Berita  

Tenunlah Rasa dan Citra Kekeluargaan dengan Benang-Benang Kasih Sayang

Memeluk Diri
Pater Kons Beo, SVD (ist)

(sekadar satu perenungan)

“Saudara dan saudari itulah variasi bunga-bunga indah yang berbeda. Namun sesungguhnya semuanya hidup dan bermekaran di satu taman…”
(sang bijak).

P. Kons Beo, SVD

Seberkas cahaya dari Kisah adik – Kakak: Yakub dan Esau

Khilaf. Suasana hatinya yang remuk, itulah yang disadari Yakub. Dia telah jadi orang asing dalam pelarian tanpa kepastian. Merebut berkat kesulungan penuh prank terhadap Ishak, ayahnya, telah membekaskan rasa bersalah. Esau, sang kakak, sungguh tersakiti dan terluka. Iya, semuanya karena kelicikan Yakub yang dimediasi oleh Ribka, sang Ibu, yang lebih mengasihinya.

Namun, harus tetap selamanya kah Yakub tersekap dalam penjara rasa bersalahnya? Dan karena itu ia mesti menjauh seterusnya dari Esau, kakaknya? Tidak! Aksi pulang kembali ke sang Kakak mesti dirancang. Rasa bersalah dan terus rasa bersalah sepantasnya segera disudahi! Sebab itulah rekonsiliasi segera ditata dalam kesadaran penuh kerka batin.

Kitab Kejadian 33 punya judul “Yakub berbaik kembali dengan Esau”. Pertemuan Esau dan adiknya, Yakub, terlukis dramatis namun penuh makna.

Renungkanlah:“Tetapi Esau berlari mendapatkan Yakub, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangislah mereka” (Kejadian 33:4).

Yakub telah lewati rasa bersalah dan rasa takutnya dengan kekuatan hati untuk berserah maaf penuh tulus di hadapan Esau. Itu semua karena bangkitnya satu tindakan. Pulang kembali pada sang Kakak, Esau. Tak hanya sekedar merasa bersalah! Sekedar merasa memang tak pernah cukup.

Ilham dari Yusuf anak Yakub dan Rahel

Di kisah sebaliknya, renungkan penuh dalam kekuatan hati Yusuf, anak Yakub dari rahim Rahel, demi satu aksi rekonsiliasi. Yusuf tegar hati dan berjiwa besar untuk lepaskan ‘yang sudah-sudah.’ Iya, Yusuf berhasil lewati kisah pahit itu. Bahwa ia memang pernah dijebloskan di sumur kering. Dan bahwa ia lalu mesti dijual dan dijauhkan dari kebersamaan adik- kakak. Yusuf harus jadi hamba yang terjual menuju tanah asing di Mesir (Kejadian 37).

Dan Yusuf pun mesti lewati rasa pahit di hati. Yusuf, sebagai manusia, tentu ditantang untuk lewati tawaran suram untuk membalas saudara-saudaranya. Bagaimanapun, Yusuf pun berhasil lampaui semua rasa hati nan kelam untuk menuntut balas. “Akulah Yusuf, saudaramu. Masih hidup kah Bapa?” (Kej 45:3). Itulah pernyataan dan pertanyaan mulia. Untuk tetap menyatakan bahwa selamanya, dan dalam situasi berat apapun, semua tetaplah bersaudara. Kekurangan, kelemahan, serta keterbatasan cita rasa tak boleh menjadi ancaman dan alasan untuk cerai berpisah sebagai saudara.

Yusuf, pada gilirannya, tak sekedar larut datar dalam rasa iba pada saudara-saudaranya. Tetapi ada kekuatan hati penuh pengampunan yang mesti ia nyatakan dalam kata-kata. Saat ia harus memperkenalkan diri bagi saudara-saudaranya itu: “Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir” (Kejadian 45:4). Iya, ‘yang dijual dan diasingkan, tetaplah memandang semuanya sebagai saudara.’

Tak pernah lelah Sang Ayah itu menanti…. Hingga saat anaknya kembali

Mari susuri dan dalami pula perumpamaan agung Anak Yang Hilang dalam Injil Lukas (Luk 15:11-32). Segala khilaf dan salah si anak hilang itu akhirnya tak hanya sekadar tertahan pada rasa bersalah penuh sesal. Tetapi bahwa semuanya mesti dipatrikan dalam tindak dan ungkapan kata.

Penuh sadar si anak hilang itu mesti ‘bangkit dan pulang kepada bapanya, dalam kelengkapan sesal ‘aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa. Dan selayaknya tak perlu lagi disebut anak bapa. Dan biarlah aku terhenti sebagai seorang upahan’ (Lukas 15:18-19).

Lihatlah! Kebesaran hati sang ayah tak yang pernah surut dan pudar sedikitpun. ‘Anak tetaplah anak dalam Kasih penuh sabar sepanjang penantian penuh kerinduan.’ Seorang ayah tetap memperlakukan yang terbaik buat anak-anaknya. Sepertinya, anak yang hilang itu kembali hanya sebatas membawa pulang ‘benang harapan dan jarum kerinduan.’ Dan sang ayahnyalah yang kembali mulai menjahit ‘lembaran kehidupannya yang baru.’ Semuanya tanpa syarat.

Semuanya ini, tidak hanya karena rasa bersalah dan terus merasa bersalah! Tetapi bahwa anak hilang itu berani putuskan untuk kembali pulang pada pangkuan Kasih ayahnya.

Dan untuk kita?

Mari susuri jalan hati kita. Sesedikit dan sekecil apapun, setiap kita miliki hati penuh persahabatan. Kita rindukan kekariban dan kemesrahan batin di dalam dan dengan sesama kita. Mempertautkan hati kita dengan sesama adalah panggilan kepada persahabatan itu sendiri. Kita selalu merindukan kekitaan kita dalam titik-titik kebersamaan. Walau dalam sekian banyak nuansa perbedaannya.

Dan, alam dan gerak persahabatan yang benar itu mengajarkan siapapun kita untuk “bisa menerima perbedaan.” Seorang individu teramat kaya dalam ungkapan dirinya, dalam latar belakangnya, dalam karakter dan bawa dirinya. Dan, kita berjuang untuk meraih kekayaan individu itu. Memeluknya dalam spirit ‘kekitaan.’

Namun ternyata…..?

Tak selamanya kita indah, sejuk serta elok dalam sikap dan kata terhadap sesama. Bisa terjadi, kita lagi dilindas-lindas oleh variasi nafsu yang egosentrik. Nafsu ‘kemurnian’ memaksa kita untuk enyahkan yang dianggap haram nan kafirun; nafsu ‘kesalehan’ bikin kita rasa tak nyaman berdekatan dengan yang dianggap nista; nafsu ‘kebenaran’ menekan kita untuk mencecar dan mendepak yang ternilai lemah, sesat dan tak berarah hidup.

Dalam persahabatan penuh kekeluargaan, kita seyogyanya lepaskan cahaya kegemerlapan diri sendiri. Untuk berani singkirkan segala kemuliaan diri yang memikat, namun sebenarnya ‘mematikan.’ Kumpulan laron terbang menari diseputar kemegahan bola lampu bernyala. Namun, sebenarnya sesaat saja semuanya bakal mati merana tiada bersayap lagi.

Memintal kembali tali persahabatan dan rasa kekeluargaan, dimulai tidaklah hanya sebatas merasa bersalah. Lebih dari semuanya, kisah merajut kembali kasih berawal dari hati yang merindu, mencari dan kembali pulang pada alam kebersamaan.

Itulah yang dilakukan oleh Yakub. Saat ia merindui dan ingin kembali pulang pada Esau, saudaranya. Si bungsu, anak yang hilang itu, rindukan kembali suasana rumah dan orangtuanya. Tetapi, ingatlah Yusuf yang lepaskan segala ‘kebesaran dan kebenarannya’ untuk justru menjumpai saudara-saudaranya kembali. Lepaskan segala aura penghakiman dan nafsu untuk membalas!
Mari merenung lanjut….

Bahasa yang tercemar…

Tetapi dunia kini sungguh menjadi alam yang cemar. Dunia telah jadi rusak oleh daya kata yang tak beretika. Hanya satu kata penuh cemar terucap mulai berawal lah rusak susu sebelanga dalam kekariban, persaudaraan dan rasa kekeluargaan.

Orang-orang mulai saling mendepak dan mengasingkan, saling melukai dan ‘membunuh’ melalui peluru-peluru kata.

Adalah tugas dan bahkan panggilan kita untuk menata ulang kata-kata beracun yang berhamburan sana-sini. Yang menyasar terutama pada yang bukan termasuk ‘kategoriku dan kami.’

Simaklah arahan bijak demi merangkul kembali semua yang berantakan oleh kata, kalimat dan bahasa yang sungguh mencemarkan:

‘Pokok persoalannya bukanlah bagaimana mempunyai perasaan bersahabat yang menyenangkan berkenaan dengan seluruh umat manusia. Melainkan untuk belajar mengucapkan bahasa yang memurnikan kembali segala sesuatu yang bertentangan dengan persahabatan: pencemaran, penghinaan, kekerasan.”

YESUS: Bahasa Baru yang sungguh nyata

Dalam iman Kristiani, “Kristuslah, Sabda yang menjadi manusia, adalah bahasa persahabatan Allah yang perlu kita pelajari pengucapanNya.”

Yesus, Sabda Hidup, menarik sekian banyak orang untuk masuk dalam pengucapan bahasa baru yang bercitra. Yang berbeda dari bahasa lama yang ‘menghardik dan mencela.’ Tidak kah dalam Kotbah di bukit, penuh wibawa Ia berucap: “Dahulu telah dikatakan kepadamu, tetapi KINI AKU BERKATA kepadamu….”

Tak sebatas kata-kata! Tidak kah Yesus adalah Gembala yang Baik dan Mulia untuk mencari, memanggil dan menemukan kembali yang hilang, yang terluka dan diasingkan?

Untuk kita, setidaknya, mari menata kembali cara kita berbahasa tentang sesama, tentang dia dan mereka, tentang orang-orang yang distigma dan didogma sebagai musuh, tentang semua yang dianggap ‘bukan kita, iya bukan punya kita.’

Hanya dengan itulah, setidaknya, kita sanggup menenun Rasa dan Citra Kekeluargaan dengan Benang-Benang Kasih Sayang…

Yakinlah!

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV