Cepat, Lugas dan Berimbang

Pandangan Fais Bo’a Soal Penuntutan JPU terhadap Sambo cs

cs: Cum suis-Latin=rekan=dkk
Kelanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua Hutabarat telah sampai pada tahap Penuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum). Sebagaimana diketahui bersama, Ferdy Sambo selaku inisiator sekaligus eksekutor pembunuhan dituntut hukuman Penjara Seumur Hidup oleh JPU.

Inisiator lainnya yakni Putri Candrawati yang tidak lain istri Sambo dituntut 8 tahun penjara. Tersangka lainnya yaitu Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf mendapat penuntutan yang sama dengan Putri Candrawati. Sementara itu, Ricard Eliezer selaku eksekutor pembunuhan yang kemudian menjadi JC (Justice Collaborator) dituntut 12 tahun penjara.

Menyalahkan atau Menyayangkan JPU?

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar publik sangat tidak puas dengan penuntutan yang diberikan JPU kepada para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Ketidakpuasan publik sangatlah wajar mengingat sejak perkara ini bergulir, hanya satu hal yang terus mendengung: hukuman mati! Terutama pula, dari dakwaan hingga penuntutan terhadap Sambo cs memang pasal pembunuhan berencana yakni Pasal 340 KUHP yang dalam ketentuan hukumannya hukuman mati, penjara seumur hidup dan penjara selama-lamanya 20 tahun.

Lalu, apakah kita harus menyalahkan JPU?Apakah kita pantas untuk menganggap JPU tidak becus dalam memberi pertimbangan hukum terhadap Sambo cs? Puas dan tidak puas terhadap penuntutan JPU dalam perkara yang memiliki atensi publik tinggi sangatlah biasa.

Akan tetapi, kita tidak kemudian menyalahkan ataupun menganggap JPU tidak becus. JPU tentu memiliki pertimbangan dan analisa hukum yang mendalam dalam memberi pertimbangan hukuman kepada para terdakwa. Terutama sekali, dalam perkara pidana berat sebagaimana dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

Menurut hemat saya, kita tidak menyalahkan JPU melainkan menyayangkan! Tentu saja yang kita sayangkan adalah terkait tidak matchingnya uraian kebenaran hukum berdasarkan fakta-fakta persidangan dengan kesimpulan. Ferdy Sambo dibenarkan oleh JPU sebagai otak pembunuhan sekaligus turut melakukan pembunuhan. Akan tetapi, dituntut penjara seumur hidup. Putri Candrawati dibenarkan JPU turut serta dalam skenario pembunuhan berencana Brigadir J. Namun, hanya dituntut 8 tahun penjara. Eliezer yang diakui sebagai pelaku kejahatan yang membantu penegak hukum termasuk JPU dalam membongkar kasus malah dihukum 12 tahun penjara.

Di lain sisi, JPU rupanya tidak cermat dalam mengolah dan menganalisis kasus yang terjadi. Tidak heran kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan tidak konsisten. Misalkan, menyebut Eliezer sebagai eksekutor tetapi tidak pernah menyebut Sambo dan Putri sebagai inisiator. Mungkin saja ketidakcermatan seperti ini disepelekan JPU. Tetapi, JPU seharusnya sadar bahwa penggunaan terminologi yang tidak adil seperti ini amatlah tendensius.

Tuntutan JPU Tidak Mempengaruhi Putusan Hakim!

Ketidakpuasan publik terhadap tuntutan JPU terhadap Sambo cs mesti dianggap sebagai akibat logis dari antusiasme publik pada perkara kematian Brigadir J. Sebelum ketidakpuasan itu terus menghantui kita semua, alangkah baiknya kita mengemukakan sebuah pertanyaan. Apakah tuntutan JPU berpengaruh terhadap putusan hakim?

Sebelum saya mengurai putusan hakim, pertama-tama perlu disampaikan bahwa tidak ada peraturan hukum pidana yang mengatur bahwa putusan hakim berdasarkan tuntutan JPU. Artinya, Majelis Hakim tidak terikat oleh tuntutan JPU! Lantas, apa yang mendasari Majelis Hakim dalam membuat putusan dalam perkara ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan pengaturan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pertama, mengenai independensi hakim dalam membuat putusan. Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 mengatur: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal ini memberikan keleluasaan kepada hakim untuk membuat putusan berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kalau disandingkan secara teori hukum pidana, maka pasal di atas menghendaki supaya hakim memiliki dua bentuk pertimbangan dalam membuat putusan. Pertama, pertimbangan legal-yuridis yakni pertimbangan yang berdasarkan peraturan tentang perkara terkait. Misalkan peristiwa pembunuhan berencana mengacu pada Pasal 340 KUHP.

Selain itu, fakta persidangan berupa alat bukti (keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, dokumen, petunjuk) dan barang bukti (barang yang digunakan ketika kejahatan dilakukan) menjadi acuan penting.

Kedua, pertimbangan non yuridis yaitu pertimbangan yang berdasarkan situasi sosial masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan dampak yang ditimbulkan pada masyarakat akibat perkara yang terjadi. Selain itu, ada juga yang namanya berdasarkan nurani hakim. Ini artinya, integritas dan moralitas pribadi hakim dipertaruhkan.

Kedua, terkait berat ringannya putusan. Pasal 8 ayat (2) UU 48/2009 menegaskan: Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Pasal ini berkaitan erat dengan perilaku para terdakwa ketika menjalani persidangan.

Kalau Majelis Hakim menilai perilaku para terdakwa baik saat menjalani sidang maka tentu saja dapat memperoleh keringanan hukuman. Begitu pula jika perilaku buruk maka bisa saja hukumannya diperberat.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sekiranya dapat memberikan pemahaman kepada kita bahwa penuntutan JPU terhadap terdakwa tidak mempengaruhi putusan hakim.

Mari menghormati Peradilan
Ketidakpuasan sebagian besar dari kita terhadap JPU dalam melakukan penuntutan terhadap Sambo cs tidak boleh kemudian membuat kita merendahkan peradilan. Peradilan tetaplah tempat mulia untuk mencari dan menemukan keadilan hukum. Lagi pula, penuntutan JPU tidaklah mengikat hakim dalam membuat putusan.

Di lain sisi, proses persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir J masih sangat panjang. Setelah penuntutan dari JPU, akan dilanjutkan dengan pembelaan terdakwa (pledoi); kemudian JPU kembali membuat tanggapan (replik); dilanjutkan dengan terdakwa melakukan bantahan atas replik JPU (duplik); barulah kemudian Majelis Hakim melakukan musyawarah tertutup dan rahasia. Setelahnya, barulah muncul putusan hakim.

Maka dari itu, tetaplah menghormati peradilan beserta proses persidangan yang berlangsung di dalamnya.

Oleh Fais Yonas Boa*

Penulis Buku “Pancasila dalam Sistem Hukum”

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel