiden. Cita-cita demi Indonesia emas, masyarakat maju, sehat dan berkembang seyogyanya itulah yang jadi titik perhatian. Bukan terutama untuk bagaimana memperhitungkan bagi-bagi jasa bagi perbagai pihak pengusung dan pejuang hingga ‘jadi dikukuhkan.’
Sekarang saatnya Prabowo mesti memerintah Negeri dalam jiwa patriotiknya, dalam semangat nasionalisnya, dalam hati yang berkobar-kobar demi kejayaan Indonesia raya.. Sungguh dalam Merah Merdeka, Putih Merdeka…Warna Merdeka
Verbo Dei Amorem Spiranti
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel