Cepat, Lugas dan Berimbang

Cerita dari Pondok Mori Mali

Mori mali mulai melakukan ritual itu dengan mengucapkan kata-kata yang hampir hanya bisa didengar oleh teliga batinnya sendiri. Kami semua hanya terpaku diam di tempat, ada yang memerhatikan mimik bibir dan gestur seremonial si mori mali, dan ada yang hanya tunduk merenung entah apa yang dipikirkan. Mungkin memohon kepada Tuhan agar memberikan jalan terbaik untuk penyembuhan sepupuku. Saya dengan seribu rasa ingin tahu pada usia kecilku waktu itu hampir tak sekalipun mengedipkan mata, memerhatikan tingkah mori mali.

Mori mali mengambil anak ayam, lalu menyayatnya dengan pisau pada bagian paruh ayam hingga anak ayam berhenti bercuit. Darah yang mengalir dari paruh ayam itu, diteteskan sedikit ke tangan mungil bayi tante saya. Sambil mengusap darah itu di sana, mori mali mengucapkan mantra butanya lagi. Malam sangat tenang dan mencekam, sepupuku sejak tiga hari sebelumnya sudah jarang menangis. Dan malam itu dia tenang dalam lelap didekapan ibunya.

Mori mali melanjutkan dengan anak ayam di tangannya membuat ritual keliling  meneteskan darah anak ayam dalam lingkaran di mana kami duduk. Lalu ia menuju ke tungku api yang ada di bagian teras depan pondok, yang juga dipakai sebagai dapur. Ia mengambil garam dan melemparkannya ke arang api yang sedang memerah. Bunyi suara garam yang terpapar api pun bersahutan dari dalam tungku api. Minda kecilku tertarik dengan adegan itu, dan itu selalu menjadi permainan kecilku setelah itu di rumah.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel