Cepat, Lugas dan Berimbang

Hendaklah Manusia Sadar Diri

Sadar diri
Ilustrasi (Devianart)

PEKAN V PASKAH
Senin, 16 Mei 2022
Bacaan: Kisah Para Rasul 14: 5-18; Yohanes 14: 21-26

Manusia biasanya merasa bangga ketika ia berhasil melakukan suatu pekerjaan yang besar. Merasa bangga itu pantas dan wajar, tetapi janganlah sampai sombong dan angkuh. Mengapa? Merasa bangga itu masih amat positif, tetapi merasa sombong dan menjadi angkuh itu negatif.

Merasa bangga menunjukkan bahwa manusia dapat melakukan apa saja yang baik dan berguna. Tetapi merasa sombong dan menjadi angkuh memperlihatkan sikap dan perilaku manusia yang merasa diri paling hebat, paling super dan dengan itu mudah dan cepat meremehkan dan merendahkan orang lan.

Dalam kebanggaan orang menyadari bahwa segala berkat dan karunia dari Allah tidak sia-sia, tetapi berguna dan berbuah dalam kehidupan dan bagi kehidupan. Sedangkan dalam kesombongan orang tidak mengakui dan tidak menerima kerberhasilan sebagai berkat dan kasih karunia Tuhan, melainkan sebagai bukti kehebatan manusia sendiri dalam hidup.

Bacaan I hari ini sedikit banyak menggambarkan sikap dan prilaku manusia yang bisa saja menjadi bangga, tetapi bisa juga menjadi sombong dan angkuh. Sesudah meninggalkan Ikonium karena ancaman penyiksaan dari orang-orang yang tidak mengenal Allah dan orang-orang Yahudi bersama-sama dengan pemimpin-pemimpin mereka, Paulus dan Barnabas, “menyingkir” menuju “kota-kota Likaonia, yaitu Listra dan Derbe dan daerah sekitarnya. Di situ mereka memberitakan Injil” (Kis 14: 5-6).

Sanjungan Terhadap Paulus dan Barnabas

Di Listra, Paulus melakukan mukjizat penyembuhan atas seorang yang kakinya lumpuh sejak lahirnya dan belum pernah dapat berjalan. Ia duduk mendengarkan, ketika Paulus berbicara. Paulus menatap dia, dan melihat bahwa ia beriman dan dapat disembuhkan. Lalu kata Paulus dengan suara nyaring: ‘Berdirilah tegak di atas kakimu!’ Dan orang itu melonjak berdiri, lalu berjalan kian ke mari.” Melihat peristiwa mukjizat itu, orang banyak berseru-seru gembira dan sukacita. ‘Barnabas mereka sebut Zeus dan Paulus mereka sebut Hermes, karena Paulus yang berbicara. Maka datanglah imam dewa Zeus … membawa lembu-lembu jantan dan karangan-karangan bunga ke pintu gerbang kota untuk mempersembahkan korban bersama-sama dengan orang banyak kepada rasul-rasul itu.

Mendengar itu, Barnabas dan Paulus mengoyakkan pakaian mereka, lalu terjun ke tengah-tengah orang banyak itu sambil berseru: ‘Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini adalah manusia biasa sama seperti kamu! Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya… Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan.’ Walaupun rasul-rasul itu berkata demikian, namun hampir-hampir tidak dapat mereka mencegah orang banyak mempersembahkan kurban kepada mereka” (Kis 14: 8-10.12-18).

Dalam kisah suci ini, Paulus dan Barnabas adalah rasul-rasul Tuhan yang mendapat karunia istimewa untuk membuat mukjizat penyembuhan atas seorang yang lumpuh. Justru karena itu orang banyak menganggap mereka sebagai “dewa-dewa (yang) telah turun ke tengah (dunia) dalam rupa manusia” (Kis 14: 11). Lebih jauh, mereka disembah dan orang banyak membawa korban persembahan ‘lembu-lembu jantan dan karangan-karangan bunga’ kepada mereka.

Belajar Sadar Diri Seperti Paulus dan Barnabas

Menghadapi semua peristiwa itu, bisa saja Paulus dan Barnabas tidak sadar diri atau lupa daratan. Mereka bisa merasa amat bangga dan senang, gembira dan sukacita. Bahkan mereka bisa menjadi amat sombong dan angkuh. Akan tetapi nyatanya, mereka tetap sadar diri siapa mereka sebenarnya. Maka dengan tegas mereka berkata bahwa mereka bukan ‘dewa dan bukan ‘tuhan’ atau ‘Allah’. Tetapi mereka tetap ‘manusia biasa sama’ seperti semua orang lain. Mereka hanya menerima tugas perutusan dari Tuhan ‘untuk memberitakan Injil’ kepada orang lain di mana saja di belahan bumi ini.

Berdasarkan pengalaman Paulus dan Barnabas ini, kita tidak harus memiliki karunia luarbiasa sekaliber Paulus dan Barnabas untuk melakukan mukjizat. Meskipun demikian, tetap kita mesti bersyukur bila Tuhan memberi karunia istimewa kepada kita atau siapa saja seperti halnya kepada Paulus dan Barnabas. Apabila kita mendapat karunia istimewa dari Tuhan dalam bentuk kapasitas dan kemampuan serta bakat dan talenta apa saja, jangan kita pernah tidak sadar atau lupa diri.

Sesuai dengan kapasitas dan kemampuan serta sesuai dengan bakat dan talenta yang Tuhan berikan, kita memang harus bekerja maksimal agar kita sukses dan berhasil. Apabila kita sukses dan berhasil, bisa saja seperti Paulus dan Barnabas kita menjadi ‘serbuan’ pujian dan hormat, sanjungan dan simpati dari banyak orang. Bisa juga secara berlebihan ada orang-orang yang ‘menyembah’ kita karena kehebatan dan keistimewaan yang ada pada kita.

Menjadi Rendah Hati, Jujur dan Tulus

Semua bentuk ‘serbuan’ pujian dan hormat, sanjungan dan simpati, apalagi serbuan ‘sikap sembah atau penyembahan’ dari orang lain terhadap kita tidak boleh membuat kita terlena dan lupa diri. Kita harus tetap rendah hati, jujur dan tulus pada diri kita. Kita harus tetap sadar diri bahwa kita adalah manusia, dan bukan ‘dewa atau tuhan.’ Dengan demikian kita boleh merasa bangga dengan kesuksesan dan keberhasilan kita, tetapi kita tidak boleh menjadi sombong pada diri sendiri dan tidak boleh pongah dan angkuh di hadapan Tuhan dan di depan orang lain. Kita harus tetap yakin dan percaya bahwa kapasitas dan kemampuan kita, bakat dan talenta kita tetap merupakan karunia Tuhan bagi kita. Oleh karena berkat dan karunia Tuhan, kita dapat bekerja dan mengelola setiap bakat dan talenta pemberian Tuhan hingga sukses dan berhasil.

Dalam setiap keberhasilan dan kesuksesan apa saja, haruslah selalu kita ingat, kita renungkan dan kita hayati sabda Tuhan ini: “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Tuhan hadir dalam diri kita. Ia juga bekerja dalam hidup kita, sehingga kita boleh sukses dan berhasil dalam setiap perjuangan dan pergumulan kita dalam hidup. Sebaliknya tanpa kehadiran dan keterlibatan Tuhan, kita ‘tidak dapat berbuat apa-apa.’ Inilah dasar kerendahan hati, kejujuran dan ketulusan kita dalam relasi dan komunikasi dengan Tuhan dan dengan orang lain di dunia ini. Marilah kita berdoa memohon perantaraan Bunda Maria agar kita tetap rendah hati, jujur dan tulus dalam hidup ini.

Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel