Coba Buka Catatan di Langit

Bunda
Pater Kons Beo, SVD (Dokumen Pribadi)

(sekadar menelisik yang sesungguhnya)

“Anda memiliki harta di dalam diri Anda sendiri, yang jauh lebih besar dari apapun yang dapat ditawarkan dunia”
(Echart Tolle)

P. Kons Beo, SVD

Tak selamanya sesama itu salah atau keliru total. Tentang diri sendiri, kita bakal tak sanggup menyusuri sejauh dan sedalamnya. Apa yang disebut self discovery, iya penemuan diri itu, tidak membawa kita sepenuhnya apalagi sesempurnanya untuk ‘mengalami diri kita sendiri.’

Maka….

Bersyukurlah! Ada sesama, yang setidaknya, dapat teropongi ‘apa yang tidak, yang bukan, yang kurang, yang tidak pada kenyataannya.’ Dan semuanya itu yang tak kita sadari dan tak akui. Namun ternyata, katanya, acapkali kita memberontak. Melawan! Tak setuju apa diteropongi sesama itu.

Jadinya? Kita mesti mengkaroseri sejumlah diktum pembenaran diri sendiri. Kita jadinya kelabakan dan kecut hati. Sebabnya? Sesama, tentang diri kita, punya gambaran sisi lain (otherside overview). Sayangnya, sekali lagi, sisi lain itulah yang tak berkenan di hati. Yang tak konek dengan apa yang kita impikan.

Pasrah penuh tulus pada kerendahan hati jadi ujian serius. Kebesaran jiwa untuk ‘tengoklah ke dalam’ tengah hadapi pertarungan sengit. Tak mudah memang untuk penuh teduh menangkap suara sesama. Terasa sulit juga untuk kemudian membedah diri dengan ‘mata dan telinga batin

Sebabnya?

Penjara ego diri yang kental telah sekian tebal dengan ‘mau-maunya sendiri.’ Sederhana saja untuk dipahami. Orang hanya mau menerima apa saja yang menyenangkan hati sendiri. Tetapi segera ‘buang muka’ atau pun ‘sumbat telinga’ untuk apa yang semestinya ditangkap, disimak serta disikapi.

Di keseharian, apatisme – cuekisme – sikap malas tahu atau ‘peduli amat’ telah bergentanyangan atau menjadi tamu di hati. Pertarungan dalam keluarga, kini, bukan saja pada ‘soal cari makan dan segala tindak demi survive-nya.’ Dunia berkeluh akan daya serap akan nilai yang sekiranya mesti lewati dinamika yang menantang. Yang nikmat dan penuh pujian diterima, sayangnya yang ‘menantang dan keras’ ditolak dan dijauhi.

Di Kisah Berikutnya…?

Sesama pun ternyata bisa salah dan keliru dalam dalam berpendapat serba positif tentang diri kita. Kita ‘dilambungkan dan dimuliakan’ dalam pecitraan diri yang ‘sengit mati punya.’ Di mana-mana dan dalam serba kesempatan nama kita ditenarkan. Bergaung indah tanpa jedah. Kita menjadi gema pujian di segala sudut.

Di titik sebaliknya, di renung hati terdalam, kita sedikit pun tak sanggup menepis kenyataan: Kita tidaklah selalu dan selamanya di bentangan litania kemuliaan yang didaraskan. Tidak! Sayangnya, kita sekian asyik dalam gema pujian melambung. Kita memilih sikap diam, sambil nikmati ‘keuntungan’ dari semua ‘indah tak nyata itu.’

Selanjutnya…?

Jadinya kita sendiri lah yang ‘membenarkan’ apa yang tak nyata itu. Narasi hiperbolik dan exagerated lantas deras mengalir belepotan, yang sepertinya, hendak tutup-tutupi semua yang tak selaras fakta atau out dari kenyataan. Kita jadinya ‘melahap dan menelan habis yang bukan jadi bagian kita.’ Hanya demi sebuah kepentingan sesaat.

Di zaman penuh pertarungan demi apa yang diimpikan, nyata atau tak nyata, sebenarnya atau jelas-jelas tak benar semuanya bisa dirakit dan diracik demi kepentingan. Entah kepentingan dalam skala besar, maupun demi satu pencitraan pribadi yang terindikasi kaleng-kaleng atau murahan.

Di Buku Suci terbaca Kata-Kata Tuhan, “Jika Ya, hendaklah kamu katakan: Ya, jika Tidak, hendaklah kamu katakan. Tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37). Ini tentu tak hanya menyasar sesuatu di luar diri kita berkenaan dengan ketepatan atau kebenaran. Ini tak hanya bisa bicara tentang orang lain. Tetapi ini pun menyasar diri setiap kita berkenaan dengan pergolakan seputar kepastian, ketepatan dan kebenaran itu.

Maka….

Setiap kita seyogianya butuhkan terowongan iluminatif yang menerangi ruang dan segala sudut batin. Sebuah terowongan rohaniah agar di saatnya lah ‘kita mesti telanjang dan benar-benar bersih. Suci lahir dan di dalam batin.’

Satu catatan rohaniah ingatkan pentingnya sebuah ruang batin bagi diri sendiri. Tulisnya, “Menciptakan ruang bagi diri sendiri, belajar diam, dan masuk ke dalam keheningan tidak saja berguna bagi perkembangan kerohanian kita. Disiplin ini juga membantu kita menjadi diri sendiri. Ini adalah suatu cara di mana kita bisa lebih yakin akan siapa diri kita, apa yang kita percaya, dan apa yang harus kita lakukan.”

Dan sekiranya, kita masih saja terapung dan terombang-ambing pada gelombang samudra ketakpastian tentang diri dan jalan kehidupan ini, kata si penyair dan pelantun itu, “Coba buka catatan di langit di sana kusimpan kebenaran…..” Semuanya itu agar diri dan hidup setiap kita itu tak hanyalah sekadar isyu murah meriah. Tetapi sungguh menjadi satu kepastian!

Jika ‘baik dan benar’ itulah yang tetap dijunjung dan dimuliakan. Dan sekiranya bengkok tak berarah dan tersapu debu jalanan, toh tetap ada jalan untuk kembali. Bukankah yang ‘dipelajari dari buku-buku suci, tak pernah ada kata terlambat untuk berbenah?’

Sungguh di Langit selalu tersimpan catatan yang pasti dan selalu tepat. Mari kita memandang ke Langit dalam untaian doa dan keheningan. Sebab dari sanalah kita berkaca pada sebuah kedalaman……….

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV