Waktu itu, ada saran bagi om dan tanteku untuk membawa buah hati mereka ke mori mali (orang pintar/dukun). Dan itu juga pilihan kami, dan akhirnya kami menuju kediaman mori mali yang cukup terkenal di kampung itu.
Mori mali tinggal di sebuah pondok di kebunnya yang cukup jauh dari perkampungan untuk konteks waktu itu yang alamnya masih sakral, sebelum baja, besi mengobrak-abrik hutan di sana. Sambil menyerahkan perawatan itu pada mori mali, tante dan omaku ikut menginap di sana menemani Oyis yang sakit. Dan kami yang lain hanya (bapa besarku, kakak sepupu, suami dari tanteku, dan aku juga suka ikut-ikut saat itu) datang pada saat petang menjelang malam untuk jaga bersama di sana pada malam hari. Pagi harinya kami pulang untuk menjalankan rutinitas bertani di kebun kami masing-masing.
Mori mali adalah seorang kakek, dia tinggal bersama istrinya, juga mengolah lahan perkebunannya sendiri. Mereka berdua tinggal sendiri di sana, sedangkan anak, cucu mereka tinggal di kampung. Kebun mereka sangat indah dengan pelbagai tanaman buah, sayur, dan sejuk karena dekat dengan mata air pinggir kali. Bisa dibilang mereka cukup bekerja keras dan rajin sebagai petani tradisional, walaupun di usia yang sudah cukup tua.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel