infopertama.com – Bahasa Indonesia kini kian luntur nilai penggunaannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahasa menurut Amran Halim, dalam Buku Bahasa Indolnesia Identitas Kita oleh Yohanes Orong (2017) merupakan, “Lambang Kebangsaan Nasional, lambang Identitas Nasional, dan Alat Pemersatu Masyarakat yang berbeda-beda latar belakang bahasa” ini seakan kurang mendapat tempatnya sebagai bahasa yang diminati oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Berbicara tentang bahasa Indonesia, berarti mengungkapkan soal identitas bangsa Indonesia. Memang perlu pahami bahwa Indonesia yang terdiri dari ratusan etnik dan budaya, turut membentuk bahasa daerah masyarakat yang beragam. Namun, kesepakatan penggunaan Bahasa Indonesia bagi seluruh masyarakat Indonesia sudah kumandangkan secara lebih tegas dalam “Sumpah Pemuda” sejak 28 Oktober 1928. Seluruh warga Indonesia mengakui, “Menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.” Namun, dalam realita berbahasa bangsa Indonesia hingga saat ini banyak orang belum begitu memahami soal kaidah dan kadar keilmiahan bahasa Indonesia.
Kombinasi penggunaan Bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dalam suatu wilayah turut memengaruhi pemahaman orang tentang bahasa Indonesia. Kurikulum pendidikan nasional Indonesia juga tidak secara jelas memberikan penekanan yang serius terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia bagi generasi muda terutama pada tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bisa saja kita melihat dari jurusan yang tersedia di sekolah dalam ketentuan kurikulum pendidikan Indonesia antara siswa jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dan jurusan Bahasa Indonesia, selain sekolah kejuruan.
Dari keberadaan jurusan-jurusan ini saja sudah ada polemik karena kurang proporsional bagi posisi pembelajaran bahasa Indonesia sendiri. Pengetahuan dan kemampuan bahasa Indonesia siswa jurusan IPA dan IPS tentu jauh berbeda dengan siswa jurusan Bahasa Indonesia. Perbedaan waktu pelajaran misalnya, pada jurusan Bahasa hampir mendapat kesempatan dua kali dalam seminggu untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan kesediaan waktu yang cukup yaitu tiga sampai empat jam dalam satu pertemuan. Sedangkan pada jurusan IPA dan IPS posisi bahasa Indonesia bukan menjadi prioritas utama. Itu bisa lihat dari waktu dua jam untuk pembelajaran Bahasa Indonesia dan hanya mendapat satu kali pertemuan dalam seminggu. Dengan ini kita dapat melihat bagaimana posisi bahasa indonesia dalam pandangan masyarakat Indonesia berdasarkan perhatian pendidikan kita.
Dampak lanjutan dari persoalan kepincangan kurikulum pendidikan Indonesia ialah polemik kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa pada jenjang perguruan tinggi yang cenderung problematik. Penulis tertarik dengan salah satu tulisan yang memenangkan lomba menulis esai Mahasiswa pada salah satu universitas di Indonesia dengan judul, Lingkungan Ini Bukan Sekolah Dasar (https://adoc.pub/esai-pemenang-lomba-menulis-esai-mahasiswa-juara-1-lingkunga.html). Nicolaus Sulistyo Dwicahyo sebagai penulis esai ini dengan sangat kritis mengemukakan berbagai problematik praktik bahasa dalam kalangan Mahasiswa mulai dari pengaruh adaptasi bahasa daerah ke bahasa Indonesia dan persoalan sistem pendidikan yang kurang efektif untuk memelihara kelangsungan Bahasa Indonesia, terutama yang bertalian dengan kaidah dan ketentuan berbahasa yang baik dan benar. Penulis tidak bermaksud untuk mengulas tubuh tulisan Nicolaus Sulistyo di sini. Nicolaus dengan tulisannya hadir untuk mendukung penulis bahwa problematik praktik bahasa Indonesia bukan asumsi belaka tetapi adalah fakta yang menjadi persoalan publik Indonesia.
Sebagai agent of change, generasi muda atau para mahasiswa perlu memelopori suatu gebrakan baru untuk menata mentalitas berbahasa bangsa ini dan mendongkrak identitas bangsa Indonesia dengan kegiatan menulis. Demi terwujudnya Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak begitu melenceng dan sebagai langkah yang cukup sederhana bila kita katakan, menulis ialah salah satu cara yang tepat untuk memupuk rasa cinta akan Bahasa Indonesia dan sekaligus menjaga kelestarian Bahasa Indolnesia itu sendiri. Dalam lembaga-lembaga Pendidikan Formal (Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi) seperti kita ketahui bahwa salah satu misi pendidikan yang teramat penting ialah agar pelajar atau mahasiswa dalam menulis atau pun saat berbicara dapat menggunakan Bahasa Indonesia secara baik. Lembaga Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Maumere misalnya, dalam mata kuliah Metodologi dan Bahasa Indonesia sangat menekankan hal penggunaan bahasa Indonesia agar mahasiswa dapat menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Mengapa Menulis Penting Bagi Generasi Muda?
Berdasarkan judul, Menulis Mendorong Mahasiswa Mencintai Bahasa Indonesia penulis ingin menyoroti bagaimana menjaga kelestarian nilai bahasa Indonesia dengan menghidupi budaya menulis. Karena menurut Dr. Ignas Kleden, dalam pembicaraannya pada pertemuan singkat dengan Mahasiswa kelompok Minat Sastra STFK di Ruang Kuliah Filsafat Tingkat I, “Menulis memiliki pengaruh yang lebih luas dan sangat ideal dalam mempertahankan suatu gagasan berbahasa.”
Lanjut dia, “Dengan menulis kita dapat menjaga kedisiplinan berbahasa.” Jadi, menulis bukan hanya melatih penulis untuk bagaimana mencintai dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi lebih dari itu siapa saja yang membaca tulisan tersebut juga mengetahui dan menggunakan Bahasa Indenesia yang benar. Yang ditekankan sebagai maksud tulisan ini bukan pada soal Mahasiswa tidak menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar atau tidak mencintai Bahasa Indonesia tetapi penulis menggarap para generasi muda terdidik indonesia untuk terlibat menjadi agen pelestarian penggunaan Bahasa Indonesia dengan menulis untuk memengaruhi kehidupan berbahasa masyarakat luas. Generaasi muda terdidik yang mencintai bahasa Indonesia didorong untuk menulis demi terjaganya nilai kedisiplinan berbahasa Bahasa Idonesia dalam kalangan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sebagai agent of change generasi muda atau mahassiswa hendaknya memiliki pengaruh yang membangun bagi situasi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ia harus jeli menilai segala perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, sebagaimana menata kedudukan Bahasa Indonesia dalam penggunaannya di lingkungan masyarakat. Kemerosotan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di Negeri ini tidak bisa dipandang hanya dengan sebelah mata. Sebab persoalan Bahasa adalah persoalan identitas kita sebagai Warga Negara Indonesia. Menulis bagi Mahasiswa selain merupakan syarat mutlak bagi keberhasilannya dalam proses pendidikan, tetapi tidak boleh terabaikan juga peran Mahasiswa sebagai a change untuk menulis bagi perbaikan pembangunan tatanan kehidupan bernegara. Dalam hal ini menulis untuk memengaruhi tata bahasa dalam kehidupan masyarakat demi terjaganya kelestarian budaya berbahasa Bahasa Indonesia.
Pengaruh Menulis bagi Kelestarian Budaya Bahasa Indonesia
Menulis dalam hal ini tulisan berbahasa Indonesia meski dalam karya atau artikel apa saja, selalu memiliki energy untuk memengaruhi orang banyak (pembaca). Entah menyangkut isi dari tulisan itu sendiri atau pun pengaruh grammatikal bahasa yang baik yang digunakan dalam keseluruhan tulisan itu akan sangat membantu mempertahankan nilai Bahasa Indonesia dalam kalangan masyarakat. Berbeda dengan halnya berbicara, hasil dari tulisan memiliki usia yang lebih panjang dan mampu bertahan sampai kapan pun selagi tulisan itu masih ada. Tulisan-tulisan yang muat dalam surat kabar atau majalah misalnya, ia akan menjangkau lebih banyak kalangan pembaca dan akan memengaruhi mereka dalam melahirkan suatu gagasan baru dari ide penulis yang mereka temukan dalam sebuah tulisan itu. Dengan tulisan penulis seakan aktif dan berdialog langsung dengan pembaca, memengaruhi pembaca untuk masuk ke dalam gagasan dan pola pikirnya.
Berdasarkan fakta persoalan yang dibahas di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa: a) bahasa Indonesia masih berada dalam posisi yang tidak diminati oleh banyak generasi muda dan mahasiswa atau masyarakat pada umumnya, b) banyak mahasiswa atau masyarakat Indonesia yang belum megenal, mempelajari, dan mengerti tentang pedoman umum penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan perubahan dan perkembangannya, c) tidak adanya minat dari mahasiswa untuk mencari tahu dan memperlajari bagaimana penggunaan bahasa Indonesia yang benar, dan d) yang terakhir tentunya perhatian agen-agen pendidikan yang merumuskan kurikulum pendidikan nasional terhadap pendidikan bahasa Indonesia dalam lembaga-lembaga pendidikan formal masih sangat rendah.
Dengan demikian penulis sangat manganjurkan kepada semua elemen yang menjadi agen harapan pelestarian bahasa Indonesia untuk secara serius memberi perhatian yang khusus terhadap praktik penggunaan bahasa Indonesia. Langkah ini mudah mulai dari buah tulisan kita yang bisa mengedukasi dengan sajian bahasa Indonesia yang sempurna. Mari belajar bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia, identitas kita.
Fancy Ballo*
Penulis merupakan alumni IFTK Ledalero, Maumere
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel