Religi  

Satu Hati dan Satu Jiwa Menuju Kemajuan Bersama

Kemajuan Bersama

PEKAN II PASKAH
Selasa, 26 April 2022
Bacaan: Kisah Para Rasul 4: 32-37; Yohanes 3: 7-15

Biasanya milik sendiri adalah milik sendiri dan milik bersama adalah milik bersama. Tidak ada campuran atau pembauran antara milik sendiri dan milik bersama. Kekacauan dan bahkan perkelahian terjadi apabila milik sendiri menjadi milik bersama atau milik bersama menjadi milik sendiri.

Meskipun demikian bukan mustahil terjadi bahwa milik sendiri menjadi milik bersama atau milik bersama adalah milik sendiri. Kehidupan jemaat perdana di dalam Gereja membuktikan kebenaran ini.

“Kumpulan orang yang telah percaya akan Yesus sehati dan sejiwa. Dan tidak seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama”. Dalam kondisi itu, “mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Di antara mereka tidak ada seorang pun yang berkekurangan.” Mereka ‘menjual kepunyaan’ mereka dan ‘hasil penjualan itu …dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4: 32-35).

Sejalan dengan teladan hidup jemaat perdana ini, hendaklah kita belajar untuk menjadi ‘sehati dan sejiwa’ dalam iman. Dan, ‘percaya akan Yesus’ yang bangkit. Sebagai manusia, kita memang pasti berbeda-beda dalam pikiran dan hati, dalam jiwa dan semangat hidup, dalam bakat dan kemampuan kita. Tetapi dalam iman dan kepercayaan akan Yesus, kita harus mampu bersatu dan menyatukan diri. Hati dan pikiran kita, jiwa dan semangat kita, bakat dan kemampuan kita. Dengan kata lain, iman dan kepercayaan akan Yesus yang bangkit mesti mampu menyatukan dan mempersatukan semua hal yang ada pada kita. Agar kita dapat bergerak bersama atau melakukan gerakan bersama bagi kemajuan hidup serta bagi perkembangan gereja dan masyarakat. Kemajuan dan perkembangan sulit dicapai kalau setiap orang bergerak sendiri-sendiri dan berjalan sendiri-sendiri.

Tentu orang bisa maju dan berkembang tanpa harus menyatu atau bersatu dengan orang lain. Tetapi bila kemajuan dan perkembangan terlepas dari ikatan persatuan dan kesatuan dengan orang lain, kemajuan dan perkembangan itu tidak memiliki nilai atau makna sosial. Dan setiap kemajuan dan perkembangan tanpa nilai atau makna sosial pada akhirnya melahirkan ‘gap atau jurang perbedaan mutu kehidupan’ yang pada ujungnya melahirkan kecemburuan dan iri hati, dendam dan benci serta mendatangkan konflik dan perkelahian, kekacauan dan kerusuhan dalam hidup bersama.

Untuk menghindari ‘gap atau jurang perbedaan mutu kehidupan’ yang terlalu jauh itu, amatlah bijaksana bila setiap orang atau setiap kita mengatur dan mengelola dengan baik harta kekayaan yang ada pada kita masing-masing. Harta kekayaan adalah penopang kemajuan dan perkembangan hidup manusia. Tanpa harta kekayaan kehidupan tidak dapat dikelola dengan baik untuk mencapai kemajuan dan perkembangan.

Dalam managemen pengaturan harta kekayaan, memang amat ideal bila terjadi seperti pada jemaat Gereja perdana, yaitu ‘segala sesuatu adalah kepunyaan bersama’. Dalam arti ini, boleh-boleh saja setiap orang mempunyai harta kepunyaan masing-masing dan dapat juga mengaturnya sendiri-sendiri untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya sendiri. Namun jangan sampai harta kekayaan pada setiap orang menutup ‘pintu hati dan pintu pikiran, pintu emosi dan pintu kehendak’ untuk melihat dan memperhatikan kondisi hidup orang lain. Kita tidak perlu menghidupi secara lurus-lurus pola managemen harta kekayaan pada jemaat Gereja perdana. Dalam sejarah hidup manusia, memang selalu ada komunitas atau kelompok hidup tertentu memiliki dasar dan tujuan yang amat spesifik untuk menerapkan managemen ‘satu kantong atau satu saku’ kekayaan bagi semua anggota komunitas atau kelompok.

Berbeda dengan komunitas atau kelompok spesifik tertentu seperti itu, kita tidak harus memasukkan semua harta kekayaan pribadi kita ke dalam ‘satu kantong’ harta kekayaan bersama. Tetapi apa yang ada pada ‘kantong’ kekayaan pribadi atau pada ‘saku’ harta sendiri mesti ‘dibagi-bagikan’ juga kepada orang lain. Kekayaan pribadi adalah tetap kekayaan pribadi. Tetapi kekayaan pribadi tetap mengandung nilai atau makna sosial, justru ketika kekayaan pribadi itu dapat disharekan kepada orang lain dan ikut dinikmati oleh orang lain. Orang kaya yang berbahagia adalah orang yang ‘membagi-bagikan dan memberikan kepada orang miskin’ apa yang menjadi bagian dari harta kekayaannya (Mzm 112: 9; 2Kor 9: 9).

Sebab itu “bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal 6: 2). Menurut hukum kasih Kristus, manusia harus saling menolong dalam menanggung beban hidup. Bagi orang kaya, harta kekayaan adalah jalan hukum kasih untuk menolong dan menanggung beban orang miskin. Sedangkan bagi orang miskin, doa dan dukungan adalah jalan hukum kasih untuk menolong dan menanggung beban orang kaya. Jangan kita berpikir hanya orang miskin memiliki beban. Janganlah berpikir seperti itu. Sebagaimana orang miskin mempunyai beban, demikian juga orang kaya memiliki beban meskipun dalam wujud atau bentuk yang lain. Maka apabila engkau orang kaya, bantulah orang miskin dengan harta kekayaanmu. Tetapi bila engkau orang miskin, bantulah orang kaya dengan dukungan doamu, perhatian dan simpatimu. Dan, terutama dengan upayamu untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya rejeki dan kemurahan hati orang kaya guna membangun hidupmu agar menjadi lebih baik.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV