Antara Kebimbangan, Kepastian dan Iman

Bunda
Pater Kons Beo, SVD (Dokumen Pribadi)

(merenung Rasul Thomas, si Didimus)
Injil Yohanes 20:24 – 29

“Dalam mencari kepastian, pikiran harus meragukan segala sesuatu. Orang harus skeptis, curiga, dan tidak percaya (begitu saja)” <What is the point of Being Christian – 2005>

P. Kons Beo, SVD

infopertama.com – Yang digencarkan hari-hari ini adalah fakta-fakta. Otoritas kebenaran, katanya, segera jadi kiblat sekiranya ada pembuktian. Satu tesis atau argumentum yang dikonstruksi tak boleh dibiarkan bolong bagai kerangka kosong. Tanpa isi.  Itu tak boleh. Sebab itulah bukti-bukti mesti diparadekan. Jelas dan tegas.

Orang beberkan bukti-bukti, dengan data-data empirik dan kronologis.  Di muaranya, ada harapan bahwa akan tiba pada pengakuan. Tak akan ada lagi ‘debat kusir’ untuk gugurkan argumentum yang telah dikaroseri itu.

Tapi juga tak boleh sebatas bukti ‘mentah.’ Dibutuhkan pula narasi persuasif. Dan di situlah akal sehat mulai bermain cantik. Sebab ujung-ujungnya mesti bermuara pada pengakuan akan kebenaran. Sebab pengakuan akan kebenaran itu modal tebal dan telak untuk ‘diterima’ sebagai kemenangan. Tetapi, apakah semuanya bakal berjalan semudah itu?

Kita hidup dalam masyarakat yang, katanya, “yang terkoyak oleh prasangka dan kecurigaan.” Artinya, orang tak mudah percaya begitu saja. Sepertinya orang tak miliki kemampuan optimal untuk berserahdiri pada ‘kata-kata dan bukti.’ Iya, pada segala yang telah dibeberkan sebagai ‘kupas tuntas.’

Dan bagi para pengikut Kristus?

Iman Kristen menuntun dunia untuk berjalan dalam kebenaran dan menuju Muasal Kebenaran itu sendiri. Ini adalah ziarah iman yang sungguh menantang. Satu catatan menarik ingatkan: Untuk berjalan dalam koridor kebenaran “sumbangsih Kristen, haruslah bukan sekadar cermat menggunakan kata-kata,  tetapi juga berkenaan dengan pemahaman khusus atas makna kata-kata itu.”

Keyakinan di dalam kata-kata itu sendiri , dan ketepatannya dalam menggunakannya secara berwibawa dapat membawa kepada apa yang dapat disebut sudah layak dan sepantasnya untuk diyakini! Setiap kita berjuang agar dapat dipercaya. Dan bahwa segala ungkapan hati dan isi kepala kita sekian mudah ‘diterima dan diakui.’ Bukan sebaliknya ditabrak dan dimentahkan dengan segala aksi prasangka penuh pesimistik.

Dunia, iya di masa kini, sekali lagi, tengah dirayapi dengan segala prasangka dan curiga. Orang tak mudah begitu saja percaya apa yang dikatakan oleh ahli ini atau ahli itu. Orang tetap curiga pada pihak keamanan, pada penguasa dan birokrasi hakim dan pengadilan. Dunia tak begitu saja terkesima dan taat buta pada lembaga agama serta para ulama atau pun pemangku lembaga agama. Sebabnya?

Kepakaran justru dipakai untuk menggelabui. Status dan kedudukan diperalat justru untuk ‘membenarkan diri, amankan serta memperkuat posisi.’ Yang bersuara tentang keadilan, perdamaian dan kebenaran, ternyata justru menjadi aktor utama yang mengaburkan tesis yang berkeadilan, damai dan kebenaran itu sendiri di dalam kenyataannya. Tetapi, harus kah kita menyerah pasif dalam kibaran bendera kebenaran, nilai dan etika?

“Melampaui prasangka” tetaplah menjadi harapan. Kebenaran nilai-nilai tak akan pernah sirna hanya adanya terpaan curiga dan prasangka. Iman dan keyakinan akan nilai tidaklah gugur hanya karena adanya caci maki, kata-kata hinaan dan sumpah serapah. “Bukan berarti dipastikan tak ada matahari hanya karena awan hitam lagi menghalangi atau pun karena lagi turun hujan disertai petir menyambar dan gemuruh guntur menggelegar. Matahari nilai dan rembulan etika itu tetaplah eksis!

Ada di dalam nilai, serta berjalan di bawah payung nilai, bagi Gereja, tetaplah menjadi dasar dan kekuatan hidup. Yang tak bisa dibatalkan oleh kuasa manapun yang mengejeknya dan meludahinya atau pun berseberangan dengan keyakinannya.

Mari kita berjalan bersama Rasul Thomas dalam ziarah imannya di dalam Paskah Tuhan….

Ada tafsiran ‘kasar rubu-raba sekadarnya.’ Di kisah Injil Yohanes 20:24-29 itu, Thomas, si Didimus itu, tak sedang meragukan kebangkitan Tuhan. Yang disangsikannya  adalah “layak kah sobat-sobatnya yang lain itu (rekan-rekan murid) mewartakan kepadanya: Kami telah melihat Tuhan?” Sementara di jalan derita hingga kematian Tuhan, semua murid telah terpencar dalam jalan amannya sendiri? “layak kah rekan-rekan murid itu berkisah tentang melihat Tuhan, sementara semuanya dalam kekerdilan hati penuh ketakutan?”

Sebab itulah, Thomas, sepertinya, harus melewati prasangkanya atas berita dari para rekannya, untuk langsung berserah pada Yesus, Tuhan dan Guru. Thomas mesti ‘melihat bekas paku, dan menaruh jarinya ke dalam bekas paku itu, dan menaruh tangannya ke dalam lambungNya…”

Dan pada titiknya, ada harapan akan nilai dari segala prasangka dan kesangsian yang berujung pada ‘kehadiran Tuhan meneguhkannya.’ “Ya Tuhanku dan Allahku” adalah kepasrahan iman.

Sekian banyak orang menjarakkan dirinya sendiri dari ‘kebenaran, etika dan nilai’ di dalam jarak aman dan kenyamanan ego-nya sendiri. Namun, itu pun bagian yang acapkali tak terelakkan dalam mencari kebenaran. Barangkali saja ungkapan Bernard William, filsuf Inggris itu, ada benarnya, “Ada suatu komitmen yang intens pada pencaharian kebenaran, atau pada tingkat tertentu, suatu kecurigaan yang menetap, kesediaan untuk keliru, suatu kemauan untuk menembus tampilan menuju struktur dan motif sebenarnya yang ada di balik tampilan itu….”

Tetapi, mari menjaring Rasul Thomas, si Didimus itu, dalam pukat iman dan harapan. Ingin berjumpa dengan Tuhan penuh kerinduan, dalam doa dan terutama Ekaristi, itulah jalan mistik kita untuk menggapai dan menjamah Tuhan.

Dan puncaknya, kita ‘jatuh dalam keberserahan iman: “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28).

Verbo Dei Amorem Spiranti
Centro Ad Gentes SVD – Nemi, Italia

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV