Oleh: Dr. Adrianus Marselus Nggoro, S.H., M.Pd★
Mengapa setiap kali ada acara wuat wai skola (acara melepaspergikan anak ke dunia pendidikan) menggunakan sesajian dengan manuk jantan putih (manuk lalong bakok). Mengapa bukan manuk jantan warna hitam (manuk miteng), atau warna merah (cepang); atau mengapa bukan manuk betina berpuluh putih (manuk kina bakok), tetapi harus manuk jantan putih.
Untuk memahami lebih dalam tradisi wuat wai berikut ini akan saya sajikan pembahasannya.
Filosofi Tradisi Wuat Wai
Pertama, ontologi. Pada hakikatnya acara wuat wai merupakan tradisi yang selalu dipraktikan dalam tradisi Manggarai di pranata pendidikan. Hal seperti itu dilestarikan dari generasi ke generasi. Berkaitan itu, memunculkan sebuah pertanyaan, oleh siapakah yang mewariskan tradisi wuat wai? Dan, kapan tradisi wuat wai pertama kali dilestarikan. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ini, barangkali semua kita tidak tahu sejak kapan tradisi wuat wai pertama kali dipraktikan oleh masyarakat Manggarai. Menyimak pertanyaan tersebut, ada suatu filosofi budaya yang menegaskan secara ontologis tentang tradisi wuat wai dapat ditelusuri dari sebuah go’et manggarai, “mbate dise ame, pedeng dise ende, serong (ledong) dise empo”(warisan orang tua/ayah bunda, warisan leluhur).
Ungkapan ini melegitimasi eksistensi tradisi wuat wai. Pewaris tradisi ini adalah orang tua dan leluhur. Go’et (slogan) tersebut, “mbate dise ame, pedeng dise ende, serong dise empo” memberikan pemaknaan bahwa secara historis filosofis, sesungguhnya pewaris kebudayaan Manggarai meretas faham sistem kekerabatan patrilineal di Manggarai. Mengapa demikian? Karena pewaris tradisi wuat wai adalah orang tua (ayah bunda). Namun sisi lain, ada suatu kontradiksi, bahwa simbol dan praktik tradisi Manggarai dominan sistem kekerabatan patrilineal. Misalnya, tradisi wuat wai menggunakan sesajian dengan manuk jantan putih (manuk lalong bakok), bukan manuk betina, tetapi manuk jantan putih.
Disamping kontradiksi tersebut, bahwa secara ontologis menunjukkan tradisi wuat wai merupakan sesuatu yang bersifat nyata. Tradisi wuat wai pada hakikatnya bukan sekadar sebuah gagasan, tetapi secara eksistensi (visi dan misinya) ada dalam penghayatan hidup masyarakat Manggarai dan dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dengan demikian tradisi wuat wai memenuhi unsur wujud kebudayaan materiil dan immateriil.
Kedua, epistemologi. Secara epistemologi tradisi wuat wai dipelajari secara turun-temurun baik melalui pendekatan ilmiah (formal) maupun pendekatan alamiah (informal) agar dapat semakin terang benderang memberikan makna secara aksiologis (nilai) bagi kehidupan manusia, khususnya generasi muda Manggarai masa kini dan masa depan.
Berbagai pendekatan epistemologi untuk mendalami pemaknaan tradisi wuat wai yaitu melalui peran lembaga pendidikan (penelitian) dan peran keluarga dan masyarakat adat. Dalam pendekatan ilmiah (formal) tradisi wuat wai dapat ditelusuri melalui literatur buku, artikel jurnal dan koran, serta kajian akademik mulai dari lembaga pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Ketiga, aksiologi. Berbagai nilai humanis yang diharapkan tercapai dari tradisi wuat wai adalah: nilai solidaritas sosial (kepekaan sosial melalui sumbangan uang atau material lainnya); nilai kebersamaan (lonto leok); nilai kekeluargaan (relasi kekerabatan ase kae (marga patrilineal); persaudaraan; cinta kasih; gotong royong). Nilai-nilai tradisi wuat wai terimplementasi dan terkristalisasi dalam masyarakat, hal itu akan terurai berikut ini.
Implementasi Tradisi Wuat Wai
Berdasarkan hasil penelitian secara etnografi bahwa tradisi wuat wai pada umumnya dipraktikan oleh masyarakat Manggarai, ketika anak hendak melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi.
Adapun alasan keluarga melakukan acara tradisi wuat wai, selain membutuhkan dana, juga meminta dukungan moril keluarga besar dan handai taulan untuk memotivasi dan menguatkan cita-cita anak ke pendidikan tinggi ke tempat jauh di lintas kabupaten dan/ atau lintas provinsi, ataupun lintas negara.
Dengan demikian secara materiil dan moril anak mendapat bekal yang cukup untuk pergi merantau ke tempat yang jauh. Untuk itu, beberapa keluarga kerabat yang mestinya hadir dalam acara wuat wai yaitu keluarga kerabat patrilineal (ase kae/wa’u), keluarga kerabat pemberi istri/keluarga kerabat asal ibunda (anak rona), keluarga kerabat penerima istri (anak wina), keluarga kerabat tetangga (pa’ang ngaung), keluarga kerabat hae reba (kenalan). Beberapa temuan penelitian menunjukkan bahwa hasil tradisi wuat wai dapat berkisar antara Rp25.000.000 sampai Rp50.000.000, per anak yang dilakukan acara tradisi wuat wai.
Ritual adat tradisi wuat wai yang dilakukan saat melepaspergikan anak dari rumah orang tua (kampung) dan hendak pergi studi ke pendidikan tinggi yaitu dengan mengadakan sesajian seekor manuk jantan putih (manuk lalong bakok). Pesan moral yang ditampilkan dalam ritual wuat wai adalah dasor lalong bakok duhu lako’m, agu lalong rombeng koe duhu kole’m (semoga engkau bermodal kejujuran di saat engkau pergi studi, dan membawa keberhasilan di saat engkau kembali). Gagasan bijak ini serta dukungan materiil berupa uang tradisi wuat wai, tersimpul syarat makna standar wujud kebudayaan universal yakni wujud kebudayaan materiil dan formil (sumbangan dana pesta sekolah dan wejangan/gagasan bijak: dasor lalong bakok eme duhu lako,agu lalong rombeng eme duhu kole ).
Pesan bijak itu, tersingkap sebuah harapan agar dengan keberhasilan studi dapat mengubah nasib hari ini yang masih kurang menjadi lebih baik. Dari kemiskinan menjadi sejahtera; dari kebodohan menjadi pintar; keterbelakangan menjadi modern. Meskipun, simbol hewan sesajian dalam tradisi wuat wai adalah simbol patrilineal (manuk jantan putih) dan petorok (penutur sesajian) adalah kaum laki-laki, namun makna pesannya berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang hendak pergi studi di pendidikan tinggi. Simbol lalong bakok (manuk jantan putih) simbol keberanian (manuk jantan), kejujuran (manuk putih). Jadi, manuk jantan, bukan terletak pada patrilineal, tetapi pesannya tentang nilai keberanian dan kejujuran.
Perspektif Hukum dan HAM
Tradisi wuat wai dalam kebudayaan Manggarai dapat dikaji dari perspektif hukum adat, hukum negara, HAM.
Perspektif Hukum adat.
Tradisi wuat wai dari perspektif hukum adat, yakni sebagai berikut: Pertama. Sistem kekerabatan. Berdasarkan sistem kekerabatan, bahwa praktik tradisi wuat wai di Manggarai yaitu sistem patrilineal terbuka. Meskipun dalam sejarahnya yang pergi berdagang, pergi kerja di tempat yang jauh adalah pekerjaan laki-laki. Biasanya kalau laki-laki pergi kerja (ngo pala), pergi berdagang gak jauh disebut ngo lako. Tugas istri, perempuan ialah menyiapkan bekal perjalanan untuk suami. Namun dewasa ini, dalam konteks tradisi wut wai sekolah (melepaspergikan anak untuk studi ke jenjang pendidikan tinggi) merupakan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Ibaratnya tradisi roko molas poco melukiskan derajad perempuan sama dengan dengan laki-laki, bahkan perempuan dipandang sebagai pengayom (siri bongkok), sehingga dengan demikian dampak konsep pendidikan di Manggarai menjunjung tinggi kesetaraan gender. https://travel.kompas.com/read/2022/05/26/101000627/tradisi-roko-molas-poco-di-manggarai-ntt-budaya-hormati-perempuan
Kedua Sifat hukum adat. Tradisi wuat wai di Manggarai menampilkan nilai-nilai yang patut terpuji, antara lain: (1), Nilai Kekeluargaan. Sifat hukum adat Manggarai mengedepankan dan mengutamakan hukum adat kekeluargaan. Adapun nilai kekeluargaan itu mengedepankan sehingga praktik tradisi wuat wai di Manggarai mengutamakan hukum adat lisan dengan filosofi ipo one ciku neka lait kole (membuang ludah di siku tangan jangan menjilat kembali) atau ipo one wancang neka lait kole (membuang ludah di lantai bambu jangan menjilat kembali). Implementasi filosofi seruan norma ipo one ciku neka lait kole, dalam konteks tradisi wuat wai, menunjukkan bahwa yang sudah diwariskan oleh leluhur dengan ritual wuat wai serta pesan bijak pendidikan menghormati gender (pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki), bahwa hak mengenyam pendidikan adalah hak laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, konsep tradisi wuat wai harus dijunjung tinggi dan jangan mengingkari seruan adat tradisi wuat wai yang sudah diwariskan secara turun temurun. (2). Nilai Kebersamaan. Sifat hukum adat Manggarai adalah kebersamaan (communal). Setiap mengadakan acara adat selalu dilandasi oleh adanya kebersamaan antara lain: dalam acara kelahiran, perkawinan, acara pesta sekolah (wuat wai), dalam acara kematian (tae mata) dan dalam acara syukuran (penti). Sebelum orang Manggarai melakukan suatu tradisi, maka terlebih dahulu mengadakan musyawarah di rumah adat (mbaru gendang). Hukum adat musyawarah bersama ini disebut lonto leok (duduk bersama). (3). Bersifat Kontan (tunai/tuntas dan konkrit). Hukum adat Manggarai bersifat kontan ipo wa wancang neka lait kole (ludah yang sudah buang di lantai bambu jangan dijilat lagi). Artinya, hubungan hukum yang sudah dibuat jangan dibatalkan kembali. Karena sudah dianggap sah secara hukum adat. Contoh hukum adat bersifat konkrit yang berkaitan dengan tradisi wuat wai yakni misalnya pada waktu mengadakan tradisi wuat wai maka harus dipraktikan dan sepenggal-penggal, melainkan proses ritualnya tuntas dan konrit. Contoh lainnya, dana sumbangan pesta sekolah (tradisi wuat wai) disumbangkan kepada keluarga yang membutuhkannya. (4), Bersifat Nyata. Hukum adat Manggarai yang bersifat nyata/riil. Contohnya: dalam tradisi wuat wai menggunakan hewan sesajian berupa manuk lalong bakok (manuk jantan putih). Manuk jantan putih ini yang dimaksud bukan sekadar sebuah filosofi utopia, tetapi manuk tersebut nyata dilakukan sesajian (manuk lalong bakok wuat wai).
Perspektif Hukum Tata Negara dan HAM
Tradisi wuat wai dalam kebudayaan Manggarai, adalah sebuah warisan leluhur yang bernilai tinggi karena mendukung amanah Konstitusi RI. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea 4 dirumuskan bahwa tujuan nasional bidang pendidikan yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai konsep pendidikan yang inklusif. Artinya, sasaran dan tujuan mencerdaskan itu adalah bagi segenap bangsa Indonesia, tanpa ada ranjau-ranjau pengkotakan strata sosial. Hal tersebut tercermin dalam instrumen Konstitusi RI pada Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia bidang pendidikan. Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memeroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya. Dan ditegaskan juga pada Pasal 31 UUD 1945 juga mengatur kebutuhan dasar bidang pendidikan. Oleh karena pendidikan itu merupakan salah satu bagian kebutuhan dasar manusia sehingga dijabarkan lebih lanjut pada peraturan khusus perundang-undangan bidang pendidikan. Hal itu dalam UU No. 2 tahun 1989 yang telah direvisi ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Visi, misi konsep tujuan nasional bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa terintegrasi oleh Tripusat pendidikan RI, yaitu: pendidikan formal (di sekolah), pendidikan informal (dalam keluarga) dan pendidikan nonformal (di masyarakat), diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2003. Ketiga Tripusat pendidikan ini terintegrasi dan terkolaborasi untuk menggapai cita-cita nasional yaitu terciptanya sumber daya manusia Indonesia beriman dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berkognitif, berafeksi dan berpsikomotorik yang mampu bersaing di era globalisasi dan glokalisasi “think globalily and act localy, think localy and act globaly” (berpikir global bertindak lokal, berpikir lokal bertindak global).
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM tentang bidang pendidikan diatur dalam Pasal 5 ayat 1, berbunyi bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Anak yang pergi studi lanjut baik laki-laki maupun perempuan (HAM). Dengan demikian, tradisi wuat wai adalah sistem patrilineal terbuka (parental) dengan menjunjung konsep HAM gender. Tradisi wuat wai mendukung doktrin Konstitusi RI dan UUD 1945 dan konsep global tentang HAM bidang pendidikan.
Membaca penjelasan di atas, secara filosofi, tradisi wuat wai memenuhi standar filsafat kebudayaan, baik secara ontologi, epistemologi maupun aksiologi.
Tradisi wuat wai tersingkap sebuah konsep sistem kebudayaan yang mendunia, karena menjunjung tinggi konsep HAM dan keadilan gender. Tradisi wuat wai menjunjung tinggi Pancasila sebagai filsafat bangsa, ideologi nasional bersifat terbuka.
Konsep wuat wai menjujung tinggi konsep identitas nasional dan terjabar ke dalam empat pilar kebangsaan: Pancasila (keadilan gender dan menjunjung tinggi HAM), UUD 1945 (konsep pendidikan inklusif yang mencerdaskan), menghormati NKRI (persatuan, konsep tradisi lonto leok) dan Bhinneka Tunggal Ika (menghadiri tradisi wuat wai bukan hanya keluarga tetapi handai taulan, hae reba/undangan).
Tulisan ini, menggugah kecerdasan budi untuk membudayakan tradisi wuat wai, agar dapat mengubah nasib generasi muda masyarakat Manggarai dari kebodohan menjadi pintar, dari kemiskinan menjadi kaya, dari perilaku terbelakang menjadi modern. Akhirnya, penulis berharap melalui seruan norma adat berikut ini, “Jangan bertanya siapa dan kapan mewariskan tradisi wuat wai, tetapi hendaklah berserulah pada diri sendiri, untuk melestarikan tradisi wuat wai dari generasi ke generasi; kapan lagi kalau bukan sekarang, siapa lagi kalau bukan kita”.
★Adrianus Marselus Nggoro adalah Dosen Unika Santu Paulus Ruteng; Anggota Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia; Alumnus Program Doktor Hukum Undip dengan mendalami kajian Hukum Adat; Pemerhati kebudayaan.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel