Cepat, Lugas dan Berimbang

Antropologi Multikultural: Mengenal Budaya Dugderan yang Menjadi Ciri Khas Masyarakat Semarang dalam Menyambut Ramadan

infopertama.com – Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ribuan suku bangsa dan budaya, menyimpan kekayaan tradisi yang begitu beragam. Salah satu bentuk ekspresi budaya lokal yang mencerminkan harmoni dalam keberagaman tersebut adalah tradisi Dugderan, sebuah perayaan khas masyarakat Kota Semarang dalam menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang seremoni religius, tetapi juga merepresentasikan dinamika sosial, budaya, dan historis masyarakat multietnis di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

Dalam perspektif antropologi multikultural, Dugderan merupakan titik temu budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa yang hidup berdampingan dan berbaur menjadi satu identitas kultural masyarakat Semarang.

Dugderan pertama kali dicetuskan pada masa pemerintahan Bupati Semarang kelima, Kyai Tumenggung Purbaningrat, pada tahun 1881 M. Tujuan awalnya adalah sebagai bentuk pengumuman resmi bahwa bulan Ramadan telah tiba.

Pada masa itu, masyarakat belum memiliki akses terhadap informasi seperti sekarang, sehingga pemerintah merasa perlu membuat pengumuman secara meriah dan massal. Nama “Dugderan” berasal dari suara tabuhan bedug (“dug”) dan tembakan meriam (“der”), dua elemen audial yang digunakan untuk menandai waktu dimulainya ibadah puasa.

Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi festival rakyat yang meriah dan sarat dengan unsur budaya lokal.

Salah satu ciri khas dalam perayaan Dugderan adalah arak-arakan Warak Ngendog, sebuah ikon budaya yang secara visual merepresentasikan sinergi antarbudaya. Warak Ngendog adalah makhluk mitologis dengan tubuh menyerupai naga, kepala seperti unta, dan kaki seperti kambing. Kombinasi ini menyimbolkan perpaduan budaya Tionghoa (naga), Arab (unta), dan Jawa (kambing) yang merupakan tiga kelompok etnis dominan di Semarang.

Bentuk Warak ini bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan mengandung makna simbolik yang dalam bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan, melainkan kekayaan yang bisa bersatu dalam keharmonisan.

Dugderan kemudian mengalami transformasi, dari sekadar pengumuman Ramadan menjadi festival budaya yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ada pasar rakyat, pentas seni tradisional, pertunjukan wayang, parade kostum budaya, hingga pertunjukan musik kontemporer. Semua elemen tersebut menciptakan ruang ekspresi bagi masyarakat lintas usia, etnis, dan agama. Dalam konteks antropologi multikultural, Dugderan dapat dipahami sebagai media perjumpaan kultural, di mana identitas tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk saling bertemu dan berdialog.

Namun, dalam perjalanan sejarahnya, Dugderan juga menghadapi berbagai tantangan. Arus globalisasi dan modernisasi membuat sebagian masyarakat, terutama generasi muda, mulai melupakan makna-makna simbolik yang terkandung dalam tradisi ini.

Banyak dari mereka mengenal Dugderan hanya sebagai ajang hiburan atau pasar malam semata. Komodifikasi budaya juga menjadi isu tersendiri. Festival yang dulunya murni dijalankan oleh masyarakat kini mulai dikemas sebagai daya tarik wisata oleh pemerintah daerah dan pelaku industri kreatif.

Ini tidak sepenuhnya buruk, namun jika tidak dikendalikan, ada risiko terjadinya pengaburan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam tradisi tersebut. Di sinilah pentingnya pelestarian budaya melalui pendekatan edukatif dan partisipatif.

Pemerintah Kota Semarang sudah mulai menggandeng sekolah-sekolah dan komunitas seni lokal untuk mengedukasi generasi muda tentang asal-usul dan makna Dugderan.

Beberapa guru sejarah bahkan memasukkan materi Dugderan ke dalam pembelajaran di kelas sebagai bagian dari warisan budaya lokal. Komunitas pengrajin Warak Ngendog juga rutin mengadakan pelatihan dan workshop untuk pelajar dan wisatawan. Pelibatan langsung seperti ini penting agar proses transmisi nilai budaya tidak terputus.

Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu warga berinisial SW, dan guru berinisial AF yang telah terlibat dalam pembuatan Warak Ngendog sejak lebih dari 25 tahun lalu dan  pegiat budaya ini. Saat ditemui di kediamannya di kawasan Kota Lama, mereka menjelaskan:

“Dugderan itu bukan cuma festival atau pasar malam, Mas. Ini adalah bagian dari identitas wong Semarang. Saya sejak kecil sudah diajak orang tua saya ikut arak-arakan Dugderan. Warak Ngendog itu dibuat dengan tangan, dengan makna simbolik yang dalam. Bentuknya campuran antara naga, unta, dan kambing—itu bukan asal-asalan. Itu mencerminkan perpaduan budaya Tionghoa, Arab, dan Jawa yang ada di kota ini sejak dulu.”

Ia menambahkan bahwa dalam proses pembuatan Warak Ngendog pun, selalu melibatkan pemuda-pemudi setempat:

“Saya sengaja ngajak anak-anak muda di kampung buat belajar bikin Warak. Biar mereka ngerti sejarahnya, bukan cuma ikut karnavalnya. Kita nggak bisa ngelestariin budaya kalau generasi mudanya nggak dilibatkan.”

Sebagai guru sejarah di salah satu SMA negeri di Semarang dan pegiat komunitas “Nguri-uri Budaya Semarang”, Bapak Fauzi menekankan pentingnya integrasi tradisi seperti Dugderan ke dalam pendidikan formal:

“Saya selalu memasukkan Dugderan dalam materi lokal sejarah budaya kepada siswa. Saya ajak mereka langsung turun ke lapangan waktu perayaan berlangsung. Mereka harus tahu, ini bukan cuma tontonan, tapi pelajaran tentang toleransi, keberagaman, dan bagaimana masyarakat kita hidup berdampingan.”

Ia juga menyampaikan bahwa tradisi ini seharusnya lebih difungsikan sebagai media pendidikan karakter.

“Kalau kita lihat Warak Ngendog, itu ‘kan sarat simbol. Kita bisa ajarkan makna kebersamaan, gotong royong, dan akulturasi budaya. Ini pembelajaran hidup yang tidak semua daerah miliki. Dugderan bisa jadi contoh nasional bagaimana multikulturalisme dijalankan secara konkret.”

Dalam wawancara dengan warga setempat, budayawan lokal yang juga pembuat Warak Ngendog, ia menyatakan bahwa Warak bukan sekadar boneka arak-arakan. Ia menuturkan, “Warak itu lambang kita, warga Semarang. Kalau kita kehilangan makna itu, kita kehilangan sebagian jati diri kita sendiri.”

Hal senada juga disampaikan oleh AF, guru sejarah di salah satu SMA negeri di Semarang. Ia menjelaskan bahwa Dugderan adalah media pendidikan karakter yang luar biasa karena mengajarkan toleransi, kerja sama, dan penghargaan terhadap keberagaman.

Melalui lensa antropologi multikultural, Dugderan menunjukkan bagaimana keberagaman dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai slogan. Ini menjadi penting di tengah meningkatnya polarisasi sosial dan politik identitas yang terjadi di banyak kota besar di Indonesia. Dugderan menjadi bukti bahwa perbedaan bukan sumber konflik, tetapi bisa menjadi modal sosial untuk membangun kota yang inklusif dan harmonis.

Pada akhirnya, Dugderan adalah lebih dari sekadar tradisi atau tontonan tahunan. Ia adalah penanda identitas, ruang dialog budaya, dan warisan kolektif masyarakat Semarang. Melalui pelestarian yang berbasis komunitas, edukasi lintas generasi, dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada budaya lokal, Dugderan dapat terus hidup dan berkembang sebagai simbol dari wajah Indonesia yang multikultural.

Nama Anggota
Charles Theofilus Kordias Laoli (2023011108)
Elisabeth Ema Orolalng (2023011111)
Felina melani (2023011067)
Imelda ricsa maharani (2023011032)
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Dosen Pengampu
Hartosujono, A.Md, S.E., S.Psi., M.Si.

Editor: Walterius R. Janu, S.Psi

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi

Daftar Pustaka

Anggraeni, R. (2023). Simbolisme dan Akulturasi Budaya dalam Warak Ngendog pada Tradisi Dugderan di Semarang. Jurnal Ilmu Budaya, 21(1), 33–45.
Fitriani, H., & Musthofa, M. (2021). Eksistensi Tradisi Dugderan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Semarang. Jurnal Sejarah dan Budaya Lokal, 10(2), 112–128.
Handayani, T. (2023). Kearifan Lokal dalam Tradisi Dugderan: Kajian Historis dan Sosial Budaya. Semarang: Penerbit Cakra Edukasi.
Hadi, A. (2022). Revitalisasi Tradisi Lokal dalam Perspektif Pariwisata Budaya: Studi Kasus Dugderan di Kota Semarang. Jurnal Pariwisata dan Budaya, 7(1), 50–61.
Isnaini, S. (2023). Warak Ngendog sebagai Representasi Multikulturalisme dalam Tradisi Dugderan. Jurnal Multikultural dan Tradisi Nusantara, 5(1), 71–83.
Yuliana, T. (2021). Multikulturalisme dalam Tradisi Masyarakat Urban: Studi Dugderan Semarang. Jurnal Urbanisme dan Kearifan Lokal, 8(1), 43–58.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel