Spontanitas yang Semakin Memudar

(sekadar satu perenungan)

“Setelah kamu memalsukan ketulusan, kamu dapat memalsukan apapun”
Mary Jo Purtney
(Penulis)

P. Kons Beo, SVD

Yang jelas semuanya akan berakhir pada simpul rasa: Itu adil untuk kalian, tapi tidak untuk kami.” Di sidang pengadilan, memang seperti itulah sudah auranya. Akan ada sorak gembira dan air mata kepuasan. Sebab ada rasa keadilan yang datang berpihak. Atau upaya pemenangan yang berhasil diraup.

Sebaliknya, bakal ada pula aura kecewa. Direaksi penuh hardik dalam kata dan tindak. Sebab rasa tak adil sungguh datang mendera. Itulah yang terjadi. Jadinya, kisah keadilan itu seperti nyaris tak pernah berakhir pasti. Selalu bergejolak dalam ketakaruan rasa yang bisa berbuntut aksi penuh heboh.

Benarlah, tulis si perenung, “Keadilan, yang tak pernah selesai dirumuskan, terus-menerus memproduksi cerita yang mendebarkan, cita-cita besar, hasrat yang kuat, juga kekejaman.” Ini belum lagi bila mesti terserap dalam rawa-rawa tafsiran sana-sini. Yang ciptakan situasi bisa tambah cemar dan rumit berbelit.

Bagaimanapun, muara rasa keadilan itu mesti lewati jalan panjang pembuktian. Ini tentu dengan lapisan fondasi kebenaran tak tergoyahkan. Artinya, tak sekedar bereforia tentang kemenangan. Pun tak serta merta dengan suara penuh keyakinan kosong bergemuruh bahwa terdapat kecurangan kasat mata sana-sini Tetapi bahwa keduanya sudah bersilangan narasi dan saling berbentur fakta untuk disikapi para pengadil dengan penuh wibawa, arif dan meyakinkan.

Hari-hari persidangan yang melelahkan itu memang harus dilewati. Gontok-gontokan narasi yuridis telah dilalui. Saling merasa sensitif atas segala tampilan kompetitor memang tak terhindar. Di sidang sengketa itu, kata dan kalimat serta gesture dan kehadiran itu amatlah berarti. Term-term yang terkonek dengan premis-premis logika, kausalitas, aksi-reaksi, dan alibi memang dipantau penuh cermat. Sebab, pihak-pihak manapun tak boleh lolos dalam akting penuh drama yang berupaya memperdaya. Ini soal kejujuran dan kebenaran yang mesti diusung.

Siapapun pihak ingin diakui benar! Dengan itu, ada keyakinan untuk tiba pada sorak-sorai kemenangan yang berbasis hukum dengan finalisasi: tetap, mengikat dan akhirnya selesailah sudah. Iya, terlihat ada yang kentara sekali ingin tiba konklusi pengakuan. Sambil sekian simpelkan begitu saja segala dinamika atau proses yang telah. terjadi. Nyatanya tak sedemikian.

Kisah ini bakal terpatri sebagai momentum sejarah. Dari arung kisah historis selalu terdapat nilai yang dapat ditampih. Di situ, yang buruk mesti dibuang. Yang bernilai mesti dimaknai. Sebab yang terjadi hari ini akan jadi cerita valuable buat generasi masa mendatang. Iya, warisan buat anak cucu Ibu Pertiwi di kemudian nanti.

Memang semuanya bakal berakhir pasti. Semua pihak telah bertarung untuk berlari dan bersembunyi dalam payung hukum. Tetapi, adakah yang nyata dan jelas terlihat sekian hati-hati dan kabur? Sengketa pengadilan adalah arena ketegangan. Dalamnya telah terpasang standar normatif untuk siapapun.

Kata dan bicara sudah ditakar. Bahasa tubuh pun telah terbaca dan terukur. Penuh hati-hati bicara telah tertangkap. Sebenarnya, di situlah, orang telah kehilangan ungkapan diri ‘apa adanya.’ Iya, katakan saja bahwa yang penuh spontan sudah tergerus dan bahkan terkubur oleh segala strategi yang telah dirancang, diperankan serta telah jadi aksi.

Spontanitas yang hilang sebenarnya berbicara tentang kejujuran yang hilang pula. Ingin diakui menang, tetapi kita enggan berterus terang tentang jalan mana kah yang telah ditempuh sehingga menang. Di sisi lain, serangan tentang kecurangan pun bisa tercebur dalam tuduhan palsu penuh sesatnya. Itulah yang terjadi: Rasa menang namun enggan penuh cemas mengangkat piala kejujuran versus tuduhan curang yang sungguh sesak di dada untuk mendengus fakta negatifnya. Bagaimanapun upaya maksimal kedua kubu telah ditempuh…… Pertarungan telah dilewati.

Kini dan di sinilah bapak-bapak pengadil sepertinya ‘dipaksa masuk’ dalam arena spiritualitas keadilan, kebenaran, dan demi kebaikan bersama! Sebab itulah, Mahkamah Kontitusi mesti bertransformasi dari alam ‘keributan perang narasi’ menuju alam ‘kontemplatif penuh teduh demi sebuah hasil discernmen decisif yang bercitra.

Bagaimanapun, di hari-hari yang telah berlalu itu, tentu tak disepelekan suara lembut namun dahsyat. Saat Tanah Air mesti digemuruhkan dalam etika nilai yang mesti dijunjung. Siapapun yang menjunjung etika, ia tak akan pernah kehilangan keberanian dan spontanitas untuk bersuara.

Spontanitas yang gagah berani tak pernah berjuang sekali untuk merakit-rakit kata dan kalimat hanya agar tak terperangkap dalam kefatalan bicara yang minus isi dan nilai. Tidak! Semuanya mengalir dari dalam jiwa penuh merdeka.

Benarlah. Yang tertangkap hari-hari ini adalah kehilangan spontanitas dan apa adanya. Orang mesti rela jauh dari kejujuran dan kebenaran. Semuanya hanya demi kemenangan. Sebab di balik kemenangan itu telah dipajang litania kepentingan ini dan itu.

Untuk kisah pertarungan selanjutnya, tentu suasana bakal tak pernah berubah. Peralihan kepemimpinan dan kekuasaan di rana apapun selalu tak imun dengan segala iklim penuh kabur dan curangnya. Memang kemenangan sudah jadi harapan dan muara cita nan pasti.

Ada kah sebuah kemenangan demi kepemimpinan tanpa kecurangan? Tanpa strategi senyap dan gelap? Tanpa kampanye sirik pembunuhan karakter terhadap lawan? Dan, tanpa menabrak dan menggilas segala ketentuan yang menghadang?

Kita memang sudah terbiasa untuk merakit kerjasama dalam membangun. Gotong royong itu manjur demi kemajuan. Itulah sebabnya banyak yang mesti dirayu demi koalisi. Bagaimanapun, sering kita tak senyap dalam solidaritas negatif abu-abu yang bergerilya ‘cari makan, cari untung, dan bikin gendut pundi-pundi diri sendiri.’ Hampir setiap oknum, kelompok, partai punya kisah tak sedapnya sendiri.

Karena itulah, tergambar jelas bahwa spontanitas semakin memudar. Yang ditakuti adalah kita seperti apanya kita. Kita malu dan gemetaran untuk melihat tubuh diri sendiri dengan segala kemaksiatan arus politiknya.

Di persimpangan inilah kita mesti bersyukur bahwa ternyata masih ‘ada sisa-sisa suara kenabian,’ yang bergelora dalam jiwa raga Ibu Pertiwi. Yang sedang bersusah hati. Air matanya berlinang. Tak terbendung.

Kini anak-anak negerinya sendiri, iya kita-kita ini, mesti menyekanya penuh lembut dan damai.

Lalu segera berikrar janji dalam ikatan benang kasih sayang etika merah putih. Demi kembali pantang menyerah membangun NEGERI. Dalam rentang arus jalan sejarah. Yang mesti kita pelajari penuh makna. Dalam ketulusan nurani….

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro
Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV