Setiap Nyanyian Cinta Mesti Terdengar Lembut

(sekadar pulang pada KASIH dan SETIA)

P. Kons Beo, SVD

infopertama.com – Mari intip sekali lagi sepotong gema cinta si Kahlil Gibran. Tulisnya, ‘Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya. Cinta adalah ketika dia tidak memedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia. Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain, dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata, “aku turut berbahagia untukmu.”

Mungkin nampaknya sederhana untuk diringkas. Dalam gema cinta Kahlil Gibran terekam bunga-bunga kata hati: tetesan air mata, kepedulian, kesetiaan, tetap tersenyum dalam luka dan kepedihan.

Air mata, itulah nyanyian hati paling dalam. Yang lahir, dan mengalir dari kedalaman diri. Untuk membasahi ‘diri sesama dengan segala kisah getir yang dialaminya.’

Sepertinya kita mesti menitikkan tetes-tetes air mata. Agar segeralah semuanya menjadi anak-anak sungai, yang terus mengalir menuju padanya. Dan dirinya bakal sungguh jadi satu kawasan muara pengharapan.

Di dalam Cinta, kita temukan bahasa kepedulian. Itulah kisah paling nyata kita bersolider pada sesama. Saat kita tak sanggup tertawa ketika ia ada dalam tangis dan air mata. Dalam peduli, hati kita sungguh berontak saat kita tak ada, ya tak berada tepat di sampingnya saat ia tengah bergulat dalam derita, putus asa dan duduk bingung dalam tatapan kosong. Sebab kita mesti beraksi deminya.

“Tetapi, sahabatku… Cinta itu mengujimu pula dalam setia dan kebesaran hati. Saat ia, diam-diam bahkan terang-terangan, meninggalkan dan melupakanmu! Di alam nyata penuh kepahitan hati, kau tetap tegar memakai mahkota kesetiaan. Tetap terekat kuat kata-kata itu ‘Jika Cinta adalah Raja, kesetiaan adalah mahkotanya.’ Iya, sungguh luar biasa getaran jiwa setiamu, kawan. Ketika kau tetap kenakan mahkota kesetiaan dalam titik-titik kemustahilan di alur kehidupan ini.

Kesetiaanmu, kawan, sungguh tak pernah susut dan aus digilas roda zaman. Aura setiamu tetap tak remuk oleh remasan kata-kata manis penuh dusta. Kawan, mungkin seperti itu kah yang kau ikuti dari DIA yang kau imani? ”Yang walau kita tidak setia, DIA tetap setia, sebab DIA tidak dapat menyangkal diriNYA” (2Tim 2:13).

Di dunia yang rapuh dan rentan ini, kawan, dikau tetap tegar bersenandung penuh teguh hati, ‘kesetiaan ini bukanlah sandiwara. Berkorban untukmu walau kadang kecewa….’ Dalam penyangkalan dan khianat, alam kebencian jadi tak berdaya untuk sebuah kerinduan yang mengampuni penuh ketulusan.

Dan akhirnya, kawan, cinta dan kesetiaan itu sungguh mengujimu dalam kehilangan dan kepergian. Bagaimana pun hatimu tetap berkualitas intan. Yang tak pernah pudar dalam ujian sakit dan derita.

Tetapi, di atas semuanya, apakah kita sedang bermimpi, atau lagi ‘mabuk kepayang memahat langit dengan mengukir cinta penuh bayang? Kita hidup di masa kini ketika air mata dianggap lemah atau banyak menyimpan dusta buaya darat. Kita tengah menerobos zaman ini ketika kepedulian telah mati suri. Sebab orang hanya berjalan lurus dengan irama egosentriknya. Tanpa menoleh dan tiada jedah sejenak demi sesama yang terluka oleh varian tekanan kehidupan tak adil?

Bukan kah, di hari-hari ini, kita hidup dalam cengkeraman pilihan ‘variatif sana-sini yang mendera serta menyandra keteguhan hati,’ dan ketika itulah kesetiaan dan komitmen berulang-ulang dicuekin dan bahkan diludahi?

Dalam serba prahara kehidupan ini, toh cinta tetap kokoh dan bertahan dalam keagungan dirinya. Dan, kawan, kau telah buktikan segalanya. Dalam alam paling batil sekalipun, cinta itu tetap teduh dan utuh. Kau tetap gemakan si Ebiet bahwa ‘setiap nyanyian cinta yang mesti terdengar lembut.’ Tanpa amarah membara. Tiada dendam dan menuntut balas. Bebas kekasaran dan kekerasan.

Saat Armada melantun “ku rela kau dengannya, asalkan kau bahagia….” jauh sebelumnya si Kahlil Gibran sepertinya sudah yakini, ‘aku turut berbahagia untukmu, bersama yang lain dan apa pun pilihanmu..’ Bagaimana pun, kawan, dalam dirimu tetap bersenandung nyanyian kasmaran penuh setia a la Jikustik:
‘Sesaat malam datang menjemput kesendirianku. Dan bila pagi datang ku tahu, kau tak di sampingku. Aku masih masih di sini untuk setia…..”

Di atas semuanya….

Mari kita pulang dalam damai dan Kasih. Kembali ke kaki SALIB. Sebab DIA yang tersalib selalu setia menanti. Dalam kasihNya yang paling agung. Kasih Yang memenangkan kita seutuhnya.
Dalam jiwa ilahi dan raga keinsanian kita….

Verbo Dei Amorem Spiranti

Qatar Airways – QR 113
September 2024

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV