(sebatas satu perenungan)
“Kita punya cukup banyak agama untuk membuat kita saling membenci dan memusuhi, tapi tak cukup banyak agama yang membuat kita saling mengasihi…”
(Jonathan Swift, Pengarang Irlandia, 1667 – 1745)
Kons Beo, SVD
Agama: pencaharian yang tak pernah selesai…
Sebenarnya apa yang dicari dalam agama? Mengapa mesti menjadi seorang penganut agama? Katakan penganut agama Kristen (Katolik), misalnya? Dalam agama tentu ditempatkanlah sejumlah ekspetasi beraroma seputar merasa ‘bebas, teduh dan tergaransi.’ Dan di situlah….
Yang kasat mata terbaca dan yang terang terdengar bahwa agama bisa terpenjara dalam beton-beton yang mengklaim dirinya sendiri sebagai titian dan jaminan untuk ‘hidup tenang, membebaskan orang dari stres, atau juga secara ekonomi bisa menjurus pada entengnya gemukan pundi-pundi atau harta.’
Tampaknya mudah untuk mengatakan bahwa “Jadilah Kristen karena akan membebaskanmu.” Tetapi, kalimat berdaya pikat seperti ini tentu saja tak cukup, bahkan masih jauh dari batas minimal. Agak lebih meyakinkan sekiranya orang-orang kristen sendiri, yang nota bene telah berada dalam biduk agama (gereja), ‘dengan cara penuh simpatik berdaya tarik akan mengarah kepada Tuhan, satu-satunya tujuan.’
Salah kaprah agama?
Sekiranya agama itu melenceng jauh dari tujuan (akhir) hidup manusia di dalam Tuhan, ‘maka agama itu sepatutnya diabaikan.’ Evangelisasi adalah tawaran serta gerak dalam Gereja agar ‘Nama dan Citra Allah sebagaimana yang diajarkan dan diwariskan Yesus semakin dikenal dan dialami oleh sekian banyak bangsa manusia.’ Tetapi, apakah semudah itu semuanya dapat berjalan?
Satu catatan lepas terasa sungguh menyentak, “Berbagai keuskupan, paroki, membuat rencana-rencana ambisius agar umat lebih mengenal imannya. Tetapi semuanya biasanya kurang berhasil. Kita memang berbicara tentang kasih, tentang kebebasan, tentang kebahagiaan, dan sebagainya, tetapi jika Gereja kita tidak benar-benar menjadi kancah kebebasan dan keberanian, siapakah dan apakah yang percaya kepada kita?”
Dari apa yang dialami dan yang dikaji dalam perbagai ragam tinjauan, agama selalu tampak di simpang jalan. Hidup yang akan datang diwartakan dalam agama. Tetapi agama tetaplah berpijak di atas bumi yang fana. Bumi berteriak karena ketidakadilan, kemiskinan, kekerasan, ketidakpastian nasib, dan sekian banyak ketimpangan dalam kehidupan, tetapi agama dihardik untuk bungkam. Atau sebaliknya agama dicemooh karena diam, dan terlalu sibuk dengan kerohanian devosional dan liturgis. Agama dikecam tak membumi. Yang hanya terpola dalam narasi-narasi kesalehan mengambang bagai awan gemawan.
Sebab, agama mesti semata-mata sibuk dengan persoalan akhirat. Atau surga atau kah sebaliknya neraka. Titik! Dalam Yesus, yang diimani sebagai Tuhan dan Guru, para murid sejak semula dituntun untuk mengenal Allah sebagai Bapa, Sumber Kasih Sejati. Allah Bapa mesti dikenal dalam kehendak dan penyelenggaraanNya yang membebaskan dan menyelamatkan.
Agama: Aku begini, Engkau begitu…..
Bila susuri kisah Alkitab, tak sedikitlah kisah ketika para murid mesti ‘dipaksa’ Yesus untuk mengenal ‘jalan-jalan Allah’ yang tak begitu saja mudah dimengerti. Pengajaran Yesus tak mudah ditangkap dan malah dianggap keras. Dan “mulai saat itu banyak murid mengundurkan diri” (Yoh 6:66). Orang yang kaya itu segera tinggalkan Yesus, sebab sulit baginya untuk ‘berpisah dari banyaknya hartanya’ (Mrk 10:22). Jalan derita, pemberian diri dalam pengorbanan coba dicegah oleh Petrus. Dan Petrus akhirnya harus dihardik Yesus sebagai iblis batu sandungan yang berpikir tentang apa yang dipikirkan manusia dan bukannya apa yang dipikirkan Allah (Mat 16:23).
Dalam kekristenan, tentu mesti diteliti dan dihadang sekian banyak tesis, claiming, atau aksioma apapun sebatas kerangka atau forma kosong, tanpa isi atas inspirasi langit dan yang tak bertopang pada kenyataan bumi. Allah tak sekedar diakbarkan dan dikumandangkan dalam kesalehan BaitNya yang kudus.
Tetapi, Allah juga mesti terjumpakan dan ditemui dalam perjumpaan yang bercitra dengan kenyataan bumi. Dalam perelasian dengan alam dan ingkungan yang bermarwah ekologis, dalam perjumpaan dengan sesama dalam citra kemanusiaan yang beradab.
Tetapi kehidupan ini juga ditandai dengan tumpukan prasangka yang membebankan. Sebab itulah ekspresi hidup ‘penuh was-was, tak nyaman’ telah merenggut daya hidup penuh spontan dan warna ceriah dalam kebersamaan apalagi dalam keberagaman.
Gawatnya minim pengetahuan dan tipisnya kesadaran akan agama
Yang dikuatirkan teramat sangat adalah bahwa spirit hidup dan pengetahuan beragama yang tipis-tipis tak berakar berusaha dapatkan pembenarannya dari aksi ‘penghitaman terhadap keyakinan yang berbeda.’ Tentu agama tak didakwah bersalah. Apalagi bahwa Tuhan yang diimani mesti disemprot dengan kata-kata tak pantas berdaya sakarstik.
Tetapi, pemahaman akan Tuhan yang menyatakan DiriNya dan bagaimana bangsa manusia mesti ‘menanggapiNya’ agar manusia sendiri tetap atau semakin bercitra dan beradab itulah yang mesti menjadi pokok permenungan yang bercitra pula.
Bagaimana pun di atas segalanya, agama bukanlah ‘alam, suasana, lingkungan’ pemiskinan citra dan pencekalan kedaulatan Tuhan. Artinya? Bahwa konsep tentang Tuhan dimodifikasi sekian seturut selera dan kepentingan manusia. Katakan semisal, yang sudah jamak terdengar, bahwa halusinasi ‘nafsu kemurnian’ menjadikan agama sebagai tameng untuk ‘memblokir Tuhan.’ Dan membuat manusia (penganut agama) hidup dalam penjara ekstremitas dan tembok tebal eksklusivisme.
Tetapi, sepertinya di sudut mana pun, agama-agama tak pernah luput dari alur apologianya. Memang, mempertanggungjawabkan isi iman (dalam agama) sepantasnya dapat menemukan autoritasnya yang sahi.
Iman yang mesti dipertanggungjawabkan
Tentu pertanggungjawaban isi iman mesti pula didasarkan atas basis telaah historis kritis, dalam terang hermeneutika alkitabiah atau atas dasar tradisi yang nyata dan menyejarah. Di atas semuanya, tentu yang dituntut adalah ketenangan batin dan kerendahan hati di dalam perjumpaan aneka ‘isi iman dan bagaimana merayakan serta menghayati isi iman itu.’ Jika tidak demikian, maka agama, ajaran dan keyakinan tidak lebih dari upaya ‘bongkar pasang, tambal sulam, tempel ini-tempel itu, serta klaim sana-klaim sini hanya demi pembenaran bangunan agama (keagamaan) yang berujung rapuh. Bagai berdiri di atas pasir. Gagal pula dalam apologia iman yang sederhan. Tetapi……
Sayangnya, jika dicermati, apologia iman yang ‘lemah’ acap kali tergelicir sebagai ‘pangkalan militer iman’ yang siap menggempur dan membombardir keimanan “yang berbeda, yang bukan punya kita.” Maka di situlah penistaan inti iman (agama) jadi tak terhindarkan.
Bahaya itu tetap mengintai
Maka, terbaca jelas bahwa kedangkalan pengetahuan dan penghayatan iman dalam agama sendiri dan (apalagi) agama sesama, bisa menekan seorang penganut agama dalam fanatisme sempit yang terpenjara dalam sel psiko-emosional yang deviatif. Di situasi seperti inilah alam hidup bersama nan teduh segera bisa berada dalam ketegangan.
Alarm ini tetap menyentak, “Pada saat orang beragama mulai berbicara tentang kebenaran, orang menjadi cemas. Ini dapat dimengerti. Di seluruh dunia kekerasan dikaitkan dengan iman yang berbeda yang mempertengkarkan kebenaran” (Radcliffe, 2005).
Selayaknya setiap penganut agama bertumpuh atas dasar iman yang diyakininya. Yang mesti percaya diri pula dalam menghayati imannya. Bukannya di atas dasar tesis-tesis iman yang galau, tak kokoh, ringki, tak kokoh. Yang akhirnya hanya ciptakan alam tak percaya diri yang sentimental dan reaksioner negatif.
Jalan Yesus: Tuhan dan Guru Agung
Dan bagi Gereja, pengikut-pengikut Kristus, SabdaNya tetap jadi kekuatan dan basis penghayatan iman, bahwa “Barangsiapa tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5-6).
Dalam iman, tetap ada keberserahan pada Yesus yang adalah “Jalan dan Kebenaran, dan Kehidupan” (Yoh 14:6). Semuanya demi meraih langit, berpijak pada bumi dan merangkul penuh Kasih siapapun sesama serta berpelukan mesrah dengan alam semesta….
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel