“Biarlah keheningan membawamu ke inti kehidupan”
(Jalaluddin Rumi, Intelektual muslim, Afganistan 1207 – Turki 1273)
Kons Beo, SVD
Komunikasi berujung kosong
Salah satu tantangan besar di era canggih digital, serta sekian mudahnya inter-aksi komunikasi antar individu adalah suasana gaduh, berisik, ribut. Ironinya, hal ini lalu berujung pada kehampaan inti pesan yang mau disampaikan. Kosong!
‘Belum dengar atau membaca dengan saksama dan jelas, orang sudah tiba pada pengandaian dan kesimpulannya sendiri. Maka lahirlah ‘drama baku ambil kata’ antara apa yang disampaikan versus apa yang ditanggapi atau disimpulkan. Perang opini tak terhindarkan. Perdebatan jadi tak terelakan. Padahal…?
Yang diperlukan hanyalah ‘pikiran tenang dan hati teduh.’ Baik dalam penyampaian, pun bagi siapapun yang menanggapi. Nasihat agak keras sering terdengar, “Pikir dulu baru kau omong!” Atau “Dengar dulu, simak baik-baik apa yang orang omong, cermati dulu apa sebenarnya yang terjadi, baru kau tanggapi!” Atau?
Percakapan dengan diri sendiri
Ingatlah! Seringkali seorang penulis atau pembicara tengah berbicara dengan dan kepada dirinya sendiri. Ia ada dalam proses katarsis personal. Keluarkan apa yang terasa mepet di kepala dan sesak di dada. Bisa terjadi pula ia hanya ingin menulis dan hendak bicara kepada ‘alam, kepada karang, kepada ombak, dan kepada matahari.’ Satu alarm sejuk mengingatkan……
“Bisa terjadi seseorang itu sebenarnya hanya butuh telingamu untuk menyambutnya dalam hening, diam dan bahkan membisu.” Namun, adakah ini mungkin bagi seseorang yang cepat terpancing untuk menanggapi? Dan bahwa dia hanya merendah untuk diam mendengarkan? Ini yang tak mudah memang. Maka, amatilah…….
Gesit menanggapi – Berujung senyap nan pengap
‘Ada yang bersemangat sekali untuk cepat menolong. Ia lalu tampak boros untuk litaniakan kata-kata petuah nan saleh. Atau ada pula yang segera gelontorkan jawaban-jawaban pasti padahal pertanyaan atau inti masalah belumlah dicerna. Atau pun kaum soleha (rasa diri punya banyak pengalaman spiritual) telah tumpahkan segala kisah ia menggapai Langit. Tanpa peduli lagi bahwa pada sediakalanya ‘yang bicara hanya ingin meminjam telinga untuk mendengar serta keterbukaan hati nan teduh.’
Dalam dunia yang semakin tak tenang, pada invidu-individu yang ‘cepat bereaksi untuk bicara atau berpendapat’ dapat terjadi bahwa keadaan apapun dari sesama adalah kesempatan atau undangan untuk dikomentari. Apalagi saat individu tersebut merasa bahwa ‘pikiran, keputusan, pilihan’ sesama itu dianggapnya keliru (salah). Atau bahwa semuanya itu tak sesuai harapan, keinginan atau di luar dari ‘mau-maunya.’
Kita, sekiranya, tak pernah tahu persis setelaknya apa yang dialami oleh sesama. Kita tak pernah menggapai sepenuhnya apa yang tersembunyi di sudut hatinya atau bagaimana arus pergumulan ziarah batin atau kelap-kelip pelita jiwanya. Di titik seperti inilah, seyogiayanya pertanyaaan terbaik adalah Mengapa kah? Apa sebab? menjadi satu pilihan. Iya, ketimbang kita terlanjur keburu tiba pada kesimpulan, pada pernyataan atau apalagi pada kepastian tesis rakitan kita sendiri.
Sentuhan sejuk Marcus Aurelius
Bila mesti berputar haluan pada Marcus Aurelius, maka gema kebijakan hidup demi diri sendiri bisa jadi mutiara hidup penuh makna. Kita rumuskan saja secara sederhana. Tak usalah buang terlalu banyak waktu untuk berkomentar atau sibuk dengan ‘jalan hidup orang lain.’ Terlebih bahwa kita boroskan waktu untuk menghakimi orang lain. Padahal kita semestinya mesti pulang untuk kembali pada diri sendiri, dan lebih produktif demi diri sendiri yang maju dan berkembang pula.
Marcus Aurelius tentu tak keliru dalam keyakinannya bahwa setiap orang itu unik. Tak hanya dalam khazanah kepribadiannya tapi juga dalam jalan hidup yang dipilih dan disusurinya. Dalam ‘bahasa pasar’ dilukiskan, “Orang lain yang jalani hidup dengan segala konsekwensi pilihan dan keputusannya, tapi kenapa kah Anda sekian sibuk ‘berkomentar, mengadili dan bahkan menghakimi?’
Sudahlah… Biarlah bahwa setiap orang jalani hidup ini dalam keyakinan dan keputusannya sendiri. Iya, termasuk kita sendiri sebagai individu. Semuanya melihat yang terbaik bagi diri kita sendiri. Tentu kita tak dicap atau ternilai ‘egosentrik-untuk ingat hanya diri sendiri’ sekiranya kita mesti juga tengok ke dalam diri sendiri. Untuk juga ‘memulai atau tetap berjalan dengan diri sendiri. Dalam peluang dan tantangan, dalam sukacita dan harapan.
Dan akhirnya, iya itu tadi, mari pulang kepada diri sendiri. Tak usahlah sekian rajin ‘beri tanggapan atau lancangkan komentar, yang hanya datang dari pikiran sendiri, yang mungkin saja dengan jangkauan berpikir yang masih tampak kerdil dan sempit.
Mari kita teduh dalam doa bagi sesama…
Kita tidak pernah tahu pasti dan persis mengenai situasi batin seseorang, apa yang tengah ia pikirkan. Di titik inilah, mungkin saja yang terbaik adalah “pentingnya bersikap sabar dan penuh kasih terhadap orang lain.” Bahkan sebenarnya juga kita sendiri mesti terpanggil untuk membawa orang lain di dalam doa-doa kita. Dari pada menjejali ‘otak sendiri’ atau meramaikan media sosial dengan hujatan, sumpah serapah, cacian, kata-kata kasar, pun dengan tafsiran-tafsiran yang sungguh merendahkan dan merendahkan sesama.
Sungguh! Kita sepantasnya ciptakan satu ruang batiniah yang sunyi. Dan memang, ada saatnya ketika dipanggil untuk diam dan tenang. Saya sendiri menjadi ragu apakah Anda sendiri diam dan tenang susuri perenungan ini. Atau, Anda justru cepat sekali merasa terstimulus dan tergoda untuk sesegera menanggapinya? Iya mau bagaimana sudah…..
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel