infopertama.com – Dewasa ini banyak sekali masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat adat, akan tetapi tidak menjalankan kehidupan beradat. Hal seperti ini terjadi dilatarbelakangi berbagai macam alasan, dari yang memperjuangkan pengakuan hukum hingga demi menolak pembangunan negara. Maka dari itu, mari kita bersama-sama memahami apa itu masyarakat adat.
Masyarakat adat adalah suatu komunitas masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang menjalankan kehidupan sehari-hari secara beradat. Hidup beradat maksudnya: menjalani kebiasaan secara turun temurun; memiliki struktur kelembagaan adat yang jelas; masih mempraktekan ritual-ritual adat secara konsisten; dan mempunyai wilayah-tanah milik bersama (komunal). Syarat-syarat seperti ini sebenarnya bersifat sosiologis sehingga terkesan tidak ketat.
Kalau kita mencermati secara hukum yakni dalam Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat), syarat-syaratnya jauh lebih ketat (rigid). Pasal 1 ayat (1) RUU Masyarakat Adat menerangkan: masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU di atas kemudian dipertegas dalam Pasal 5 ayat (2) terkait persyaratan pengakuan sebagai masyarakat adat: mempunyai paguyuban yang berdasarkan keterikatan turunan/wilayah; memiliki batas wilayah yang secara turun temurun; mempunyai kearifan lokal; mempunyai hukum adat; dan memiliki kelembagaan adat yang diakui dan berfungsi.
Proses pengakuan masyarakat adat tidak kalah rumit. Di dalam tahapannya dilakukan dengan proses yang cermat sebagaimana dalam ketentuan Pasal 6: tahap identifikasi; verifikasi; validasi; dan penetapan.
Untuk melakukan 4 tahapan tersebut dibentuk panitia yang bersifat ad hoc (tidak tetap-sementara). Panitia yang dibentuk berjenjang yakni dari kabupaten, provinsi hingga kementerian terkait.
Jika seluruh syarat dan tahapan telah dilakukan maka barulah suatu masyarakat disebut masyarakat adat.
Apabila mencermati ketentuan-ketentuan RUU Masyarakat Adat dalam mengupayakan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat maka dapat dipahami bahwa klaim sebagai masyarakat adat tidaklah boleh serampangan.
Ditinjau dari sudut pandang hukum, materi muatan RUU Masyarakat Adat di atas sebenarnya memberi kepastian hukum sekaligus penegasan terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Kepastian dan penegasan yang dimaksud ialah bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (2) sudah jelas memberikan legitimasi (pengakuan) konstitusional terhadap masyarakat adat. Namun demikian, pengakuan demikian tidaklah bersifat mutlak alias bersyarat. Bersyarat artinya suatu masyarakat adat diakui, dilindungi dan dihormati negara sepanjang masih hidup dan dipraktekan. Lebih dari itu, sepanjang telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana dalam RUU Masyarakat Adat di atas.
Mungkin ada yang bertanya mengapa mendapatkan pengakuan hukum sebagai masyarakat adat sangatlah rumit? Jawabannya ialah supaya tidak terjadi pertentangan antara hak-hak masyarakat adat sebagai komunitas kecil dengan kepentingan negara sebagai komunitas seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, agar keberadaan masyarakat adat sejalan dengan kekuasaan negara sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan juga amanah sila Kelima Pancasila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â