Maka, kini, di langit Tanah Air bertaburlah analisis, gagasan pun sudut pandang. Saling senggol dan bahkan bertabrakan. Sengit memang. Sebab di situ ‘tak ada kebenaran.’ Tidak ada yang diakui sebagai ‘kepastian.’ Untuk sementara nalar tak dibutuhkan. Akal sehat murni runtuh oleh rasionalisasi simplisistik yang sungguh menggelikan.
Logika murahan dibangun tak apalah. Intinya mudah dicerna massa, dan pada muaranya dapatkan simpati dalam lumbung suara yang gendut dan kembung walau isinya kebanyakan angin penuh kepalsuan dan kibulannya. Iya, yang penting elektabilitas ‘diisukan naik dan cenderung terus menanjak.’
Pada saat-saat ini, antitesis dan kontroversi dibangun liar dan semborono. Tak perlu fakta dan data. Asal saja berani bersuara, dibalut narasi hedonistik verbalis diyakini sudah jadi modal untuk mendulang simpati. Yang terjadi belakangan ini bahwa perang narasi tak dipilari oleh isi kepala. Diksi, kalimat, suara, lebih mengobok-obok dunia rasa. Itu sudah jadi modus meriah.
Demi memburu ‘banyak’
Politik memang sudah dan tengah membidik ‘psikologi orang ramai.’ Sebab katanya, “Orang-orang akan lupa akan apa yang Anda katakan, tetapi mereka ingat perasaan mereka ketika mendengar kata-kata Anda.” Yang mau dikatakan, “Emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi yang dicerna” (G Mohamad, 2017).
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel