PEKAN IV PASKAH
Selasa, 10 Mei 2022
Bacaan: Kisah Para Rasul 11: 19-26; Yohanes 10: 22-30
Bila kita berbicara secara publik di depan banyak orang, pembicaraan kita tidak hanya fokus terarah kepada orang tertentu. Tetapi juga dapat dinikmati oleh orang-orang lain. Suara kita dapat ditangkap dan didengar oleh orang lain yang berada di luar tujuan kita. Kurang lebih sama seperti pengumuman atau bunyi musik hiburan di tempat publik seperti di stasiun kereta api atau di bandara atau di rumah sakit atau di mol-mol atau di bus-bus antara kota atau antara propinsi. Meskipun fokus pengumuman atau musik itu hanya terarah kepada sejumlah orang tertentu. Akan tetapi pengumuman dan bunyi musik itu pasti ditangkap dan dinikmati oleh siapa saja yang kebetulan berada di situ atau berjalan lewat di tempat itu.
Keadaan seperti ini dapat kita temukan di dalam bacaan I hari ini. Penganiayaan terhadap Stefanus di kota Yerusalem membuat para pengikut Kristus ‘tersebar’ di mana-mana. Mereka lari dan menyebar sampai ke “Fenisia, Siprus dan Antiokhia”. Meskipun mereka berada dalam ketakutan dan pelarian, “namun mereka memberitakan Injil kepada orang-orang Yahudi saja. Akan tetapi di antara mereka ada beberapa orang Siprus dan orang Kirene yang tiba di Antiokhia, dan berbicara juga kepada orang-orang Yunani; mereka ini memberitakan Injil, bahwa Yesus adalah Tuhan. Tangan Tuhan menyertai mereka dan sejumlah besar orang menjadi percaya, dan berbalik kepada Tuhan. Perkembangan jumlah orang yang percaya ini terdengar sampai di Yerusalem, sehingga jemaat di Yerusalem mengutus Barnabas ke Antiokhia. Setelah Barnabas datang dan melihat kasih karunia Allah pada mereka, bersukacitalah ia. Ia menasihati mereka, supaya mereka tetap setia kepada Tuhan” (Kis 11: 19-20). Dari kisah suci ini, ada dua pikiran yang berguna bagi kita.
Kesetiaan Mewartakan Tuhan
Penganiayaan atau penyiksaan dan sejenisnya merupakan pengalaman pahit yang tidak diinginkan oleh siapa saja. Meskipun penganiayaan dan penyiksaan yang sebenarnya tidak terjadi atau belum terjadi dalam hidup kita. Namun wajah dari penganiyaan dan penyiksaan itu bisa muncul dalam bentuk kekerasan, tantangan dan kesulitan, persoalan dan masalah, halangan dan rintangan apa saja di dunia ini. Bila wajah dari penganiayaan dan penyiksaan itu muncul dalam hidup kita, kita tidak boleh meninggalkan pewartaan tentang Injil. Karena Injil adalah berita gembira dan kabar sukacita dari Tuhan bagi manusia.
Berita gembira dan kabar sukacita Injil memang tidak langsung mengatasi dan menyelesaikan persoalan dan masalah manusia dalam hidup. Akan tetapi berita gembira dan kabar sukacita Injil Tuhan selalu menjadi kebutuhan dasar manusia justru pada saat manusia mengalami kesumpekan dan kepenatan karena persolan dan masalah dalam hidup. Berita gembira dan kabar sukacita Injil adalah ibarat ‘oase’ atau mata air di tengah padang gurun dunia yang kering, tandus dan layu. Kekerasan dan masalah, kesulitan dan persoalan, halangan dan rintangan apa saja membuat hidup kita kering, tandus dan layu.
Dalam kondisi demikian, sabda Tuhan, kabar gembira dan berita sukacita Injil menjadi sebuah ‘siraman embun sejuk’ di pagi hari. Sabda Tuhan senantiasa membawa hati dan jiwa kita ke ‘padang rumput hijau, ke air yang tenang dan ke jalan yang benar” (Mzm 23: 2-3). Sabda Tuhan selalu memberikan harapan, kekuatan dan peneguhan, kelegaan dan kelepasan dalam hidup. Sebab itu bila kita berada dalam penindasan dan penganiayaan atau berada dalam pelarian untuk mencari pembebasan dan kemerdekaan, pewartaan kabar gembira dan berita sukacita Injil dari Tuhan selalu mesti menyertai hidup kita. Dengan demikian, bukan saja kita sendiri tetap kuat dan tabah, tetapi juga orang-orang lain di sekitar kita dapat ikut menikmati pengalaman kegembiraan dan sukacita yang kita alami dalam hidup.
Saling Bersukacita
Sesudah tiba di Antiokhia, Barnabas “melihat kasih karunia Allah” dalam diri jemaat di sana. Kasih karunia Allah itu hidup dan berkembang dalam diri mereka. Melihat keadaan jemaat itu, ‘bersukacitalah’ Barnabas. Ia lalu ‘menasihati mereka, supaya mereka tetap setia kepada Tuhan” (Kis 11: 23).
Seperti jemaat di Antiokhia, hendaklah kita hidup dalam “kasih karunia Allah.“ Kasih karunia Allah tidak hanya diberikan kepada jemaat di Antiokhia pada zaman dahulu, tetapi juga diberikan kepada kita saat ini dan di sini.
Kasih karunia Allah tidak bersifat terbatas atau membatasi diri kepada orang tertentu, kelompok tertentu atau suku bangsa tertentu. Kasih karunia Allah sebaliknya dicurahkan dan dianugerahkan kepada semua orang, termasuk kita.
Tuhan “tidak mencari muka” (Mat 22: 16). Kasih karunia Tuhan tidak pilih muka. Atau Tuhan tidak pilih kasih, tetapi semua orang menjadi sasaran dan tujuan kasih-Nya. Dari setiap orang dan setiap kita hanya diperlukan hati dan budi yang terbuka untuk menerima Tuhan dalam dalam hidup kita. Kita juga perlu ‘tetap setia kepada Tuhan’. Apa pun tantangan dan kesulitan, persoalan dan masalah, kita harus tetap setia kepada Tuhan, setia mendengarkan sabda-Nya dan bimbingan-Nya serta setia berdoa kepada-Nya.
Dengan demikian orang lain akan bergembira dan bersukacita melihat dan menyaksikan hidup kita. Seperti halnya Barnabas ‘bersukacita’ melihat dan meyaksikan kehidupan jemaat di Antiokhia. Barnabas belum pernah mengenal dan mengetahui jemaat di Antiokhia. Tetapi begitu dia bertemu dan melihat hidup mereka, dia langsung ‘bersukacita.’
Kesaksian hidup yang penuh ‘kasih karunia Allah adalah sumber kegembiraan dan sukacita untuk siapa saja yang bertemu dan berjumpa dengan kita. “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri” (Ams 15: 13). Maka penuhilah hati kita dengan kasih karunia Allah, agar muka atau wajah kita berseri-seri atau bersinar-sinar atau bercahaya di hadapan orang lain. Melalui kesaksian hidup seperti itu, orang lain akan bergembira dan bersuka cita melihat kita, bertemu dan berbicara dengan kita, bergaul dan berkomunikasi dengan kita.
Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel