infopertama.com – Di tengah pesatnya pertumbuhan pariwisata Labuan Bajo dan meningkatnya kebutuhan pangan, ironisnya sebagian besar sayuran di Manggarai masih didatangkan dari luar daerah. Padahal, di Wari Keo, Bajawa, sekelompok petani telah lama membuktikan bahwa keterbatasan alam bukan alasan untuk tidak menjadikan pertanian sebagai bisnis yang menghidupi.
Kesadaran inilah yang ingin dipelajari tujuh petani muda dari Komunitas Agribisnis Muda Lako Cama saat menempuh perjalanan sekitar empat jam dari Ruteng menuju Wari Keo, Selasa, 16 Desember 2025. Langit mendung, hujan lebat, kabut tebal, dan suhu dingin sekitar 18 derajat Celsius mengiringi perjalanan tersebut. Kondisi itu bukan sekadar tantangan fisik, tetapi juga metafora bahwa agribisnis, seperti hidup, jarang dimulai dalam situasi ideal.
Kunjungan belajar ini difasilitasi oleh Proyek Kerja Sama AYO Indonesia bersama MissioProkur SVD Steihausen, Swiss. Kegiatan ini dirancang bukan hanya untuk mempelajari teknik budidaya sayuran, tetapi untuk menggugat alasan-alasan klasik yang kerap digunakan petani di Manggarai—keterbatasan air, musim hujan, dan cuaca—sebagai pembenaran untuk tidak menanam secara serius.
Bertani Tanpa Menunggu Kondisi Ideal
Di Wari Keo, para peserta bertemu Getris, petani sayuran asal Beamuring, Manggarai Timur. Selama 13 tahun terakhir, bersama suaminya, ia mengelola sekitar setengah hektar lahan sebagai sumber utama ekonomi keluarga. Prinsipnya sederhana namun tegas: tanah harus menghasilkan.
Keputusan menekuni agribisnis sayuran diambil dengan pertimbangan rasional. Lahan tersedia, pasar terbuka, dan jaringan pemasaran dengan pedagang sayur di Wari Keo telah terbangun. Manggarai dan Labuan Bajo menjadi tujuan utama penjualan, wilayah dengan kebutuhan sayuran yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pariwisata.
Getris bukan satu-satunya contoh. Di Wari Keo, peserta juga menjumpai petani berusia 70-an tahun yang masih produktif bekerja di kebun. Fakta ini menegaskan bahwa usia bukan penghalang utama dalam bertani. Produktivitas ditentukan oleh kemauan, disiplin, dan konsistensi.
Angka yang Bicara
Venan, salah satu peserta lejong belajar, mencatat perbedaan mencolok antara Wari Keo dan banyak kampung di Manggarai. Petani di sini menanam hingga tiga kali setahun dan tidak terlalu menggantungkan diri pada musim.
“Setiap hari orang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar salah satu petani setempat.
Pada lahan Getris seluas sekitar setengah hektar, sekali tanam kol terdapat sekitar 2.000–3.000 pohon. Dalam setahun, produksi dapat mencapai sekitar 9.000 buah kol dengan nilai sekitar 80-an juta rupiah. Pendapatan tersebut belum termasuk hasil dari wortel dan petsai yang juga ditanam dalam satu lahan. Struktur tanah vulkanis membuat kualitas sayuran baik dengan penggunaan pupuk kimia yang relatif rendah.
Air sebagai Risiko Usaha
Soal air—alasan yang paling sering dikemukakan petani di Manggarai—petani Wari Keo memilih bersikap realistis. Dalam satu musim tanam, ketika masih ada hari hujan, mereka membeli air sekitar empat kali. Satu fiber berisi 5.000 liter seharga Rp130.000, sehingga total biaya air sekitar Rp520.000 per musim tanam. Biaya ini dipandang sebagai bagian dari perhitungan usaha, bukan beban yang melumpuhkan.
Getris mengakui bahwa pada musim kemarau biaya air jauh lebih besar. “Kalau musim kering, tentu biaya air naik. Bisa lebih sering beli dan lebih mahal,” ujarnya. Namun hal itu tidak membuatnya berhenti menanam. “Kalau kita berhenti karena takut biaya, justru kita tidak punya apa-apa. Air mahal itu risiko usaha, sama seperti harga turun atau hama,” tambahnya.
Bahkan di musim hujan dengan suhu dingin dan kabut tebal, petani Wari Keo tetap menanam sayuran daun. Risiko penyakit dan gagal panen disadari, tetapi peluang harga yang lebih baik membuat mereka tetap melangkah.
Konsistensi di Tengah Tantangan Pasar
Selain Getris, peserta juga berdialog dengan Petrus, petani yang mengelola lahan sekitar 0,5 hektar sebagai sumber utama penghidupan keluarganya. Ia terbuka tentang tantangan fluktuasi harga dan pembeli yang tidak selalu menepati komitmen.
Namun bagi Petrus, tantangan tersebut bukan alasan untuk berhenti. Ia memilih menjaga relasi dengan pembeli besar yang menyalurkan sayuran ke berbagai pasar di Flores. Baginya, kepercayaan dibangun lewat konsistensi: tetap menanam, tetap memenuhi pesanan, dan tetap hadir meski kondisi tidak selalu menguntungkan.
Pasar Besar yang Belum Digarap
Kisah Wari Keo menjadi kontras dengan kondisi agribisnis Manggarai secara umum. Sejumlah media daring menunjukkan bahwa lemahnya pertanian sayuran bukan disebabkan ketiadaan pasar, melainkan belum berkembangnya mentalitas kewirausahaan petani.
Victory News Manggarai Barat (20 Mei 2022) melaporkan bahwa sebagian besar sayuran di pasar-pasar Labuan Bajo masih didatangkan dari Denpasar, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Ngada. Arsenius Juniagu, pedagang Pasar Puni, kepada Floresa (10 Juni 2024) menyebut pasokan sayur lokal “masih sangat terbatas”.
Ketergantungan ini juga terjadi pada sektor pariwisata. Kepala BRIDA Manggarai Barat, Tarsisius Gonza, menegaskan bahwa hotel dan restoran di Labuan Bajo masih bergantung pada pasokan hortikultura dari luar daerah (Labuan Bajo News, 11 Juli 2024).
Dari sisi akademik, peneliti Undana Kupang, Damianus Adar, menyatakan bahwa petani Manggarai “belum berorientasi bisnis” dan belum memiliki minat menjadi pengusaha hortikultura (Labuan Bajo News, 14 Juli 2024). Bahkan untuk sayuran bergizi, menurut Siti Zaini, pedagang Pasar Batu Cermin, pasokan masih harus didatangkan dari NTB dan Makassar (Victory News, 24 Oktober 2022).
Paradoksnya jelas: pasar besar tersedia dan terus tumbuh, tetapi peluang belum sepenuhnya ditangkap oleh petani lokal.
Menanam Cara Pandang Baru
Apa yang ditunjukkan petani Wari Keo sejalan dengan pandangan banyak ahli. Psikolog Angela Duckworth menyebut keberhasilan jangka panjang ditentukan oleh grit—kegigihan dan komitmen jangka panjang. Peter Drucker menegaskan bahwa bisnis bukan tentang menghindari risiko, melainkan mengelola ketidakpastian. Prof. Bungaran Saragih juga menekankan pentingnya transformasi petani menjadi petani wirausaha.
Menurut Diffusion of Innovation Theory dari Everett Rogers, perubahan akan lebih cepat terjadi jika petani belajar langsung dari figur teladan. Dalam konteks ini, praktik lejong atau studi banding yang difasilitasi Yayasan AYO Indonesia menjadi sarana penting mempercepat perubahan cara pandang dan pengetahuan.
Rikhardus, Manajer Program Yayasan AYO Indonesia, menegaskan bahwa keterbatasan air, musim hujan, bahkan usia bukan penghalang utama. “Yang menentukan adalah mental kewirausahaan dan keberanian menjadikan pertanian sebagai bisnis,” ujarnya.
Nendik dan Venan pulang dari Wari Keo dengan keyakinan baru: pasar tersedia, teladan nyata sudah ada, dan alasan untuk tidak menanam semakin kehilangan dasar.
Di tengah hujan, kabut, dan dingin Wari Keo, mereka belajar satu hal penting—ketangguhan bukan sekadar teori, melainkan praktik hidup yang terus ditanam, dirawat, dan dipanen dari hari ke hari.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel




