Cepat, Lugas dan Berimbang

BERdoa Deng Orang Salah

Fancy Ballo

infopertama.com – Lirik lagu Timor berjudul “Berdosa” yang ditulis Fresly Nikijuluw menjadi teman dengung sepanjang guratan kata dalam naskah ini. Entah dari posisi mana saya menjadi hakim atau saksi, menjadi korban atau sebagai pelaku dalam kisah ini, setiap leretan syair lagu Fresly ini benar-benar tak mampu membuatku berhenti untuk menulis.

Namun, ini bukan tentang lagu. Bukan juga tentang makna yang ditarik lurus untuk menginterpretasi setiap leret syair lagu Berdosa. Tetapi, lebih tepatnya ini melukiskan suatu perasaan bersalah yang jujur, namun tetap terbungkus. Entah sampai kapan?

Terlalu manis kisah ini

Seng sampe hati par kas abis.

Gadis tujuh tahun membuka pintu dan mendapati ibunya sedang berlutut di hadapan pastor. Rumah kecil di halaman kampus itu telah menjadi ruang pengakuan. Sunyi dan penuh rahasia. Tapi cinta anak pada kebenaran telah menyalakan lampu tempat privat itu dan menemukan warna terang dosa-dosa: ibunya yang selingkuh dan pastor yang mengkhianati hidup selibat.

Stola ungu tampak basah. Ada bercak air membekas. Air mata perempuan itu telah luruh membenam pada inti selimut imamat. Iman yang dingin mudah membeku. Imamat yang latah lekas patah. Mereka banyak berdoa untuk berdosa lebih baik dan sunyi.

Pertemuan lima tahun silam, dari rasa kagum pada khotbah, sampai jabat tangan dan perkenalan di sakristi, telah bertumbuh sebagai pohon intimasi yang kekurangan klorofil. Mereka dicibir oleh tetangga. “Pastor X itu dosen. Wibawa dan tampak agak religius. Tapi moral palsu,” kata seorang pegawai kampus. Di ruang guru gosip sempat disisipkan. “Guru itu macam dekat terus dengan Pastor X. Awalnya bilang konsultasi, tapi lama-lama kompromi tutup pintu,” bisik seorang rekan guru.

Lebih dari itu, tutur kata yang jujur datang dari Amelia. Ia gadis pemberani. Ia selalu mencari di mana ibunya bersembunyi. Kepada temannya di sekolah dasar ia bercerita. “Ibu saya …” sambil geleng-geleng kepala, “dengan Pastor X berteman. Pastor X beri uang. Ibu saya peluk dia. Mereka nakal. Saya lapor bapa saya, tapi dia tidak percaya.”

Teman-teman Amelia terkejut. Mereka menyerangnya, “He, jangan sembarang. Tidak boleh omong orangtua begitu.” Amelia diam. Tiba-tiba wajahnya menanggung luka dan sedih. Ia menjauh dan kadang meninggalkan sekolah tanpa pesan. Ia anak semata wayang. Ayahanya sedang stroke ringan. Ibunya dua kali gugurkan kandungan karena hubungan gelap. Ia merasa rumahnya adalah pintu tertutup dan ia mengembara di halaman masa kanak-kanak yang kurang dihargai dengan atensi pedagogis. Ibunya yang mengajar pendidikan moral dan nilai-nilai kekristenan sering lalai di rumah, tetapi tepat waktu di kamar privat itu.

“Mel,” suara ibunya memanggil dari meja rias. “Bawa lulur muka ke sini.” Ia tak menyahut. Dengan agak kesal berlari ke luar dan berteriak, “Tambah cantik untuk tambah nakal.” Ia menyusuri halaman berbunga di sekolahnya. Memungut kelopak mawar yang luruh. Memperhatikan dengan diam yang berat. Ia seperti membaca kehidupan. Cantik dan tua sama-sama rapuh.

Angin menyibak wajah yang ditinggalkan. Kepak senjakala menyusuri langit. Lapangan sekolah hening tanpa layang-layang debu. Ia masih berseragam. Membuka tas sekolah, mengambil Alkitab, dan membacanya. “Siapa mencintai didikan, mencintai pengetahuan; tetapi siapa membenci teguran, adalah dungu. Orang baik dikenan TUHAN, tetapi si penipu dihukum-Nya. Orang tidak akan tetap tegak karena kefasikan, tetapi akar orang benar tidak akan goncang. Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya. Rancangan orang benar adalah adil, tujuan orang fasik memperdaya. Perkataan orang fasik menghadang darah, tetapi mulut orang jujur menyelamatkan orang” (Amsal 12:1-6).

            Baris huruf-huruf miring menghentak pikirannya yang masih kanak-kanak. Catatan bold menyentuh hatinya. Mungkin ini kesadaran pertama tentang kesalahan yang besar. Ibunya bukan istri yang tulus dan setia dan Amelia berjuang berbicara  hal yang benar. Malam mulai menyentuh pelupuk matanya. Lampu jalan memancar cahaya kecil. Ia kembali ke rumah. Bagaimana pun ia rindu dekapan orangtua.

            “Mama!”

Teriak bagai memecah pintu yang tertutup. Ibunya memukul dada mendengar pekik gadis satu-satunya yang ia lahirkan. Hati ibu tiba-tiba disulam dengan kesadaran moral dan perhatian kasih sayang. Ia membuka pintu dan menyambut anaknya.

“Mel…”

Suara ibunya santun menyambut. Membuka lengan dan mata mencucurkan kesalahan yang kuyup. Amelia berlari ke dekapan ibunya. Ibunya yang berdosa tetap berdoa agar anaknya tetap menerima setiap orang, apa pun kesalahan mereka. Anak dan ibu sama-sama menangis. Kesedihan Amelia bukan karena tanpa kasih sayang, tetapi karena ia tahu rahim yang melahirkannya telah tercemar. Begitu pula ibunya, menangis karena ia tahu ia telah diketauhi berdosa oleh anaknya sendiri.

Tak ada percakapan. Air mata mungkin kosakata paling lengkap untuk lidah yang pendek dan terbatas untuk mengucapkan isi hati. Amelia digendong ke kamar orangtuanya. Ayah letih menanggung badan yang gagu bergerak. Rasa sakit, rasa bersalah, dan air mata saling mengafirmasi bahwa hidup yang berperasaan memang menyakitkan.

“Berdua,” suara laki-laki yang sakit tetap wibawa. “Ingatlah bahwa hidup yang dikhianati akan selalu melukai lubuk hati personal. Sakit dan penyakit yang paling keji datang dari orang dekat yang amat kita cinta.”

Gelap pun purna. Fajar yang timbul masih juga layu dipandang Amelia. Akhir pekan, ia pun ingin mengakhiri sedu sedan ibunya. Apakah hari ini ibu saya akan bersembunyi lagi? Bunga-bunga di luar jendela menyiramkan aroma musim Desember yang basah. Denyut hati agak tentram berlagu. Sesudah air membasuh tubuh, segala kemelut turut berlalu. Amelia ke taman sekolah, ke tempat ia memungut kelopak yang gugur. Ibunya akan menepi ke sudut segala sembunyi.

“Ibu,” suara Pastor X bergetar tegar. “Mengapa Amelia tahu sesudah pintu yang kita jaga tak kuat terkunci?”

“Pa… X,” nada lembut mendayu. “Perempuan pandai menjaga rahasia, tapi mencintai orang yang tepat tak pernah ia rahasiakan.”

Kampus yang sepi dari kritik seperti turut mendukung perjumpaan enigmatik. Di kamar tak bernomor, dengan papan kecil identitas, akhir pekan dingin dirayakan. Seorang Guru yang awalnya membawa beban batin, kini dengan perasaan tanpa tanggung, meloloskan afeksi dan intimasi ke pangkuan seorang pelayanan Tuhan.

Jemari yang menjamah hostia cukup piawai menyucikan wajah perempuan dengan sentuhan dan sapuan romantik. Guru moralis di pangkuan seorang pastor. “Ibu, wajahmu adalah pualam keindahan. Tak retak oleh usia. Mengapa dahaga padang gurun terus memburu”. Ibu berbalik dan menatap Pastor X. “Pa… X, mengapa hasrat tak mati-mati jua. Kita mungkin hamba paling lemah yang didikte desire.”

Kursi gemeretak. Detak waktu di jantung membuncah. 12 siang yang penuh peluh. Dua tubuh saling berziarah. Panggilan wa dari Amelia tak dihiraukan. Dengan hp ayahnya, Amelia memberi pesan teks kepada uskup.

“Ibu saya berlutut di hadapan Pastor. Ia berdoa atau berdosa?”

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel