Pengadilan yang Tidak Adil

Pengadilan
Ilustrasi
idulfitri

PW SANTO KAROLUS LWANGA DAN KAWAN-KAWAN MARTIR
Jumat, 3 Juni 2022.
Bacaan: Kisah Para Rasul 25: 13-21; Yohanes 21: 15-19

Paulus ditahan dalam penjara di kota Kaisarea. Imam-imam kepala dan tua-tua orang Yahudi mendakwa dia dan menghukum dia. Namun Paulus sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Hal seperti ini bukanlah kebiasaan pada orang-orang Roma.

Gubernur Festus menyampaikan keadaan Paulus itu kepada Raja Agripa dengan Bernike di Kaisarea. Maka keesokan harinya Gubernur Festus “segera mengadakan sidang pengadilan dan menyuruh menghadap Paulus ke dalam sidang pengadilan itu. Para pendakwa berdiri di sekelilingnya, dan ternyata mereka tidak mengajukan suatu tuduhan pun tentang perbuatan jahat yang dilakukan oleh Paulus. Mereka hanya mengemukakan perselisihan paham dengan Paulus tentang soal-soal agama dan tentang Yesus yang sudah mati. Paulus amat yakin bahwa Yesus memang sudah mati, namun Ia hidup.

Untuk urusan perkaranya itu, Paulus diminta untuk pergi ke Yerusalem. Akan tetapi Paulus naik banding dan meminta supaya ia tetap tinggal dalam tahanan sampai mendapat keputusan dari Kaisar atas perkaranya itu.

Dari kisah pengadilan Paulus ini, ada dua pikiran yang perlu kita renungkan dan hayati.

1). Janganlah menuduh Asal Menuduh

Dalam kehidupan bersama selalu ada orang yang bersalah. Orang bisa bersalah dalam hal apa saja, misalnya karena kejahatan, karena pembunuhan, karena pencurian atau karena korupsi dan lain-lain.

Apa pun jenis kesalahannya, orang yang bersalah tetap mempunyai hak untuk membela diri. Kesalahan tidak boleh menutup atau menghilangkan hak seseorang untuk dibela. Meskipun bukti sudah kuat dan tidak dapat diragukan lagi, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara tanpa pembelaan diri.

Kesalahan yang dilakukan oleh seseorang biasanya tidak murni merupakan kesalahannya sendiri. Amat bisa jadi dia hanya menjadi kambing hitam dari kesalahan orang lain. Orang lain mempunyai kesalahan, tetapi dia hanya menjadi tumbal atau korban dari kesalahan orang lain. Kesalahan orang lain hanya ditimpakan ke atas dirinya, karena ia sendiri lemah dan tak berdaya.

Atas dasar inilah pembelaan diri selalu mesti diberikan kepada orang yang dituduh dan didakwa bersalah karena apa saja. Membela diri adalah hak asasi setiap orang. Meskipun pada akhirnya oleh pengadilan dia dinyatakan dan diputuskan bersalah, namun keputusan bersalah atas dirinya harus objektif dan tidak hanya berdasarkan asumsi atau dugaan saja.

2). Rendah Hati Mengakui Kesalahan

Kita berhak untuk membela diri ketika kita dituduh dan didakwa bersalah dalam melakukan kesalahan atau kejahatan tertentu. Akan tetapi pembelaan diri tidak otomatis membuat kita benar dan dibenarkan. Pembelaan diri tidak memberi jaminan bahwa kita tidak bersalah.

Sebab itu bila kita sudah membela diri, namun kita tetap divonis atau diputus bersalah, kita harus jujur, rendah hati dan sportif untuk menerima dan mengakui kesalahan kita. Kita harus sadar bahwa kita tidak sempurna. Kita harus mengakui kelemahan dan kerapuhan, kesalahan dan kejahatan kita.

Kejujuran dan ketulusan untuk menerima dan mengakui kesalahan akan membebaskan kita. Kita merasa bebas dan leluasa, gembira dan sukacita apabila kita jujur dan rendah hati serta berani dan terus terang menerima dan mengakui kesalahan atau kejahatan kita. Tetapi kalau kita tidak jujur, kita akan terus merasa dikejar oleh kejahatan atau kesalahan yang kita lakukan.

Dosa, kesalahan atau kejahatan memang tidak baik dan tidak boleh dilakukan, tetapi apabila kita sudah melakukan dosa, kesalahan dan kejahatan, hal itu tidak berarti hidup kita menjadi hampa atau sia-sia. Hidup kita tidak hilang maknanya karena dosa, kesalahan dan kejahatan. Tetapi kita harus memperbaiki diri, sikap dan perilaku hidup yang tidak berkenan.

Berhadapan dengan semua dosa, kesalahan dan kejahatan yang kita lakukan, kita harus percaya akan kemurahan dan belas kasih Allah yang mengatakan: “Aku mentahirkan kamu dari segala kesalahanmu” (Yeh 36: 33). Allah kita adalah Allah “kasih” (1Yoh 4: 8.16) dan dalam kasih-Nya atau karena kasih-Nya, “Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” dan kesalahan kita (1Kor 13: 5). Inilah dasar optimisme kita dalam hidup yang tidak luput dari dosa, kesalahan atau kejahatan di dunia ini.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng