Cepat, Lugas dan Berimbang

Gema Lonceng Gereja yang Kian Menyepi…

“Gereja adalah rumah sakit bagi para pendosa, dan bukanlah museum bagi orang-orang kudus” (Vance Havner, pengkotbah Amerika, 1901 – 1986).

P. Kons Beo, SVD

Suara penuh bising

Ribut dan dianggap mengganggu. Itulah tuduhan serius publik tentang berdentangnya lonceng gereja. Kumandang lonceng bersahut-sahutan tak lagi dianggap indah, apalagi harus diterima sebagai gema sakral tanda ‘suara Tuhan memanggil.’ Semua itu cumalah kegaduhan yang hanya ‘bikin ganggu’ para pasien. Itu hanya teror yang mengusik siapapun yang ingin tidur lelap dalam sunyi. Dari menara-menara gereja hanya ada ‘polusi suara.’ Tentu ini berat memang dakwaan ini bagi yang sekian ‘pro pada lonceng gereja.’

Gedung gereja, gema lonceng, yang dihubungkan dengan seremoni kultis, telah dipaksa jadi senyap. Iya, itu semua dalam gejolak animo dan interese iman yang anjlok ‘di jalan turun.’ Itulah sebabnya, ambil contoh misalnya, Dewan Distrik Dover- di Inggris tanggapi suara keluhan warga Kent akibat bisingnya gema lonceng gereja. Akibatnya, lonceng gereja St Peter di Sandwich, yang telah berdentang sejak 1779 itu mesti ‘diatur waktu bunyinya’ dalam dengar pendapat yang alot.

Kesunyian nan gaduh

Suara lonceng bahkan dirasa sebagai suatu keanehan kontradiktif. Penuh pertentangan suasana serius dalam biara-biara pencari dan pengusaha keheningan! Mencari tempat-tempat ‘asing, menyepi, jauh dari keramaian’ dalam aksi aksi fuga mundi, biara-biara itu justru ‘meributkan dan membunuh keheningan’ dengan gema lonceng bersahut-sahutan.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel