Oleh: Gordy Jenaru*
Mengawali tulisan ini, saya kenalin dulu apa itu Trikotomi. Trikotomi yaitu ajaran yang mengatakan bahwa diri manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: roh, jiwa dan tubuh. Roh memiliki kuasa, bisa baik dan bisa juga jahat. Roh tersebut bekerja di dalam hati manusia dan dapat terlihat dari cerminan hati manusia.
Nah, terkait Trikotomi Realitas sosial berarti terkait tiga hal yang sering manusia hadapi dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam kehidupan sosialnya. Namun, kita akan khususkan pada pembahasan tiga kelompok usia yakni remaja, pemuda dan orang tua.
Sehari sebelum pulang ke rumah kita senantiasa bertanya dalam diri tentang hal apa yang sudah kita perjuangkan dalam sehari. Tentu masing-masing kita mengusung beragam hal untuk menentukan bobot apa yang paling menonjol dalam diri. Terutama setelah melewati satu hari yang akan kembali ditelan perut bumi.
Di batas perjumpaan terang dan gelap itu setiap orang mengevaluasi dan perdebatkan setiap capaiannya. Perdebatan itu lazim muncul dalam komunitas yang bernama keluarga, juga komunitas kecil lain yang sering menyematkan diri sebagai agent of change. Inti dari semua perdebatan itu bahwa kita meski saling peduli. Tujuannya amat sederhana tercipta perubahan seperti mimpi para agent.
Trikotomi Rasa
Di sela perdebatan yang muncul itu masing-masing kelompok usia juga tentu akan mengusung problem kehidupan yang berbeda. Seperti perdebatan 3 generasi berikut yang hidup dalam satu rumpun keluarga.
“Saya adalah kelompok usia yang sudah menikah. Sekarang berusia 40 tahun dan punya anak tiga. Dalam sehari saya harus mengejar satu point penting. Saya tentu tidak hanya bicara soal diri saya, tapi juga istri dan anak-anak. Maka satu hal yang ingin saya penuhi adalah memenuhi kebutuhan istri dan anak. Baik secara psikis maupun materi. Begitu Marten membagikan pengalamanya dalam sehari saat bersama duduk di beranda senja.”
Bagi Pepen, Marten adalah generasi ayah yang perlu kita pertahankan keberadaannya. Mengapa meski demikian, toh banyak ayah zaman now yang hidup hanya untuk penuhi kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan kedudukannya di dunia. Bahkan ada yang sampai melakukan tindakan kekerasan kepada anak, istri ataupun sebaliknya, bahkan sampai pada kasus pembunuhan. Hal-hal seperti ini setiap hari pasti selalu ada. Setiap hari juga kita selalu mendapatkan suguhan pemberitaan seperti itu di beranda media. Buset, dunia makin kacau saja. Childfree aja deh, jika ngerasa hidup beranak itu ngerepotin banget.
Tapi sepertinya..
Setiap masa ada rasa yang tak nyaman.
Dan, Setiap status ada rasa yang tak nyaman.
Setiap pilihan ada rasa yang tak nyaman.
Sepertinya hidup memang bukan untuk dibuat nyaman.
Sepertinya hidup adalah sebuah perkara yang tak pernah berakhir.
Tantangan Memperkuat Optimisme
Seperti halnya perkara akal seorang pemuda yang berusia 28 tahun. Usia yang menurut masyarakat setempat perlu mewanti-wanti. Sebab kalau kelewatan akan expire masanya untuk menikah. Meski dalam catatan setiap insan pemuda, ada benih pikiran yang perlu diperbaiki bahkan direparasi jika memang ada kesalahan dalam diri. So, kita bukan tipe pemikir fixed mindset.
“Sebagai generasi yang masih lajang katanya bahwa ingin menjalani banyak hal. Tanpa banyak tekanan, tapi perlu ada persiapan. Masa muda baginya sebuah jalan menemui jati diri. Masa yang penuh optimis meski dilindas banyak tantangan. Tapi tantangan baginya sebuah jalan perkuat optimisime. Sebagai generasi yang masih berdiri sendiri tentu mendengar begitu banyak masukan. Ada yang baik pun yang buruk. So, kita terima saja. Ini adalah masa reparasi. Di beberapa kesempatan beberapa kerabat pernah bilang bahwa menikahlah lebih cepat. Tanpa harus menunggu matangnya usia. Hidup itu soal kita mengais rejeki. Jika memang ingin mendapat banyak rejeki menikahlah sebab sebagian rejekimu masih tersimpan di calon tulang rusukmu. Pretensi banget. Hidup memang terlalu banyak alasan yang tak masuk akal. Walllaaahhh… pusing dehh, belum hidup berkeluarga mikirnya udah pada ribet. Apakah childfree aja?” begitu Pepen melewati dan mengakhiri beragam perkara dalam komunitas kecilnya.
Namun menurut Brayen, pemikiran kedua kelompok usia ini cukup ribet. Brayen adalah kelompok usia remaja 16 tahun. Hidupnya cukup santai berdasarkan pengamatan para agent. Para agent mengelompokan mereka sebagai generasi yang tak berdasar. Hidup apa adanya tanpa memikirkan lebih dalam apa yang ia jalani.
“Saya sih enjoy aja. Toh kita masih ada bapak juga mama yang masih setia mendampingi kita. Pokoknya hidup dan nikmati saja apa yang ada. Generasi di depan kita juga dulu seperti kita. Siklus kehidupan kita tak ada yang berubah.” Begitu Brayen melakukan pembelaan terhadap setiap tingkahnya.
Masa Reparasi
Bagi Marten kelompok usia remaja ini meski didampingi dengan kuat. Kalau mau pohon kita berbuah manis, baiknya kita menanamkan hal yang baik untuk mereka. Tantangan terbesar di era ini adalah soal keterlibatan penuh orang tua dalam mendampingi kelompok remaja ini. Yang walaupun dalam setiap watku kita selalu menitipkan satu pesan harapan. Bahwasannya di pundak mereka sejuta harapan keluarga, masyarakat dan negara diberi.
Remaja kita hari ini pun cendrung berjalan sendiri dalam menjalani hidupnya. Meski kita tau bahwa tantangan besar yang remaja hadapi hari ini adalah perkembangan media dan teknologi yang cukup pesat. Persebaran informasi tanpa batas, membuat mereka terombang-ambing di tengah persebaran informasi di berbagai laman media sosial. Ada juga gelombang persoalan yang meskinya harus dijaga. Persebaran budaya asing yang melangkah begitu pesat. Namun tak diimbangi dengan pemahaman budaya lokal sebagai media penyaring. Sungguh bahwa Indonesia kaya akan budaya. Dan mayoritas karakter masyarakat kita terbentuk dengan beragam budaya yang ada tersebut. Sekali lagi itu lebih beradab. Yahh, walau dibilang konservatif. Tapi untuk perkuat medan pertempuran kita dalam menghadapi zaman sebaran budaya bebas, kita perlu perdalami budaya lokal.
Ayah, ibu, sahabat dan para agent lainnya meski harus bergandeng untuk saling mendidik. Marten, Pepen, dan Brayen adalah sekelompok manusia yang dipisah dalam tiga kelompok berdasarkan status sosial. Kita tidak bisa lepaskan mereka sendiri dalam menjalani kisah hidupnya. Saya dan kita sekalian adalah generasi yang perlu saling mendukung. Demi terciptanya bobot dominan dari setiap petualangan para trikotomi ini.
*Penulis merupakan anak muda dari salah satu kampung di Manggarai Barat. Kini, beliau bekerja pada salah satu LSM yang konsen pada isu perlindungan hak anak di Manggarai Barat. Selain itu juga sebagai penanggung jawab rubrik Puisi dan Sastra pada infopertama.com
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â