Tentang Alamat dan Tempat Tinggal (pulang kepada alamat hidup seharusnya)

SK Penlok

-sekadar satu catatan tercecer-

“Rumah adalah tempat cerita dan panggilan hidup kita berawal….”
(Sang Bijak)

P. Kons Beo, SVD

Akhirnya terasa bahwa kesangsian itu lmakin menebal. Ragu dan curiga tak terbendung. Itulah arus rasa bebas hambatan yang menderas menuju siapapun. Ini bahkan sudah jadi ciri masyarakat zaman kini. Demi menuju kebenaran, maka mesti dirakit jembatan keraguan, kesangsian dan kecurigaan.

Kata dan sikap bertabrakan dalam diri. Visi dan misi jauh panggang dari api kenyataan. Masyarakat tak ingin lagi jadi obyek dari perilaku dan siasat penuh ngeprank. Diperdayai dalam muslihat yang kreatif. Sebab itulah, suara protes segera gemuruh membahana.

Bukan kisah usang bahwa figur publik disorot tajam. Yang bertitel dan berkedudukan ditatap penuh teliti dan sedeteilnya. Publik memang punya harapan banyak pada ketokoan seorang figur. Di atas pundak sang tokoh itulah telah diletakkan selaksa ekspetasi. Dan itu semua mesti dibayar serius dalam citra diri dan pengembanan tanggungjawab dari sang tokoh! Dan itu butuh perjuangan, dan sikap penuh kerendahan hati untuk terus belajar.

Bagaimanapun impian dan harapan indah sering jadi kocar-kacir. Satu nota serius ingatkan, “Para ahli agama sering dilihat sebagai orang yang nampaknya saleh, namun kelakuannya dipertanyakan. Apapun alasan kecurigaan ini, memang faktanya pemimpin agama suka tidak mempratekkan apa yang diajarkannya.” Di sini kita jadi tertegun dalam rasa personal. Pun dalam atmosfer kolektif.

Yesus dari Nazaret luapkan kecaman keras untuk kelompok ulama dan kaum hipokrit. DibandingkanNya geliat hidup kaum agamawan dan elit sosial itu seumpama makam “Yang tampak putih dan bersih di bagian luarannya, namun di bagian dalamnya penuh tulang belulang dan perbagai jenis kotoran” (cf Mat 23:27).

Mari merenung lanjut….

Insan beriman, secara pribadi atau kolektif, bisa saja diarahkan oleh pemuka agama kepada nikmat surgawi eskatonik. Iya, yang dialami di masa yang akan datang itu. Namun, mirisnya, kepentingan dan keuntungan duniawi itulah, justru yang kini dan di sini, direguk oleh pemuka agama atau tepatnya sebenarnya disebut sebagai ‘pebisnis agama.’ Sensus religiosus telah diisap dan diserap oleh gairah hedonistik yang tak terkendali.

Lalu, apa sebenarnya yang sepantasnya ditatap dalam bola mata ‘kontemplatif?’

Kata-kata perenungan Henri Nouwen sungguh terdengar menukik serentak menggugat. Tulisnya, “Kebanyakan dari kita memiliki alamat tapi tidak dapat ditemukan di sana.” Dalam kisah-kisah sederhana itu terlihat menyata. Kita bisa saja ‘didisiplinkan’ dalam aturan dan program. Itulah ‘alamat keseharian kita.’ Sayangnya, betapa sulit dan jarangnya ‘kita ditemukan di sana.’

Kebanyakan “alamat-alamat itu tergambar dan berlogo penuh harapan.” Namun akan kah semuanya terjumpakan di sana? Centra layanan keamanan bisa saja justru menjadi sumber kerisauan dan keonaran. Forum keadilan dan perdamaian tak selamanya jadi ‘tempat tinggal’ untuk sebuah rasa keadilan dan alam sejuk di hati.

Dalam sebuah ‘locus religiosus, yang mengikat’ tak jarang betapa sulitnya memintal benang-benang kasih sayang demi suasana penuh harmoni. Sebab bukanlah alamat bersama yang mesti nyata, tetapi ‘tempat tinggal sendirilah’ yang digencarkan!

Siapapun sebenarnya bisa hanya melihat ‘dengan ekor mata’ apa yang menjadi ‘alamat bersama.’ ‘Alamat bersama itu’ bisa saja tertulis besar-besar sebagai visi, misi, komitmen, regulasi, pedoman dan arah. Namun, apa kah keseluruhan diri ini dijumpakan di sana? Sebab, tenggelam dalam irama serta larut dalam aneka keasyikan sendiri bisa menjadi tantangan yang menghadang.

Di zaman yang makin sumpek dengan segala asyik dan sibuknya ini kiranya ‘perjalanan pulang ke alamat yang seharusnya’ jadi pertarungan yang menantang. Apa yang dicari dan diraih, misalnya, dalam jenjang akademik, karier, jabatan, kedudukan, profesi dan serba capaian terasa memang ‘bukanlah jadi alamat tempat seharusnya kita berada.’

Menanjak dalam karier, jabatan dan posisi bisa menjadi tanda keberhasilan, tetapi bukan kah semisal ‘panggilan menjadi orangtua bagi keluarga, bagi anak-anak’ sering alami kesulitan tersendiri? Demikian pun seorang hamba Tuhan, pun bisa menanjak dalam karier, keahlian, pun dalam berbagai ketenaran (popularitas). Namun ia bisa kehilangan ‘alamat’ untuk setia berelasi dengan Tuhan yang memanggil dan bersua penuh kasih dengan umat Allah dalam pelayanan penuh bakti.

Pikiran Nouwen sebenarnya tegaskan bahwa kita memang miliki alamat. Idealnya bahwa kita terjumpakan di alamat itu. Dan terlebih bahwa kita sungguh ‘mengalami alamat itu.’ Alamat itu tentu tak sebatas tempat di mana seluruh diri kita berada. “Alamat” itu adalah juga satu suasana dan alam kebersamaan. Dan, “Alamat” itu adalah segala ‘cara berada yang mesti dinyatakan.’

Iya, “alamat” itu adalah kiblat diri yang ungkapkan fokus dan pemberian diri pada tempatnya. Namun, tampaknya sekian sering “salah alamat” itu terjadi. Dan, lebih dari itu, sayangnya, ciptakan “banyak alamat” sering melahirkan kebingungan dan keruwetan dalam hidup. Dan di sini, setiap kita dipanggil bersama Yesus, Tuhan dan Guru, untuk kembali ke “alamat kita yang seharusnya!”

Saat Tuhan ditanya, “Guru, di manakah Engkau tinggal?” Dan Tuhan pun menjawab, “Mari dan kamu akan melihatnya” (Yoh 1:38-39). Guru dan Tuhan memang tak punya satu alamat tempat yang pasti. Sebab Ia sendiri ‘tak punya tempat untuk letakan kepalaNya. Yesus tak semujur serigala yang punya liang atau burung yang miliki sarang’ (cf Mat 8:20).

“Alamat” Yesus adalah kelompok manusia yang buta, timpang, tuli, lumpuh, yang dikuasai roh-roh jahat. “Alamat” Yesus adalah kumpulan orang yang didera berbagai penyakit, yang miskin, lapar dan haus. Dan sungguh Yesus dapat ditemukan ‘ada dan tinggal di alamatNya itu.’

“Alamat” Yesus di zaman kini ada dalam situasi hidup manusia dan dunia yang dilanda tekanan hidup, ketidakadilan, berbagai ragam kekerasan, sikap intoleran hingga kerusakan alam dan lingkungan. “Alamat dan tempat tinggal Yesus” adalah dunia yang terluka.

Ke “alamat” itulah, iya di dunia yang terluka itulah, kita – para murid Yesus – Gereja dipanggil untuk ‘berdiam dan tunjukan citra misioner yang bermakna solider.’

Amat disayangkan, sekiranya Gereja, kita-kita ini tak dijumpai di ‘dunia yang terluka itu.’ Ini semua karena kita tetap keasyikan dalam ciptakan zona-zona nyaman. Pun karena kita tetap bersibukria hanya pada interese dan kepentingan diri sendiri serta kelompok.

Mari kita kembali lagi pada sentakan kata-kata Nouwen, “Kebanyakan dari kita memiliki alamat, tapi tidak ditemukan di sana……”

Kita memang mesti pulang ke ‘alamat kita dan hendak kembali berdiam di situ.’ Itu mungkin juga seperti ‘masuk kembali ke citra diri sendiri..’ Dan untuk semuanya kita tetap miliki harapan……..

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV