(sebatas kotak-katik Fufufafa seadanya)
“Yang lebih baik dari seribu omong kosong adalah satu kata yang membawa perdamaian…”
(Sang Bijak).
Kons Beo, SVD
Mau sekedar tenar kah?
Roy Suryo. Belakangan ini lagi tenarlah dia. Menyedot atensi publik dalam bingkai Fufufafa. Diyakini Roy bahwa akun itu, di titik 99,99 %, adalah milik Gibran Rakabuming Raka. Simpul singkatnya, Fufufafa adalah degradasi akut moralitas serta deviasi mental-psikis yang parah. Dan semuanya tersembur dalam gema verbalisme yang kasar, jorok dan banyak kurang ajarnya. Ujung-ujungnya Roy cs sungguh tak sudi bahwa tumpah darah tercinta dinahkodai oleh ‘pemimpin yang eror di segala lini ini.’
Tak ingin sendiri, Roy cs perlu membahana. Gaduh di perbagai media sosial jadi satu panggilan suci. Ini demi keselamatan negeri. Karenanya, merasa untung dan jadi satu kehormatan sekiranya diundang dan tertayang di pelbagai siaran TV, misalnya.
Di situlah debat tak terhindar. Tarung opini jadi tontonan sengit. Ini semua sepertinya, bagi Roy cs, ingin mengatakan “Janganlah hanya kami yang gelisah dan prihatin akan nasib negeri. Sabang hingga Merauke sepantasnya sadar akan bencana kepemimpinan.”
Nafsu telanjangi diri dan kuliti…..
Di ruang publik, tampak Roy cs bertarung penuh daya. Bernafsu telanjangi Gibran sejadinya. Bermodal tergelar sebagai “pakar telematika” Roy rasa diri miliki punya otoritas kepakaran itu. Karenanya publik tak pernah boleh ragu bahwa ‘sungguh benar adanya, Fufufafa, akun teramat jorok itu, adalah milik Gibran. Rekam jejak Gibran pun digali dan dibangkitkan bahwa ‘anak itu memang benar-benar parah.’
Okaylah, bahwa Roy sudah merasa terpanggil untuk membongkar Fufufafa sampai ke akar-akarnya. Dan adalah Gibran, itu tadi, telah jadi obyek targeting, yang wajib ‘tak boleh lolos.’ Negeri ini mesti digaduhkan oleh sikap jelas terhadap Gibran. Berharap kuat agar Prabowo segera bereaksi. Lepaskan atau enyahkan segera Gibran dari duet kepemimpinan negeri.
Intensi polarisasi publik
Tentu tak hanya itu. Roy cs berharap akan adanya kegaduhan masif. Sebab masyarakat – publik mesti terpola dalam Pro dan Kontra yang sengit. Pun Fufufafa mesti jadi duri dalam daging pemerintahan Kabinet Merah-Putih. Sepertinya Roy cs merasa tak sampai hati melihat Prabowo mesti bersanding dengan Gibran, yang telah sekian jorok terhadapnya.
Tetapi, apakah Roy cs mesti tetap dibiarkan ‘menari-nari kesurupan’ dalam lagu dan irama Fufufafa? Gimik lahir dan alam batin Roy cs bisa saja tetap ingin menyasar dan memburu Gibran, yang ‘nota bene’ adalah putra sulung Jokowi. Jika demikian, motif apa di balik semuanya ini? Koq saban hari, saban tampil di ruang publik toh Fufufafa tetap jadi lagu wajib dari koor Roy cs.
Adakah tanur api dendam politik yang belum terpadamkan? Dan sasarannya tetap sama dan itu-itu saja: Jokowi dan Jokowi. Dan kini Jokowi itu sepertinya ‘dikandangkan dalam Gibran.’ Jika mesti dibikin tanya, maka apa ini semua demi ‘selamatkan negeri?’ Atau benar-benar sungguh jadi ungkapan rasa dendan dan benci yang belum tersembuhkan?
Bisa jadi ada benarnya juga
Tetapi bagaimana pun anggap saja bahwa Roy cs ada benarnya. Namun di sisi lain, pihak Pro Jokowi (Gibran) juga yakini bahwa semuanya hanyalah fitnah keji. Yang terbaik, kata segelintir orang, biarlah para ahli yang berlisensi dan independen yang selidiki dan cermati akar Fufufafa itu. Biarlah publik pada paham duduk soal seperti apa? Dan terutama milik siapa kah gerangan aku Fufufafa itu?
Gemuruh Fufufafa tentu tetap menggema saat belum tiba finalitas ofisial. Dan Roy cs tentu, dengan mimik dan gesture khasnya, bakal tetap membawa ‘modal Bocor Alus Tempo’ bahwa akun Fufufafa itu milik si Gibran. Wah, gemuruh yang mesti tetap mengguntur dari ‘cahaya petir kepakaran Roy Suryo’ tentang ‘barang ini.’ Iya, si Fufufafa itu.
Mesti kah perjalanan kita terhalang sandungan?
Oh iya, mari kembali ke tanya awal. Apa sesungguhnya maksud hati dari Roy Suryo cs di balik semuanya ini? Toh, biarkanlah bangsa kita lanjutkan perjalanan ini menuju cita-cita kemerdekaan. Suara bijak menuntun agar biarlah tumpah darah ini ada dalam keteduhan dan damai.
Tentu kata-kata bijak dan nasihat saleh itu tentu tak mudah tembusi tembok tebal hati yang telah tersandra oleh kepentingan. Pun oleh luka-luka pedih perih akibat, mungkin saja, virus dendam politik itu. Entahlah sampai kapan si Roy Suryo cs tetap ‘bernyanyi dan bergema serta terus bergemuruh?’ Wah, jangan-jangan ‘beraninya’ si Roy ini diasapi pula oleh elit-elit politik lainnya? Itulah rana politik yang ‘labilnya betul-betul stabil. Elastik namun adaptif..
Sudahlah…
Sekiranya publik tak usahlah terpancing lagi untuk bergemuruh…. Yang sungguh dibutuhkan biarlah hanya satu kata yang membawa perdamaian, dari pada banyak kata yang bergemuruh-ria. Berkasak-kusuk hanya kibaskan suasana panas…
Bisa jadi kalimat ini tak disukai Roy Suryo cs, “Walau kita merasa diri berada di posisi yang benar, tidak ada salahnya untuk mengalah dan biarkan semuanya berlalu demi keteduhan dan perdamaian….”
Dan bisa saja si Rokcy Gerung bakal nyeletuk, “Ini namanya keteduhan dan perdamaian yang dungu…”
Wah, ada-ada saja……
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel