Mengapa buzzer (warganet) Manggarai mudah bersikap kasar, melakukan perundungan, dan seperti tidak beradab ketika berinteraksi di dunia maya? Padahal ata Manggarai dikenal ramah dan murah senyum.
Kesan ini utamanya melekat di mata orang asing. Ata Manggarai sangat respect ketika menemui orang asing, akan dengan mudah memberikan tumpangan, begitu pula dengan makanan dan minuman.
Sikap ramah ini mendapat pujian dari orang-orang luar yang pernah ke Manggarai. Lalu kenapa di dunia maya kesan ini seolah berbalik arah?
Perundungan di Balik Jubah Anonimitas
Di Manggarai, praktik tidak adab di dunia maya menjadi menu wajib. Group Facebook MBB (Manggarai Bebas Berpendapat) dan mungkin beberapa group facebook lainnya, kental dengan praktik perundungan dari para Buzzer.
Meminjam bahasa iklan salah satu produk minuman, apa pun makanan loe, minumnya teh….apa pun postingan loe, perundungan adalah balasannya.
Salah satu jawabannya adalah karena interaksi di internet sifatnya virtual. Kita tidak bertemu langsung, bertatap muka dan melakukan kontak mata, karenanya, kita mudah untuk merendahkan, mencaci, merundung dan berlaku tidak menyenangkan.
Seandainya interaksi itu terjadi di dunia nyata dengan bertatap muka, apakah buzzer berani bersikap kasar, merundung, menghina dan mencaci maki? Kita akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya. Kita masih terbatasi dengan norma kesopanan dan sikap menjaga perasaan orang lain.
Komunikasi di media sosial (MBB) juga tidak dalam waktu nyata (real time). Artinya kita bisa meninggalkan proses komunikasi kapan pun kita mau.
Berbeda dengan tatap muka yang mengharuskan kita konstan berkomunikasi dan terbatasi oleh tempo, interaksi daring memberi justifikasi bagi nitizen umumnya dan buzzer khususnya untuk berkata kasar kemudian meninggalkan percakapan.
Selain itu, dalam dunia maya otoritas seperti semu, lenyap, tak bernyawa. Dalam virtualitas, hirarki otoritas, entah itu berdasarkan usia, kepakaran atau otoritas hukum tak berlaku, tenggelam entah sampai pada kedalaman berapa, seperti menghilang.
Setiap orang, merasa tidak ada batasan dari otoritas apapun. Dalam suasana anarkis sedemikian, orang menjadi gampang untuk bersikap kasar kepada orang lain. Karena pada dasarnya dia tidak mengenal lawan bicaranya.
Brutalnya sikap buzzer juga bisa kita lihat dari cara para buzzer (pendengung) tersebut membungkam kritik para intelektual atau mereka yang mengaku intelektual.
Buzzer = Pembunuh; Pembunuhan Karakter
Sikap kasar, perundungan, doxing dan segala tindakan tidak menyenangkan di dunia maya pada dasarnya berpengaruh pada kesehatan mental seseorang yang menjadi sasarannya.
Danny Wallace, dalam bukunya yang berjudul F*** You Very Much: The Surprising Truth About Why People Are So Rude, menjelaskan bahwa dampak dari sikap kasar yang diterima di dunia maya seperti sebuah neurotoxin, substansi beracun yang berdampak negatif pada sistem saraf kita.
Efeknya bisa menimpa fungsi eksekutif yang berpengaruh pada kesehatan otak. Bahkan, sikap kasar di dunia maya sebagai pembunuh tidak tampak dan jika tidak ditangani secara serius maka dampaknya bisa mengganggu fungsi otak bagian depan (frontal lobes) yang mengatur cara kita mengingat, konsentrasi dan pemecahan masalah.
Mungkin ini terakhir, kata-kata kasar dan perundungan berlindung di balik jubah anonimitas atau akun-akun tanpa nama.
Dengan identitas palsu, atau paling tidak dikenal secara dekat, mereka bisa dengan mudah melontarkan komentar kasar terhadap pihak lain.
Akun-akun anonim juga banyak kita temukan di Facebook, anggota group MBB. Beberapa pendengung yang mengungkapkan data pribadi seseorang untuk kemudian dipermalukan juga adalah akun anonim.
Di balik akun tanpa nama, mereka tidak memiliki beban untuk menyerang pihak lain karena sulit untuk dapatkan serangan balik.
Pada akhirnya, upaya mengatasi kebiadaban di dunia maya tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum.
Untuk peretasan, doxing, dan ancaman-ancaman yang mengarah pada kekerasan dan penghilangan nyawa mungkin bisa penegak hukum tangani sehingga memberikan efek jera kepada yang lainnya.
Literasi Digital Tidak Sebatas Coding
Sementara itu, pada masyarakat, literasi digital semestinya dimulai sedini mungkin di institusi pendidikan.
Selama ini, literasi digital masih dominan dalam aspek teknis penggunaan komputer. Belum menyentuh pada aspek sosial dan etis.
Kedepan harus memperluas program-program literasi digital. Sehingga perluasan akses teknologi tidak hanya soal akses terhadap teknologi sebagai alat, tetapi juga perluasan kecapakan dan kebijaksanaan dalam menggunaan teknologi.
Platform digital juga bisa berkontribusi dengan melakukan pencegahan dengan menghapus konten-konten yang bersifat abusif, doxing, dan perundungan daring.
Pentingnya Intervensi Pemerintah
Pemerintah bisa mendorong perusahaan media sosial untuk berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem internet yang aman dan nyaman.
Pada akhirnya, kita berharap menu-menu media sosial Manggarai penuh dengan unggahan konten positif dan budaya yang apresiatif, bukan dengan kata-kata abusif.
Oleh: Terry Janu
Editor: Redaksi
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â