(sebatas satu perenungan)
P. Kons Beo, SVD
Tak usahlah terlalu terus merunduk. Sepantasnya kita punya banyak kesempatan untuk angkatkan kepala. Lalu? Pandanglah penuh teduh siapapun sesama kita. Tak peduli siapa mereka dan dari (golongan) mana mereka. Tak penting!
Bukan kah…
Ada sesama yang penuh senyum tulus? Ceriah? Lihatlah! Ada yang bermurah hati. Ada cakap dalam ciptakan suasana penuh akrab dan spontan. Orang seperti ini selalu ‘enak diajak ngobrol.’ Sebab mereka ini jauh dari aura penuh racun. Tak punya ambisi liar mengembara dan ‘aneh-aneh.’
Dan lagi…
Ada juga sesama kita yang miliki kepandaian ekstra dan talented jempolan. Bahkan lebih dari itu mereka telah larut dalam kebijaksanaan hidup yang praktis. Yang tahu tempatkan diri. Yang sadar diri, misalnya, ‘kapan dan bagaimana mesti bicara, dan bilamana sepantasnya tak ember mulut royal bicara. Dan, yang jika tidak, akan tiupkan gelora api panas membakar bagi satu kebersamaan!
Benarlah…..
Terhadap orang-orang hebat dan istimewa ini, ada rasa decak kagum. Bahwa kita belajar tahu bahwa rahmat dan karunia Tuhan nyata dan hadir dalam diri sesama itu. Memang tak ada yang salah, sekiranya kita sportif untuk akui ‘kelebihan dan banyaknya kepunyaan yang dimiliki sesama itu.’ Di situ, kita bebas dari irihati yang tidak ada model dan luput geliat mulai cari soal yang tidak ada potongan.
Bagaimana pun….
Hati-hatilah pula sekiranya terlalu teballah rasa kagum terhadap sesama penuh pesona itu. Inflasi rasa kagum bisa menjebak kita pada pusaran rasa minder di dalam diri sendiri. Kita bisa jadi kerdil di jiwa yang berujung pada rasa percaya diri yang keropos merosot. Banyak ‘takut-takutnya.’
Tetapi…
Bukan kah sesedikit dan sekecil apapun, kita pasti miliki sesuatu? Setiap kita adalah insan yang terberkati dan berpunya. Tuhan tak ‘melepaskan kita’ di ziarah hidup dalam ketiadaan dan kekosongan! Adakah seseorang miliki semuanya dan segalanya? Dan sampai-sampai sesama yang lain sedikit pun ‘tak kebagian?’ Pasti tidak!
Membangun kebersamaan bisa berawal dari ‘memeluk diri sendiri yang kurang. Dan rendah hati mengakui kelebihan sesama serentak menerimanya sebagai anugerah! Atau juga di sisi lanjut, tuluslah untuk tunjukan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Setiap kita miliki sesuatu yang berbeda dan variatif. Dan itu mesti ditenun menjadi lembaran kekitaan yang kokoh dan bercitra.
Alkisah di suatu penglihatan, St Katarina dari Siena menangkap kata-kata Tuhan, “Aku tak mau menciptakan manusia seluruhnya sama. Aku lebih suka menciptakannya berbeda. Agar biarlah mereka belajar mengakui dan saling membutuhkan.”
Tak perlu bermuram durja akan ‘sedikit yang kita miliki.’ Yang diperlukan hanyalah ‘rasa hati penuh syukur.’ Dan bertarunglah penuh perjuangan, tekun dan tanpa putus asa.
Biarlah sedikitnya kita perlu bikin heboh untuk ‘diri sendiri’ bahwa “kita juga orang.” Untuk tanamkan rasa ‘sombong yang sehat dan bisa berbusung dada dengan sedikit percaya diri.’ Memang, amatlah disayangkan sekiranya tampilan diri kita sekian kerdil dan kempes, sekali lagi, hanya karena mengintip-intip kelebihan orang. Atau kita beraksi-aksian hanya sebatas spirit redup sang paparazi yang diam-diam memotret sukacita dan spontanitas orang lain.
Sebab,
Kata si bijak, hidup tanpa adanya ‘gara-gara yang tahu tempat dan tahu diri’ itu bagaikan perjalanan diri sendiri menjadi tua menuju pemakaman. Tanpa sadar kita sebenarnya tengah memikul peti mati milik sendiri. Dan bukannya harta karun diri yang selayaknya berguna dalam nilai dan kebaikan yang lebih luas..
Verbo Dei Amorem Spiranti
Tuhan memberkati.
Amin
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel