Religi  

Antara Rendah Hati dan Merendahkan Diri

PESTA SANTO MARKUS Penulis Injil, Senin, 25 April 2022

Bacaan: Petrus 5: 5b-14; Markus 16: 15-20

Pada hari ini Gereja merayakan pesta Santo Markus sebagai penulis Injil. Menjadi penulis Injil seperti Markus atau menjadi apa saja amat membutuhkan bukan hanya sikap rendah hati, tetapi juga kerelaan. Dan, kesediaan untuk merendahkan diri. Itu berarti seseorang mesti dengan sengaja menjadikan dirinya lebih rendah dari orang lain.

Sikap dan prilaku ini dapat kita temukan dalam bacaan I hari ini. Inilah kata-kata Rasul Petrus: “Saudara-saudara terkasih, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain. Sebab ‘Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati’. Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya pada waktunya kamu ditinggikan oleh-Nya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Dialah yang memelihara kamu” (1Ptr 5: 5b-7).

Dari ajakan Rasul Petrus ini, ada dua ungkapan yang beda-beda tipis, yaitu kerendahan hati dan merendahkan diri. Kerendahan hati lebih menunjukkan sikap internal atau sikap batin. Sedangkan merendahkan diri lebih merujuk pada kondisi eksternal atau kondisi fisik yang tampak. Orang yang secara fisik merendahkan dirinya belum tentu memiliki sikap rendah hati. Bisa saja orang itu berpura-pura tunduk atau sopan, tetapi hati kecilnya berbeda dengan tampilan fisiknya yang kelihatan. Sedangkan orang yang rendah hati memiliki hati yang dari dalam dirinya memang amat terbuka dan mau terbuka serta dengan jujur dan tulus membuka dirinya terhadap orang lain.

Maka sikap dan prilaku yang ideal mesti datang dari dalam, lalu mewujud nyata ke luar dalam relasi dan komunikasi yang kelihatan dengan orang lain. Itu berarti ada kesatuan antara niat hati dan ‘performans’ atau penampilan luar. Ada kesatuan antara kata dan perbuatan. Ada kesatuan antara tujuan atau orientasi dengan realisasi atau pelaksanaan. Dan, ada kesatuan antara visi dan misi. Dalam rumusan negatif, tidak ada ‘gap’ atau jurang antara niat dan tampilan, antara kata dan perbuatan, antara pikiran dan perasaan, antara tujuan dan realisasi, antara harapan dan kenyataan, antara keinginan dan kehendak serta antara visi dan misi. Tidak ada ‘olesan bedak’ atau ‘asesoris’ untuk menutup noda dalam diri. Tidak ada ‘tutupan ninja’ untuk menyembunyikan fakta alami dalam diri. Juga, tidak ada topeng untuk menyembunyikan kepalsuan dan pemalsuan diri dan identitas pribadi. Semuanya spontan, terbuka dan apa adanya.

Dalam bingkai pemahaman ini, orang yang rendah hati sadar dan yakin betul bahwa dirinya bukanlah apa-apa dan bukan juga siapa-siapa. Meskipun di mata orang lain dia adalah orang yang hebat, ‘capable’ atau mampu, namun semua penilaian dari luar tidak menjadi kualitas yang membuat dia sombong dan angkuh. Tetapi semua penilaian yang hebat dari luar tetap membuat dia sendiri sadar bahwa dirinya tetap “kosong” untuk selalu menerima masukan dari luar atau untuk selalu diisi dengan hal-hal baru, informasi baru atau pengetahuan baru tentang apa saja dan dari siapa saja. Orang yang rendah hati tidak merasa dirinya sudah self-suffient atau ‘sudah cukup’ atau ‘sudah penuh’ dengan dirinya. Ia selalu lapar dan haus akan kebenaran tentang realitas hidup apa saja yang terjadi di dunia ini. ia selalu mencari dan mencari kebenaran dalam hidup.

Sikap dan perilaku seperti ini tidak hanya terjadi dalam relasi dan komunikasi dengan sesama, tetapi terutama dalam relasi dan komunikasi dengan Tuhan. Bila kita rendah hati di hadapan Tuhan, Tuhan “mengasihani” kita. Ia tidak membiarkan kita berjalan sendirian tanpa tumpuan atau pegangan, tetapi Ia memegang kita dengan ‘tangan-Nya yang kuat’. Apabila kira rendah hati, kita boleh ‘menyerahkan segala kekuatiran’ kepada-Nya, dan Ia akan ‘memelihara’ kita. Dengan cara itulah Tuhan meninggikan kita.

Inilah isi atau makna dari nasihat Rasul Petrus: “Rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya pada waktunya kamu ditinggikan oleh-Nya” (1Ptr 5: 6).

Orang yang rendah hati dan merendahkan diri di hadapan Tuhan akan diangkat oleh Tuhan sendiri ke tempat yang tinggi pada mutu kehidupan yang luhur dan mulia atau pada muatan isi dan makna hidup yang berkenan kepada Tuhan dan sesama. Apabila kita sudah berada di tangan Tuhan, kita akan tetap menjadi orang yang berkenan, meskipun orang lain masih saja tetap meremehkan dan merendahkan kita dalam bentuk sikap dan perlakuan terhadap kita.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV