(sekadar satu umpan lambung)
“Tidak seorangpun punya hak untuk merendahkan Anda. Kecuali memang Anda sendirilah yang mengijinkannya”
(Eleanor Roosevelt- Ibu Negara Amerika Serikat)
Kons Beo, SVD
Tak luput dari inter-aksi sosial
Di keseharian, selalu saja ada individu yang punya kecenderungan untuk menyelinap masuk dalam diri sesama. Ia masuk dalam kisah-kisah dan pengalaman hidup orang lain. Bahkan, ia pun telah berinvasi ke dalam karakter diri atau kepribadian sesamanya itu. Karena itulah, tentang seseorang tertentu, misalnya, individu itu bakal dengan enteng bilang, “Saya kenal baik dia, mereka, atau orang-orang itu.” Iya, sudahlah….
Efek inter-aksi sosial adalah saling kenal yang tak terhindarkan. Toh, ada bersama atau perjumpaan antara individu itu adalah peristiwa human-social yang normal. Tidak kah ada keyakinan bahwa ‘manusia tak mungkin teribarat bagai sebuah pulau isolatif, yang sepi menyendiri?’
Kesalingan yang positif
Jelas, individu itu bertumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Dalam kisah interaksi’ itu. Terdapat apa yang disebut efek kesalingan yang positif dan konstruktif di balik ‘social encountering’ itu. Dari perjumpaan itu individu dapat saling belajar. Tidak hanya demi pencapaian-pencapaian obyektif dan praktis seperti berkembangnya bakat dan kemampuan. Tetapi juga bahwa individu masing-masing dapat bertumbuh dalam kualitas kepribadiannya. Maka?
Perjumpaan itu bisa membawa individu kepada rasa percaya diri. Pun bisa bertumbuh dalam penghayatan nilai-nilai hidup: kasih, kebaikan, sukacita, keadilan, kebenaran, belahrasa (rasa solider), saling menerima apa adanya, rasa kekeluargaan, dan seterusnya…
‘Saling kenal atau tahu baik’ sebagai efek dari interaksi sosial itu menuntun kepada apa yang disebut ‘kedaulatan pribadi’ dari yang dikenal itu. Terhadap seseorang yang dikenal baik, individu telah tiba pada alam diam dan penuh pemahamannya.
Akibat rasa diri tahu banyak dan kenal baik
Dalam keseharian, tentang seseorang yang masih tak dalam atau tipis-tipis dikenal, sekian banyak narasi diuarkan tentang orang itu. Sebab, lebih banyak diobralkan atau diboroskan pikiran, analisa, imajinasi atau interpretasi tentang orang itu. Kita sering ‘nyaring bunyi’ tentang orang itu sebagai tanda bahwa sebenarnya kita ‘tak dalam tentangnya.’ Mungkin saja kita keberatan dengan isi pernyataan ini! Ambil saja satu kisah praktis lainnya.
Sekiranya kita ‘rame-rame berbocor halus’ tentang seseorang betapa sebenarnya kita butuh banyak waktu untuk duduk berkumpul dan bersama. Saling mendukung dan bersepakat ide mengenai orang itu dalam dinamika ‘tambal sulam’ atau saja bahwa kita larut dalam arus deras ‘saling membenarkan yang menyesatkan.’
Bagaimana pun, dalam perjumpaan antar individu yang personal, tetap mesti ditatap dengan bijak dan semestinya apa yang kita sebut sebagai ‘kedaulatan pribadi’ itu. Siapa pun kita, di dalam kepribadian dan ekspresi dirinya, tentu miliki sisi ‘light and shadow’ (terang dan bayangnya).
Titik-titik kelebihan dan bocoran kekurangan
Setiap individu miliki alur hidup yang lebih, pun terdapat pula kurangnya. Atau ada kisah-kisah heroik pun terdapat cerita titik zero bahkan minusnya. Itulah bagian dari kisah diri yang indah serentak yang tak hebatnya. Namun, di dalam keremangan hidup toh selalu ada harapan untuk kembali menenun benang-benang kehidupan. Menjadi peziarah yang berpengharapan. Itulah pesan kehidupan bermakna dalam dan menyejukkan.
Walau gagal, terasa kecewa dan membebankan, ditatap dalam kehampaan atau nyaris tak jelas arah, toh ada momentum di mana bahwa orang mulai berbenah dan kembali menata isi kehidupan. Bumi tak selamanya diterjang kisah-kisah banjir bandang, gempa bumi, erupsi gunung berapi, angin taufan dan tsunami. Bumi, sediakalanya, baik adanya, ketika “angin, gunung dan ngarai bagai konser simfoni.” Yang sejukkan sukma.
Teror Gaslighting
Bagaimana pun, di saat menata isi dan jalan pikiran, ketika penuh perjuangan ciptakan kesunyian dan kedamaian dalam batin personal, seorang individu bisa dibenturkan dengan geliat gaslighting. Diktum psikologi rumuskan, itulah kenyataan dari “manipulasi psikologis yang dibuat seseorang agar korban meragukan dan menyalahkan dirinya sendiri.”
Perilaku gastlighting itu digencarkan oleh seseorang yang merasa berhak atas ‘kontrol hidup orang lain.’ Ia memakai pengetahuan atau pengenalannya akan sesama untuk berperan dominan yang tiran. Ia gencar mengkritik, mempersalahkan, merendahkan, berkomentar lepas yang menikam dengan suka-sukanya. Dan lagi, perilaku gastlighting bakal terus membantah. Ia berakal bulus nan manipulatif agar si korban kehilangan kepercayaan diri.
Perilaku gastlighting nampak dalam teror sikap dan penilaian bahwa orang lain tak berkembang dan tak miliki keunikan yang positif. Teror gastlighting jauh dari apresiasi sewajarnya. Tak ada rasa kekaguman yang lahir dari lubuk hati dan jiwanya.
Sebab, virus gastlighting telah penjarakannya untuk wajib, itu tadi, dalam hanya mengkritik, berkomentar yang merendahkan dengan sinisme yang tebal dan bahkan sakarstiknya. Si gastlighting-er merasa bahwa ia telah ‘tahu, kenal, sudah masuk dalam dunia sesama yang disasarnya.’
Manipulatif dan controlling
Namun, ini semuanya hanya sebatas tindak manipulatif untuk ‘mengontrol dan menguasai targetnya.’ Konkritnya, ia seolah-olah bersolider, misalnya, namun sebenarnya ia hanya bermanipulasi demi menyasar korban di titik lain. Iya, demi timbulkan satu rasa bersalah dan kurang nyaman dari yang disasar itu.
Dalam rana keseharian, kisah-kisah gastlighting(er) dapat terjadi kapan dan di mana saja! Dalam kebersamaan, dalam perjumpaan dan dalam relasi! ‘Saat Anda dibuat tak PD, selalu rasa bersalah, tak nyaman, rasa direndahkan dan bingung, putus asa..dan seterusnya. Ini semua akibat permainan oknum yang manipulatif itu. Maka, berhati-hatilah!
Karena itulah…
Councelling, misalnya, menuntun agar seseorang sebaiknya ‘tentukan batasan-batasan yang jelas dan tepat dalam komunikasi.’ Katanya, “Anda mesti bersikap tegas (melawan) sekiranya dramatisasi penuh bohong mulai diuarkan demi menyasarmu sebagai orang yang dikuasai.” Dan diingatkan pula “Di hadapan orang-orang tertentu (si gastlight-er) itu, Anda tak akan pernah benar, dan akan terus dibuat tak nyaman.”
Bagaimana pun, di kefanaan ini, selalu saja bahwa irama hati dan suasana batin itu memang mesti juga teruji. Dalam iman, Rasul Petrus nasihatkan untuk ‘senantiasa berjaga-jaga dan berwaspada, sebab alam diabolik, si pelawanmu itu rajin bikin ronda demi mencari mangsanya. Siapa pun mesti teguh dalam iman’ (cf 1Ptr 5:8).
Akhirnya…
Tetapi sekiranya kita ‘aktif dan terlibat’ dalam perilaku gastlighting, tentu butuh perjuangan besar untuk melepaskannya. Memandang sesama dalam kacamata positif dan penuh harapan sepantasnya jadi motivasi unggul dalam relasi dan kebersamaan.
Adalah benar bahwa ada setiap orang punya sisi kurang dan tak hebatnya! Namun, tentu tak dibenarkan untuk kibarkan bendera manipulatif kita dengan memakai tiang kelemahan atau kekurangan sesama. Santo Thomas Aquino tentu benar! Pikirannya sekiranya ditangkap demikian, “Dalam rahmat dan rencana Tuhan, setiap orang selalu dalam proses menjadi dan terus menjadi! Untuk tak boleh dilihat hanya di sini dan cuma di saat-saat sekarang ini.”
Tidak kah semua kita adalah musafir-musafir penuh pengharapan?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel