Cepat, Lugas dan Berimbang

Saling Memuliakan dalam Hidup

Saling Memuliakan dalam hidup
Ilustrasi (ist)

KHOTBAH HARI MINGGU PASKAH V
Minggu, 15 Mei 2022
Bacaan: Kis 14: 21b-27; Why 21: 1-5a;
Yoh 13: 31-33a.34-35

Manusia pada umumnya hidup bersama dengan orang lain, entah dalam keluarga entah dalam komunitas. Apa tujuannya? Berdasarkan sabda Tuhan hari ini, kita manusia hidup bersama agar kita dapat saling memuliakan sebagaimana Yesus dengan Allah Bapa-Nya. Inilah kata-kata Yesus kepada murid-murid-Nya: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan, dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera” (Yoh 13: 31-32).

Berdasarkan sabda Tuhan ini, hubungan antara Allah sebagai Bapa dengan Yesus sebagai Anak tampak begitu indah dan menyenangkan. Bapa memuliakan Anak dan Anak memuliakan Bapa. Di antara kedua-Nya tidak ada hubungan yang saling menentang atau saling menolak, tetapi hanya ada hubungan yang saling mendukung, saling meneguhkan dan saling menguatkan.

Sebagaimana hubungan Yesus dengan Allah Bapa-Nya sangat positif karena saling memuliakan, begitu juga hendaknya relasi atau hubungan kita dengan orang lain mesti saling memuliakan. Hubungan saling memuliakan berarti hubungan saling menghormati dan menghargai, saling memberi makna dan manfaat, saling menjaga dan memelihara, saling mencintai dan memperhatikan, saling menolong dan saling membantu.

Dalam pengertian ini, antara orang tua dan anak-anak, antara suami dan istri, antara bapa dan ibu, antara saudara dan saudari, antara teman dan sahabat tidak ada niat dan pikiran jahat terhadap orang lain. Tidak ada rancangan untuk saling menghina dan merendahkan. Tidak ada sifat untuk saling dendam dan benci. Tidak ada upaya untuk saling tolak dan saling singkir satu sama lain. Tidak ada prilaku untuk saling meremehkan dan melecehkan. Tidak ada usaha untuk saling bersaing dan bermusuhan satu sama lain. Tidak ada tekad untuk saling mengusir dan saling menjauhkan dalam hidup.

Pertanyaannya, apa jalan untuk mencapai relasi yang positif atau bagaimana caranya untuk membangun dan mengalami hubungan yang saling memuliakan ini? Jalan atau caranya adalah kasih dan mengasihi. Maka sesudah berbicara mengenai hubungan saling memuliakan dengan Allah Bapa-Nya, Tuhan Yesus lalu berkata kepada rasul-rasul-Nya dahulu dan kepada kita murid-murid-Nya zaman ini: “Aku memberikan perintah baru kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13: 34).

Inti dari kasih dan mengasihi adalah fokus pada kebaikan orang lain, dan bukan hanya fokus pada kebaikan diri sendiri. Diri sendiri baik, orang lain juga baik. Orang lain baik, diri sendiri juga baik. Dalam bahasa Yesus, mengasihi diri sama dengan mengasihi sesama. Mengasihi sesama sama dengan mengasihi diri sendiri.

Karena itu Santo Agustinus menegaskan: “Jangan engkau menganggap dirimu rendah, hai para pria: Anak Allah datang mengambil rupa seorang laki-laki. Jangan engkau menganggap dirimu rendah, hai para wanita: Anak Allah lahir dari seorang perempuan. Lantas siapakah yang dapat merendahkan dirinya jika Anak Allah sendiri berkehendak untuk menjadi seorang yang rendah hati bagi kita” [Santo Agustinus (354-430) –Taize].

Orang yang tahu kasih dan tahu mengasihi amat rendah hati dan bahkan mau rendah diri dan mau merendahkan diri, tetapi ia tidak pernah merendahkan atau meremehkan orang lain. Dengan kasih tanpa merendahkan orang lain, kita dapat saling memuliakan dalam hidup di dunia ini.

Nasrudin kedatangan seorang wanita yang menangis karena suaminya sakit batuk yang tidak sembuh-sembuh. “Tolonglah Tuan, bagaimana caranya batuk suami saya bisa sembuh.” “Bawalah 1 gelas air minum bening ini dan berikan kepada suamimu, pasti sembuh.” Kata Nasrudin. Wanita itu dengan hati-hati membawa air segelas itu dan memberikannya kepada suaminya. Beberapa minggu kemudian, wanita itu datang lagi sambil marah-marah. “Suamiku tidak sembuh batuknya, tetapi malah mati. Tuan itu pembohong besar!” “Maaf bu, soal mati itu bukan wewenang saya, sebab ajal ada di tangan Tuhan. Saya hanya katakan bahwa dengan air itu batuk suamimu sembuh.” “Tapi kenyataannya, suami saya mati” kata wanita itu. “Sabar Bu, apa sesudah mati suami ibu masih batuk?” “Tidak, mana ada orang mati batuk.” “Nah itu ‘kan, batuknya sudah sembuh! Mati itu urusan Tuhan” {ngopibareng.id: Dua Himah Humor Sufi: Penyakit dan Takdir Tuhan, Internet, Garut, 14/5/2022}.

Bila kita saling memuliakan dalam hidup, kita mesti saling mengasihi dengan membantu orang yang amat membutuhkan meskipun dengan hal-hal kecil dan sederhana seperti segelas air minum. Apakah orang meninggal dunia sesudahnya, itu adalah urusan Tuhan. Perhatian dan bantuan sekecil apa pun pada saat seseorang menghadapi sakrat maut amatlah berarti dan bernilai bagi orang yang meninggal dunia.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel