Jangan Mengharamkan Apa yang Halal

Halal
Ilustrasi (Foto:Didie SW)

PEKAN IV PASKAH
Senin, 9 Mei 2022
Bacaan: Kisah Para Rasul 11: 1-18; Yohanes 10: 1-10

Kata sunat dan tidak sunat serta haram atau tidak haram serta kata halal tidak halal amat sering masuk di telinga kita. Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online”, kata ‘sunat’ berarti ‘potong kulup’ (seorang laki-laki). Secara aktif ‘menyunat’ berarti ‘memotong kulup, atau mengkhitan.’ Suatu pertanyaan murni manusiawi adalah ini: burukkah atau najiskah kulup itu? Jahatkah atau kotorkah kulit ‘kulup’ itu, sehingga harus dipotong atau dibuang dari keutuhan dan kelengkapan alat genital ciptaan Tuhan? Atau haramkah atau salahkan bila tidak dilakukan ‘potong kulup’ pada diri seorang manusia? Mungkin segera muncul jawaban: Sunat itu adalah budaya dan agama manusia. Pertanyaan lanjut: Apakah keyakinan kultural dan religius atau agamawi seperti itu sungguh-sungguh benar dan manusiawi?

Selain kata sunat, kata ‘haram’ berarti ‘terlarang (oleh agama Islam), tidak halal, suci, terpelihara dan terlindung atau sama sekali tidak’ (boleh), sungguh-sungguh tidak’ (boleh). Secara aktif, ‘mengharamkan’ berarti menyatakan atau menganggap haram, melarang’. Contoh, makanan haram berarti jenis makan tertentu dilarang untuk dimakan.

Sebaliknya kata ‘halal’ adalah antitesis dari kata ‘haram’. Halal berarti ‘diizinkan (tidak dilarang). Dengan kata lain, kata ‘halal’ berarti dibenarkan, dibolehkan, diizinkan, diperkenankan, formal, legal, resmi, sah, izin, ampun.’ Dalam rumusan aktif, ‘menghalalkan’ berarti ‘melegalkan, melegitimasikan, membenarkan, membolehkan, memperkenankan, menerima, mengakui, mengesahkan, menghapuskan, merelakan”.

Sunat, Haram dan Halal Bersifat Partial dan Bukan Universal

Budaya tertentu dan bahkan agama tertentu memberlakukan sunat, haram dan halal bagi semua pengikutnya. Itu berarti sifatnya ‘partial’’ untuk budaya dan agama tertentu, tetapi tidak bersifat ‘universal’ untuk semua orang yang memiliki budaya dan agama lain. Dalam bingkai pemahaman ini, ‘program halalisasi atau ‘haramisasi’ tidak harus berlaku untuk semua orang. Begitu juga ‘nasionalisasi program halal dan haram’ seperti wisata halal, makanan halal atau minuman hal atau halal-halal lainnya pada dasarnya bukan merupakan suatu program yang merangkul semua orang. Tetapi justru malah memisah-misahkan atau memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.

Dalam bahasa Inggris, kata ‘nation’ berarti bangsa, ‘nation-state’ berarti Negara berbangsa tunggal. Negara Indonesia adalah Negara yang terdiri dari aneka suku dan bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Tidak semua warga bangsa Indonesia mengenal dan mempraktekkan kebiasaan sunat dan tidak sunat, haram atau tidak haram atau halal dan tidak halal. Negara Indonesia bukanlah sebuah Negara yang terbentuk atau berdiri atas nama suatu budaya dan agama tunggal. Negara Indonesia tidak berada dalam lingkaran budaya atau agama tertentu yang memegang teguh soal sunat atau tidak sunat, soal haram dan tidak haram atau soal halal dan tidak halal.

Debat Petrus Dengan Golongan Bersunat

Gagasan tentang sunat, halal dan haram menjadi bahan perdebatan Petrus dengan orang-orang dari golongan bersunat. “Kata mereka: ‘Engkau telah masuk ke rumah orang orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.’ Tetapi Petrus menjawab mereka dan menjelaskan segala sesuatu kepada mereka melalui suatu penglihatan. Sesuai visio atau penglihatan itu, dia berkata: “Aku lihat segala jenis binatang berkaki empat, binatang liar, binatang melata dan burung-burung. Lalu aku mendengar suara berkata kepadaku: Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah. Tetapi aku berkata: Tidak, Tuhan, tidak! Belum pernah sesuatu yang haram dan tidak tahir masuk ke dalam mulutku. Akan tetapi untuk kedua kalinya suara dari surga berkata kepadaku: Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram!” (Kis 11: 3-4.6-9).

Dari ‘visio’ Petrus ini, segala jenis binatang dan burung menjadi karunia pemberian Tuhan untuk dimakan oleh manusia. Tidak ada jenis binatang atau burung yang haram dan tidak tahir. Ketika selesai menciptakan segala sesuatu di dunia ini, “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej 1: 12.17.21.25). Tidak ada ciptaan Tuhan, jenis apa saja yang haram atau najis atau dilarang. Sebaliknya, semua itu, entah hewan atau binatang maupun tumbuh-tumbuhan sangat baik adanya. Semuanya halal, benar dan dibenarkan, semuanya berkenan di mata Allah bagi hidup manusia.

Lebih daripada itu, ketika semua ciptaan Allah itu diberikan dan disediakan untuk ‘disembelih dan dimakan’ oleh manusia, semua itu masuk ke dalam perut. Semua yang masuk dalam perut pada dasarnya enak, baik, halal, bersih. Tidak ada yang haram, busuk, kotor atau najis. Akan tetapi segala sesuatu yang keluar dari dalam perut berbau busuk dan hanya menjadi ‘berak’ yang dibuang di jamban. Tidak ada gunanya lagi, kecuali kalau diolah secara khusus dengan teknologi canggih untuk menjadi pupuk bagi kebun atau ladang milik manusia.

Hati Bisa Najis Pikiran Dapat Haram Tetapi Makanan Selalu Halal

Dalam makna atau nilai positif, Tuhan Yesus dengan amat jelas berkata kepada ‘orang banyak’. “Apa pun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya. Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” Maka kepada murid-murid-Nya Ia berkata: “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban’. Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. Kata-Nya lagi: ‘Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk 7: 15.19-23).

Berdasarkan sabda Tuhan ini, yang sesungguhnya najis, haram dan dilarang bukanlah jenis makanan dari hewan atau tumbuhan-tumbuhan, tetapi hati dan pikiran manusia. Saat manusia berpikir najis dan haram, jahat dan ‘kotor’, saat itulah ‘pikiran dan hati’ manusia menajiskan dan mengharamkan, melarang dan mempersalahkan semua jenis makhluk ciptaan Tuhan, bahkan juga manusia mahkota ciptaan Tuhan. Dengan mengharamkan hewan dan tumbuh-tumbuhan ciptaan Tuhan yang begitu baik adanya, orang yang berpikir negatif, najis dan kotor, haram dan jahat langsung atau tidak langsung ‘mengharamkan dan menajiskan Tuhan’ sendiri. Tidak heran kalau Tuhan Allah itu menjadi ‘jauh’ atau ‘dijauhkan’. Tuhan Allah hanya ‘dekat’ dan ‘didekatkan’ saat manusia ingin memenangkan ambisi pribadi atau kelompok tertentu, suatu ambisi akan superioritas kekuasaan yang egoistis dan separatis. Ambisi demikian cenderung menekan atau mengintimidasi orang lain atau kelompok lain yang berbeda haluan sikap dan pola pikir. Bagi orang demikian, perbedaan bukan kekayaan melainkan ancaman eksistensial bagi diri dan posisinya.

Sebab itu, hendaklah kita menjauhkan segala cara berpikir najis dan tidak najis. Atau cara merasa haram dan tidak haram, tetapi ‘halalkanlah’ atau benarkanlah semua jenis ciptaan Tuhan, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah sudah menyediakan dan menghadiahkan dengan gratis alam dunia dengan segala isinya untuk kesehatan pertumbuhan fisik dan psikis manusia selama hidup di dunia ini. Dalam rumusan pendek, janganlah kita pernah mengharamkan segala yang halal bagi hidup manusia!

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV