Oleh Bernardus T. Beding*
Akhir-akhir ini banyak orang masih gelisah menghadapi problematika dunia pendidikan di tengah tuntutan yang mengharuskan setiap komponen pendidikan memenuhinya. Rema-rema sistem pendidikan warisan Orde Baru pun masih terlihat dalam dunia pendidikan.
Bahkan memperlihatkan citra yang memilukan. Warisan itu masih tampak meresahkan masyarakat, karena kecenderungan lembaga-lembaga pendidikan tertentu, khususnya lembaga-lembaga pendidikan yang mendapat predikat 3 T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) melakukan penyeragaman berbagai aspek pendidikan, hingga telah sampai pada taraf yang memasung kebebasan dan kreativitas.
Padahal pemerintah pusat melalui Kemendikbud-Ristek sejak Tahun Akademik 2020/2021 sudah mencanangkan Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM).
Baca juga:
Brutalnya Sikap Buzzer Manggarai Membungkam Kritik Para Intelektual
Perhatikan, Tata Cara Penulisan Rupiah (Rp) Menurud PUEBI
Kemudian membakukan Program MB-KM secara absolut sebagai kurikulum nasional (kurnas).
Kendati terbuka peluang untuk mengembangkan kreativitas, inovasi, dan fleksibilitas, tak urung kesan yang menonjol dalam komando pemerintah pusat yang melahirkan kemerdekaan dan infleksibilitas.
Sentralisme komando ini pada gilirannya memberi ruang bagi kekuatan-kekuatan ekonomi untuk menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis yang menggiurkan.
Akibatnya, banyak segi dari proses pendidikan lebih mengikuti hukum-hukum bisnis daripada prinsip-prinsip pedagogis.
Sebelum muncul Program MB-KM, praksis pendidikan terbilang merosot menjadi indoktrinasi atau praktik brain washing.
Secara historis, dunia pendidikan telah dimanipulasi penguasa untuk melegitimasi kemampuan mereka, sehingga tidak mustahil muculnya wacana bahwa pendidikan kita relatif tidak berdaya dan berjalan di luar hakikat yang sebenarnya.
Filsafat Pendidikan Indonesia
Kita tidak mempunyai filsafat pendidikan yang jelas. Untuk apa pendidikan kita selenggarakan? Ini yang membuat kerancuan dalam kurikulum dan sisitem pendidikan yang dijalankan.
Tujuan pendidikan kita semakin kabur dengan pemakaian istilah Sumber Daya Manusia (SDM) dan demi pembangunan. Seakan-akan manusia disamakan begitu saja dengan minyak atau batu bara sebagai sumber daya. Pembangunan tidak lagi untuk manusia, tetapi sebaliknya.
Jika demikian situasinya, lantas apa yang kita harapkan dari lembaga pendidikan? Atau, apakah yang bisa diupayakan untuk mengembalikan pendidikan kita pada tujuan dan fungsi yang sebenarnya? Itulah pertanyaan yang kerap masyarakat lontarkan akhir-akhir ini.
Secara makro, perdebatan mengenai tujuan pendidikan berkisar di antara tiga macam tegangan, yakni (a) pendidikan untuk transmisi sosial atau untuk transformasi sosial, (b) pendidikan untuk membina kehidupan bersama atau untuk perkembangan individu secara optimal, dan (c) pendidikan untuk meningkatkan berbagai kemampuan mental (mental faculties) atau untuk menguasai aneka isi pengetahuan dan keterampilan yang siap pakai.
Barangkali dari titik tolak ini memungkinkan kita untuk menyelami esensi pendidikan sesungguhnya.
Sampai batas tertentu, pendidikan memang berwajah konservatif. Hal ini berarti pendidikan bertujuan mempertahankan dan melestarikan kebudayaan masyarakat.
Semakin sederhana masyarakat, kian menuntun peran tradisional pendidikan ini. Meyakini bahwa Tradisi sebagai penentu kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, transmisi tradisi oleh generasi yang lebih tua, yaitu para pendidik kepada generasi yang lebih muda, menjadi tujuan tunggal pendidikan. Pada titik ini, institusi pendidikan tidak lebih dari agen konservasi sosial.
Sisi Lain Pendidikan
Sisi lain, menuntut pendidikan memainkan perannya lebih sejati, yakni sebagai sarana regenerasi sosial. Mengarahkan misi pendidikan untuk membantu perwujudan format cita-cita masyarakat.
Pranata pendidikan harus menjadi pemimpin dalam membangun dunia yang lebih baik. Tugas pokoknya adalah merefleksikan tradisi dan konsekuensi status quo, agar selanjutnya mampu secara kreatif menciptakan jalan-jalan alternatif menuju kehidupan bersama (convivum) yang lebih bermutu.
Karenanya pendidikan harus membebaskan diri dari berbagai bentuk penyeragaman atau keseragaman untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi mekarnya potensi-potensi individu demi transformasi masyarakat.
Mestinya lebih memerhatikan peran progresif transformatif ini daripada peran konservatif-reproduktif.
Isu kedua tentang tujuan pendidikan adalah tegangan antara pendidikan untuk membina kehidupan bersama dengan pendidikan untuk mendorong perkembangan individu seoptimal mungkin.
Dalam konteks pembinaan kehidupan bersama, pendidikan dipandang sebagai sarana rekayasa sosial demi persatuan dan kesatuan bangsa. Misalnya, dengan menyubordinasikan individu di bawah kepentingan publik atau hegemoni negara.
Praktik di atas berlawanan dengan pandangan bercorak progresif, yang mengutamakan perkembangan pribadi individu. Seperti perspektifnya Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Rousseau menyatakan bahwa perspektif pranata sosial lainnya, harus menyelaraskan pendidikan dengan tujuan bagi pemekaran aneka naluri dan dorongan bawaan individu.
Bertolak dari asumsi bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik, maka tujuan pendidikan tidak lain dari menolong peserta didik untuk mengekspresikan diri, mengaktualisasikan kemampuan secara spontan dan bebas, sehingga mampu melakukan rekonstruksi sosial ke arah terciptanya masyarakat kosmopolitan yang lebih progresif, masyarakat global yang melampaui batas-batas nasionalisme apalagi patriotisme sempit.
Diskursus ketiga menyangkut tujuan pendidikan bersumber pada tegangan antara pendidikan untuk mengembangkan kemampuan mental atau untuk menguasai isi pengetahuan dan keterampilan siap pakai.
Menurut pandangan pertama, pendidikan mengutamakan pemekaran kompetensi seperti berpikir kritis, memecahkan persoalan, serta pemahaman yang nalitis. Sementara pandangan lain menekankan bahwa pendidikan harus menitikberatkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan praktis, untuk menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja.
Pendidikan, Antara Abdi atau Kritikus Masyarakat
Pandangan terakhir perlu kritisi karena mereduksi pendidikan sebagai subsistem yang mengabdi kepada kepentingan industri dan perdagangan belaka.
Padahal, lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi bukan hanya abdi masyarakat, tetapi juga kritikus masyarakat.
Education Commission’s Report pernah memberikan tesis, “Tugas universitas (perguruan tinggi) bukan pertama-tama memberikan kepada masyarakat, apa kehendaknya, melainkan apa kebutuhannya.”
Dengan latar belakang seperti ini, mesti meninjau kembali konsep Link & Match dalam pendidikan. “Taut atau Padan” memberi kesan bahwa arah taut itu dari industri ke pendidikan. Jadi industri mendikte apa yang harus pendidikan laksanakan. Padahal sejatinya dunia industri memanfaatkan aset pendidikan dengan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat (Drost, 1997).
Konstelasi pendidikan kita sekarang di tengah alam paska reformasi telah berubah. Berbeda dari kenyataan yang ada sepanjang tiga dekade lalu. Arah perubahan tersebut akan terus bergulir menjelang era transformasi dan globalisasi.
Oleh karena itu, kajian ulang terhadap tujuan pendidikan merupakan kebutuhan mendesak untuk menjawabi perkembangan situasi aktual.
*Alumni PBSI Unika Sanata Darma Yogyakarta, dan sekarang sebagai Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel