Otoritas Tertinggi Pada Seorang Pemimpin

Pemimpin
Ilustrasi (ist)

SK Penlok

PEKAN V PASKAH
Kamis, 19 Mei 2022
Bacaan: Kisah Para Rasul 15: 7-21; Yohanes 15: 9-11

Kehidupan bersama tidak hanya membutuhkan hierarki kekuasaan, tetapi juga amat memerlukan kepala atau pemimpin yang memegang pucuk kekuasaan tertinggi. Tanpa kepala kehidupan bersama tidak akan bergerak dan berjalan. Sama halnya seperti tubuh. Tubuh fisik terdiri dari banyak anggota, tetapi tanpa kepala anggota tubuh fisik tidak terikat satu sama lain. Seperti tubuh fisik manusia itu, hidup bersama tidak mungkin tanpa kepala. Bila tidak ada kepala, kehidupan bersama akan menjadi sebuah kerumunan massa tanpa ikatan hubungan satu sama lain.

Bacaan I hari ini melukiskan betapa pentingnya kepala dalam kehidupan bersama manusia. Dalam pertemuan dan persidangan di Yerusalem, “para rasul dan penatua-penatua jemaat” berdiskusi dan berdialog untuk “membicarakan soal sunat. Sesudah beberapa waktu lamanya tukar pikiran berlangsung, berdirilah Petrus dan berkata kepada para rasul serta penatua-penatua: “Saudara-saudara kamu tahu, bahwa sejak semula Allah telah memilih aku di antara kamu, supaya dengan perantaraan mulutku bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya” (Kis 15: 7).

Petrus Pemimpin Para Rasul dan Para Penatua

Berdasarkan kisah suci ini, para rasul dan penatua-penatua sudah berkumpul dan bersidang untuk membicarakan soal sunat. Dialog dan tukar pikiran sudah berlangsung atau berjalan lama. Tetapi tidak ada kesimpulan dan penutup. Tidak ada kata akhir. Kata akhir mesti keluar dari seorang pemimpin. Tetapi kalau tidak ada pemimpin, diskusi dan dialog tetap tidak mempunyai ujungnya. Bukan saja diskusi atau dialog tidak memiliki kesimpulan dan penutup. Tetapi juga tanpa pemimpin, diskusi, dialog dan tukar pikiran tetap mengambang. Dan, tidak ada batasnya untuk berhenti.

Dalam kondisi itulah, Petrus tampil dan berdiri sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin ia angkat bicara dan berkata bahwa ‘sejak semula Allah telah memilih’ dia di antara para rasul dan penatua-penatua, supaya dengan perantaraan mulutnya’ bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya’ kepada Tuhan.

Dalam kata-katanya ini, otoritas kepemimpinan Petrus tidak berasal dari manusia, tetapi berasal dari Allah. Allah sendiri, dan bukan manusia, telah memilih dia sejak lama. Otoritas kepemimpinan Petrus ini memiliki dasar pada perintah dan penegasan Yesus sendiri. Ketika Yesus bertanya kepada para murid-Nya mengenai siapakah Dia menurut mereka, Petrus langsung menjawab: ‘Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!’ Kata Yesus kepadanya: ‘Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 16: 16-19).

Intinya, Petrus menjadi pemimpin bukan karena kehendaknya sendiri dan bukan pula karena pilihan manusia, tetapi benar-benar merupakan pilihan, ketetapan dan keputusan Tuhan. Isi dari tugas kepemimpinan yang Tuhan berikan kepadanya itu terdiri dari 2 bagian utama. Pertama, pada tingkat dunia Petrus menjadi fundator pendirian Gereja dan sekaligus menjadi pemimpin Gereja atau jemaat atau pemegang kunci Kerajaan Sorga. Kedua, ia menjadi pewarta atau pemberita Injil bagi bangsa-bangsa agar mereka percaya. Dengan perantaraan mulutnya bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya. Dengan kata lain tanpa komando otoritatif dari kepemimpinan yang ada padanya, tidak ada pewartaan dan pemberitaan Injil yang sah kepada bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Pemimpin Yang Sejati

Untuk menjadi pemimpin apa saja dan terlebih lagi menjadi pemimpin dalam lingkungan Gereja di dunia ini tidak ada pilihan berdasarkan inisiatif yang berasal dari rencana dan kehendak sendiri. Pemimpin yang sejati tidak akan mencalonkan dirinya sendiri dan juga tidak dapat memilih dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin. Dalam dunia demokrasi, pemimpin yang mencalonkan dan memilih serta mengangkat dirinya sendiri bisa saja terjadi, tetapi pemimpin seperti itu bukan merupakan pemimpin yang benar dan sehat. Pemimpin yang benar dan sehat akan selalu dipercayai dan dicalonkan serta diangkat dan dipilih oleh orang lain.

Untuk tugas apa saja dalam lingkungan agama, khususnya agama Katolik, mulai dari tingkat paling atas sampai tingkat paling bawah pada level akar rumput, semestinya tidak ada pemimpin yang mencalonkan diri atau memilih dan mengangkat atau menetapkan dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin. Juga semestinya tidak ada pemimpin atas dasar delegasi kelompok dan demi kepentingan kelompok. Di dalam Gereja tidak ada kelompok-kelompokan, sekat-sekatan atau blok-blokan manusia atau umat, Juga tidak ada kompetisi atau kompanye di panggung gereja. Tidak ada pula sikut-sikutan atas dasar kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.

Benar di dalam gereja ada ketua-ketua atau pemimpin-pemimpin kelompok, lingkungan dan wilayah dan bahkan mungkin sangat demokratis dalam proses pemilihan. Akan tetapi tanpa otoritas ilahi, semua pemimpin dalam tugas kerasulan dan tugas perutusan gereja tidak sah dan tidak valid. Meskipun ada demokrasi di dalam lingkungan Gereja. Namun pemimpin atas dasar demokrasi murni tetap tidak otomatis menjadi pemimpin dalam urusan kerasulan dan pelayanan Gereja. Tidak ada demokrasi penuh dan murni di dalam proses pemilihan kepemimpinan Gereja. Pemimpin yang benar dan kepemimpinan yang sah di dalam lingkungan Gereja hanya lahir dan muncul dari sebuah ‘delegasi’ atau perutusan dari Tuhan melalui Gereja-Nya dan bagi Gereja-Nya di dunia ini.

Sebab itu hendaklah kita menjadi orang yang baik dan benar atau menjadi orang yang berkenan kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian kita dapat ‘dilirik’ atau diteropong serta dipilih dan diangkat atau ditetapkan oleh Tuhan melalui Gereja-Nya, bagi Gereja-Nya dan di dalam Gereja-Nya. Kita harus selalu merenungkan sabda Tuhan ini: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15: 16).

Marilah kita menjadi orang yang rendah hati seperti Bunda Maria dan bersedia diri atau merelakan diri untuk dipilih dan diangkat oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin yang baik. Dan, berguna bagi tugas kerasulan dan tugas pelayanan apa saja di dunia ini.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV