Cepat, Lugas dan Berimbang

Bentengi Remaja di Era Digital, SMPN 12 Satar Mese Gandeng Densus 88 Gelar Sosialisasi

Oplus_131072

Ruteng, infopertama.com – Di tengah derasnya arus informasi digital yang tak terbendung, para pelajar SMPN 12 Satar Mese, Kabupaten Manggarai, mendapat bekal berharga untuk melindungi diri dari paparan paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme, terorisme, serta penyimpangan seksual.

Kegiatan sosialisasi yang digelar di aula sekolah pada 10 Oktober 2025 ini dihadiri ratusan siswa dan guru. Sejumlah instansi hadir sebagai narasumber, di antaranya BKKBN, Polsek Satar Mese, DP2KB Kabupaten Manggarai, serta Tim Pencegahan dari Kasatgaswil Densus 88 NTT.

Kepala Sekolah SMPN 12 Satar Mese, Marsianus Ngera, membuka kegiatan dengan nada haru dan tegas. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi langkah penting di tengah tantangan moral dan sosial yang kian kompleks di kalangan remaja.

“Di era digital saat ini, berbagai informasi sangat mudah diakses. Ada yang baik, tapi banyak juga yang menyesatkan. Kami ingin anak-anak kami selamat dari paparan ideologi intoleran, radikalisme, terorisme, dan penyimpangan perilaku seksual,” ujarnya.

Marsianus tak menutup mata terhadap persoalan nyata yang dihadapi sekolahnya, termasuk maraknya perilaku perundungan (bullying).

“Perilaku bullying masih sering terjadi di sekolah kami. Kami sempat putus asa, tapi terus berusaha membina anak-anak agar menjadi orang baik. Kegiatan seperti ini sangat penting. Ini jembatan untuk masa depan mereka,” katanya.

Bijak Bermedia, Lindungi Diri Sejak Dini

Dalam sesi berikutnya, Kapolsek Satar Mese, Iptu Kiki Zakia Muhamad Baschoan, S.Sos., mengingatkan para pelajar agar bijak menggunakan gawai dan media sosial.

“Saya yakin banyak di antara kalian punya HP Android. Ingat, hari ini jarimu adalah harimaumu,” tegasnya, disambut tawa kecil para siswa.

Namun di balik gaya santainya, Iptu Kiki menyampaikan pesan serius. Ia menekankan bahwa kesalahan kecil di dunia maya dapat berakibat fatal.

“Sekali jari kalian salah ketik atau share, bisa fatal akibatnya. Jangan asal posting,” ujarnya memperingatkan.

Khusus kepada para siswi, Kapolsek memberi pesan untuk menjaga diri dan memahami batasan pergaulan. Ia bahkan menyinggung kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini ditangani pihaknya.

“Dua minggu lalu kami tangani kasus anak umur 12 tahun yang diperkosa om kandungnya sendiri karena orang tuanya bekerja di Malaysia. Ini pelajaran pahit. Karena itu, jaga diri baik-baik dan jangan mudah percaya pada siapa pun,” pesannya, membuat suasana ruang aula seketika hening.

Bangun Komunikasi dan Ketahanan Diri

Sementara itu Perwakilan DP2KB Kabupaten Manggarai, Pius Wanda, mengajak para siswa untuk berani terbuka kepada orang tua dan guru dalam menghadapi persoalan pribadi.

“Anak-anak, kalau ada masalah, jangan diam. Cerita ke orang tua atau guru. Jangan sembunyikan hal-hal yang membuat kalian takut,” ujarnya.

Pius kemudian memaparkan tujuh langkah pencegahan perilaku menyimpang: menjalin komunikasi dengan orang tua, mencari sahabat yang dipercaya, meningkatkan kepercayaan diri, berani menolak hal buruk, menghindari pergaulan bebas, aktif dalam kegiatan positif, dan menjaga kesehatan.

Rekannya, Hironimus, melanjutkan sesi dengan pembahasan mengenai kesehatan reproduksi dan pendewasaan usia perkawinan.

“Pada masa pubertas, rasa ingin mencoba itu besar sekali. Tapi sayangnya yang sering dicoba justru hal-hal negatif — balapan motor, merokok, mabuk, bahkan hubungan seks di usia dini,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa usia ideal menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.

“Kalau menikah terlalu muda, banyak risikonya. Pernikahan dini sering terjadi karena putus sekolah. Jadi, kalau bisa, selesaikan sekolah sampai kuliah dulu,” pesannya.

Radikalisme dan Penyimpangan Seksual: Dua Sisi dari Krisis Moral yang Sama

Bagian inti sosialisasi dibawakan oleh Silvester Guntur, S.H., M.M., dari Tim Pencegahan Paham Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme Densus 88 Kasatgaswil NTT. Dengan gaya santai namun tajam, Silvester mengupas bagaimana ancaman ideologi ekstrem kini menyusup halus melalui dunia maya.

“Kalian mungkin pikir radikalisme itu hanya soal bom dan kekerasan. Padahal awalnya muncul dari hal sederhana, dari komentar kebencian, dari postingan yang menjelekkan orang lain, dari candaan yang merendahkan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa dunia digital adalah ruang terbuka tanpa batas yang bisa menjadi sarana penyebaran kebencian dan manipulasi psikologis.

“Sekali kalian buka ponsel, jutaan informasi masuk. Tapi tidak semua benar. Ada yang sengaja disusun untuk menanamkan kebencian, ada yang dibuat untuk menjebak,” katanya.

Silvester menyoroti peningkatan perilaku menyimpang di ruang digital seperti pornografi, sexting, grooming online, dan kekerasan seksual berbasis daring.

Berdasarkan laporan Kemen PPPA tahun 2024, kasus kekerasan seksual daring meningkat 28% dibanding tahun sebelumnya. Di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) saja, tercatat lebih dari 320 kasus kekerasan terhadap anak dan remaja sepanjang 2023–2024, sebagian besar berawal dari interaksi di media sosial.

Sementara itu, data Polri 2024 menunjukkan lebih dari 2.300 laporan judi online melibatkan remaja. Secara nasional, terdapat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak dan 480 kasus kekerasan digital pada tahun yang sama. Angka-angka ini, kata Silvester, menjadi alarm bagi semua pihak bahwa pencegahan tidak bisa lagi ditunda.

“Remaja yang kehilangan arah moral mudah dieksploitasi, baik oleh pelaku seksual maupun kelompok ekstrem. Polanya sama: mereka memanfaatkan kelemahan psikologis, rasa ingin diakui, dan kebutuhan akan kasih sayang,” ujarnya.

Silvester kemudian mengaitkan penyimpangan seksual dan radikalisme sebagai dua sisi dari krisis moral yang sama. Ia mengutip hasil penelitian BNPT dan UNICEF 2023 yang menunjukkan bahwa remaja dengan perilaku seksual berisiko tinggi memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam tindakan kekerasan dan intoleransi.

“Radikalisme dan penyimpangan seksual sama-sama dimulai dari lemahnya ketahanan diri. Kalau kalian tidak kuat secara spiritual, emosional, sosial, dan digital, maka siapa pun bisa memengaruhi kalian,” tegasnya.

Ia kemudian menjabarkan empat pilar ketahanan remaja: spiritual, emosional, sosial, dan digital. “Kalau kalian punya iman yang kuat, hati yang tenang, dan teman yang baik, kalian tidak mudah dibujuk untuk membenci. Dan kalau bijak bermedia, kalian tidak akan mudah terjebak dalam hoaks dan konten ekstrem,” tambahnya.

Menutup sesinya, Silvester menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah dan aparat, tetapi juga keluarga dan masyarakat.

“Angka-angka ini bukan sekadar data. Di baliknya ada tangisan dan luka yang nyata. Karena itu, kita semua punya tanggung jawab melindungi kalian,” ujarnya.

Sosialisasi yang dialogis

Suasana menjadi semakin hidup saat sesi tanya jawab dibuka. Bian, salah satu siswa, dengan polos bertanya; “Apa alasan sekolah kami dijadikan sasaran sosialisasi, dari semua sekolah di Satar Mese?”

Dengan tenanh Silvester menjawab , “Yang pasti, sosialisasi ini dilakukan bukan karena ada teroris di sekolah kalian. Yang dilakukan hari ini adalah pembekalan terhadap kalian. Karena di mana pun kamu pergi, kamu akan berhadapan dengan internet yang berisi banyak informasi negatif. Semua orang rentan terpapar.

Kenapa di sekolah kalian? Sebenarnya bukan hanya di sekolah kalian saja, kegiatan seperti ini juga akan dilakukan di sekolah lainnya, bukan hanya di Satar Mese.”

Pertanyaan lain datang dari Rini. Dengan nada penasaran, ia bertanya, “Apa aspek-aspek yang membuat teroris meneror masyarakat?”

Silvester menjawab lugas, “Pertama, ada aspek ideologis, di mana mereka meyakini hanya pemahamannya yang benar. Jika ada orang yang tidak seideologi, maka dianggap kafir dan layak dibunuh. Kedua, aspek keadilan ekonomi. Mereka merasa hanya orang tertentu yang diuntungkan, sementara yang lain ditindas. Ketiga, aspek sosial, karena ada ketimpangan sosial yang menimbulkan rasa marah terhadap sistem dan masyarakat.”

Kepala Sekolah Marsianus Ngera kemudian menanggapi dengan senyum hangat.

“Kalau kamu bertanya pada saya kenapa pilih SMP 12, jawaban saya adalah karena saya mencintai kalian semua. Kami menyadari bahwa apa yang kami berikan kepada kalian tidak cukup, maka kami mengundang banyak pihak, contohnya soal terorisme, agar kalian mendapat bekal yang lebih kuat untuk masa depan.”

Sosialisasi yang berlangsung setengah hari itu ditutup dengan pesan kuat dari Silvester Guntur:

“Remaja tangguh bukan yang tidak pernah jatuh, tapi yang bisa bangkit dengan iman dan nilai yang benar. Kalian adalah masa depan bangsa. Jangan biarkan jari dan pikiran kalian dikendalikan oleh kebencian atau hawa nafsu.” ***

                    

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel