Cepat, Lugas dan Berimbang

Kita Tak Pernah Tiba-Tiba Juga?!?!

Persekongkolan
Pater Kons Beo, SVD (Dokumen Pribadi)

(sekadar satu perenungan)

P. Kons Beo, SVD

Kita bukannya tak pernah hening meditatif. Bukannya kita jauh dari kisah-kisah, aksi dan tampilan sakral – kontemplatif. Sayangnya, kita sepertinya ‘gagal meraih makna.’ Kita bisa kehilangan arah. Kita kerepotan dalam melangkah orientatif di jalan panjang pun di jalan setapak ziarah hidup ini.

Persoalannya?

Si bijak meneropong, bahwa “Kita selalu berpaling untuk mencari makna, tujuan, dan kepuasan di tempat lain. Bukan di tempat seharusnya.” Keadaan atau disposisi batin yang tak menentu terombang-ambing ini bisa lahirkan satu sifat jelek kita! Dan hal itu sungguh mengganggu.

Ambillah satu contoh!

Bukan kah sekian banyak dari kita berhasil membangun sebuah rumah (fisik) kediaman? Namun, sayangnya, ‘hati kita sulit berada di situ? Tak nyenyak dan tak kerasan?
Atau di kisah lain, bahwa kita sedikit pun ketiadaan selera makan. Padahal lezatnya menu makanan jelas-jelas ada di depan mata.

Mari memaknai lanjut. Dan ini lebih menantang:

Kita merasa punya ‘rumah agama, atau pondok iman’ namun kita tak pernah damai dan sejuk di situ. Kita dirantai cemas dan gelisah. Jadinya, ‘rumah agama’ itu tak ubah bagai penjara yang membelenggu hati. ‘Pondok iman’ membuat kita ‘mati langkah’ untuk berbesar hati. Kita gagal meraih dan mengalami yang seharusnya.

Atau diibarat lainnya…

Gelar akademik kita melambung dan didaulat ditakhta tinggi. Sayangnya, kita jadi kocar-kacir dalam sekolah keseharian nyata. Kutu buku berubah aroma kutu busuk dengan daya dan isi pikiran yang sempit, picik dan provokatif. Sarat dalil kebencian dan penuh hasutan. Menciptakan aroma tengik dalam kebersamaan!

Kita jadinya belum ‘tiba-tiba juga dalam sekian banyak hal yang seharusnya.’

Bagaimana pun?

Kita tentu tak mau kehilangan harapan dan niat tulus di jalan hidup ini. Terhalang dan tertahan pada yang seharusnya, yang bermakna, yang cerah sinar berseri, tak boleh boleh menggiring kita pada keputusasaan.

Kita berikhtiar bahwa isi pikiran ini berkembang dan maju. Kita impikan cita rasa iman yang subur dan mendebarkan. Sensus religiosus seperti itu mesti membawa kerinduan akan yang Ilahi.

Kita rindukan hati kita agar dapat terbuka luas. Agar dapar menjangkau sesama, dan bagi sesama selalu ada tempat.

Sebenarnya terdapat keyakinan tak tergoyahkan. Kita diingatkan bahwa “Panggilan terbesar yang ditujukan pada diri kita seringkali bukanlah panggilan untuk maju. Tetapi panggilan untuk kembali. Kembali kepada kesederhanaan iman kita.”

Jika sungguh berakar pada Tuhan, maka kita sungguh bertumpuh hidup pada iman. Kita tak akan pernah dibantai oleh kegelisahan karena ‘perbedaan dan kemajemukan.’ Kita pasti lewati segala iri dan dengki terhadap sesama.

Hidup yang benar dalam iman dan di dalam rumah agama sanggupkan kita untuk melepaskan apapun yang membelenggu diri. Yang menjadikan kita ‘kerdil, kecil dan sempit dalam tampilan diri. Jadinya, di ziarah hidup ini nampaknya “kita tak pernah tiba-tiba juga pada tujuan yang semestinya.”

Maka, menjadi terbukalah mata dan hati kita bahwa “Panggilan pulang berarti hidup kita yang sebenarnya berasal dari titik Pusat Kasih dan Hadirat Allah.” Bukanlah dari ‘segala hebat yang kita andalkan sejadinya.

Yakinlah!

Verbo Dei Amorem Spiranti

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel