Bebas nilai dan tak tersentuh moral?
Makanya, nampaknya sudah jadi satu tesis bahwa “politik tak ada hubungannya dengan moral dan nilai.” Sepertinya, dalam politik tak perlu terlalu banyak saling percaya. Dan tak usah dipaksakan. Sebab setiap individu bisa hadir dan bertarung dalam koridor kepentingannya sendiri. Yang lain atau apa yang selebihnya toh bisa sekedar causa instrumentalis, sebagai kendaraan politik demi takhta.
Tetapi segala yang ‘serba tak pasti,’ terkesan mendadak dan tak terduga bukannya tak bisa ditafsir dan diurai dalam varian dictum hipotesis. Hitung saja semisal sejak Nasdem proklamirkan Anis Baswedan, diumumkannya Ganjar jadi bacapres dari PDIP, Cak Imin yang dipeluk dan memeluk Anis Baswedan ( dan bukannya AHY), Golkar yang merapat ke Prabowo, Kaesang Pangarep di takhta Ketum PSI, dengan semua bias-bias dan manuver politik sana-sini bukannya fenomena bebas tafsir. Semuanya tak luput dari analisis atau lolos dari terawang opini.
Kerangka tafsiran
Tetapi, apa sesungguhnya yang dikerjar lewat analisi dan opini? Fakta-kenyataan? Kebenaran? Katanya, ‘Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada dalam bahasa. Dan di situlah tafsiran mainkan perannya. Jika sepakat dengan Nietzsche, “Fakta tak pernah ada. Hanya tafsir yang ada.”
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel