(sekadar memori yang terpecah bersama Br. Wily Paat, SVD & P. Yan Djuang Tukan, SVD)
“Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi”
(Amsal 3:12).
P. Kons Beo, SVD
Di tahun 1995, setelah masuk wilayah perutusan di Provinsi SVD Ruteng, saya dan kedua teman seangkatan, Nadus Bala Ile dan Dalmas Wure, perlahan-lahan jajaki alam wilayah Provinsi SVD Ruteng. Nadus diutus ke Sumba, Dalmas ke rumah induk SVD Ruteng, dan saya sendiri ke Novisiat SVD di Kuwu.
Sejak tahun itulah ada perjuangan awal untuk mulai hafal nama dan kenal wajah para konfrater SVD Ruteng. Dan untuk saya, ini masih harus hafal lagi nama-nama seperti Yuven Adur, Frans Magung, Frans Funan dan Kobus Gosi dkk sebagai Novis angkatan pertama, dan juga nama-nama seperti Bung Agus Naru, Pice Kelyombar, Gerinus Sanda, Hendrik Midun, Rudy Jelahu, Ignas Ledot, Salvius Nong dkk sebagai Novis angkatan kedua di Kuwu (maaf, nama-nama yang lain tetap dihafal, tapi sulit untuk ditulis satu per satu di sini).
Saat goresan seadanya ini diracik, para anggota SVD Ruteng lagi siap diri demi perayaan ekaristi pemakaman dua konfrater SVD Ruteng: Br Wily Paat, SVD dan P. Yan Djuang Tukan, SVD. Memang di hari-hari belakangan ini, SVD Ruteng telah kehilangan tiga anggota maha-seniornya.
Setelah Pater Ernest Waser, SVD dimakamkan, 8 September 2023, selang tiga hari berikutnya, terbaca lagi berita duka beruntun: Br Wily wafat di hari Senin 11 Sept, pkl 02.30 di rumah sakit umum Ben Mboi Ruteng. Dan, berselang 3 jam kemudian P. Yan Djuang Tukan diumumkan wafat di Novisiat Kuwu. Iya, maut yang tak terlelakan itu, memang ‘suka-sukanya dia’ untuk menjemput siapa saja yang dikehendaki.
Saya sendiri akhirnya merasa dipaksa pulang ke Ruteng dalam ‘kontemplasi wajah dan kisah seadanya’ dari kedua sosok yang sekian familiar ini. Di tahun-tahun awal di Ruteng, saya mulai mengenal sosok Br Wily. Beliau tampak gembira ketika tahu bahwa saya berasal dari Ende. Cerita-cerita awal beliau dengan beliau iya seputar tugas perutusannya ketika di Ende.
Br Wily tambah semangat ketika tahu saya ini anak tangsi (anak kolong). Dan orangtua saya, Polisi Ande Beo, Br Wily kenal baik, dan cukup membantunya dalam urusan tertentu. Br Wily semangat untuk ingat nama-nama polisi di Ende asal Manggarai seperti Yan Baur, Rafael Tulus, Mus Taku, Frans Wiri, Josef Sari, dan terutama Bapa Sius Jaminta.
Tetap terkenang dalam hati Br Wily grup musik Fanfare di Biara St Yosef-Ende yang selalu memukau di setiap malam Natal atau pada perayaan peringatan proklamasi 17 Agustus di lapangan Perse-Ende. Dan beliau sendiri adalah salah satu personil kunci dari group musik Fanfare itu. “Waktu itu tu kau tu masih ana lo’o, masih dengan sakelake pendek to?” (bahasa Lio: kau waktu itu masih anak kecil, masih dengan celana pendek) kata Bruder Wily untuk saya.
Hari demi hari, bulan dan tahun demi tahun, sosok Bruder coba saya akrabi walau tak pernah tinggal sekomunitas dengannya. Cara bicaranya runtut, dalam alur dan irama yang pasti. Saya tahu Opa Bruder sering tampil serius. Apa yang dianggap serius, penting dan berarti pasti disampaikan dengan serius pula. Seringkali gaya dan isi bicaranya tak boleh disela begitu saja. Dia bisa bereaksi serius, dan terkesan tak suka.
Ini agak repot buat saya yang sesekali suka usil dan umpan emosi Bruder Wily. Tapi saya juga pandai merayu untuk bikin Bruder kembali tersenyum dengan segala cerita ‘aneh-aneh yang penuh karang-karang, wora banyak ala Ende.’
Bagaimanapun dengan senior, orang tua dalam Serikat, kita mesti belajar santun dan lebih banyak mengerti saja dengan keadaannya. Asal Bruder Wily bisa tersenyum, iya lumayanlah!
Dan kini, rasanya saya mesti kembali ke Kuwu. Iya, untuk mengenangkan sosok Pater Yan Djuang Tukan, konfrater senior yang amat saya banggakan, hormati dan juga saya segani. Watak dan bawaan anak tangsi yang biasanya ‘gara-gara banyak’ macamnya terasa ‘mati langkah’ buat saya di hadapan seorang Pater Yan. Dan saya yakin bahwa para novis (yang pernah) di Kuwu umumnya ada di lintasan rasa dan pengalaman yang sama akan sosok Pater Yan.
Pater Yan sungguh mencintai dunia formasi. Ruang-tempat-dan waktu para novis, calon misionaris SVD, adalah seluruh diri dan keberadaannya pula. Beliau sosok hemat bicara. Namun, dalam bicaranya yang tenang dan pelan, suara dan kata-katanya terdengar pasti dan sungguh berdaya. Apalagi ditambah dengan tatapannya yang dalam.
Siapapun yang mengenal sosok Pater Yan, pasti juga tak bisa menghindar dari kesan akan ‘kesederhanaan hidup apa adanya.’ Pater Yan tak tampil lebih apalagi sampai berkelimpahan! Spiritualitas Cukup dan ‘seperti itu sudah hidup’ bisa ditafsir saja sebagai spirit hidup yang dihayatinya. Saya tahu dan yakin, Pater Yan itu tak gelisah akan ‘makanan, pakaian atau pun hiasan’ untuk dirinya. Ia pun jauh dari kecemasan di seputar daya pikat dan daya tariknya pundi-pundi.
Tapi di atas semuanya, saya yakin, tidak karena bertugas sebagai formator (pembina novis), Pater Yan mesti ditelandani sebagai sosok ‘pencinta doa dan keheningan.’ Kekuatan dan kesetiaannya selama tiga puluh (30) tahun hanya di rumah Formasi Novisiat SVD – Kuwu tentu dipilari teguh oleh doa dan keheningan, serta pada kekuatan daya reflektif.
Walau dinilai sosok hemat kata, hening, namun tak berarti P. Yan itu nihil selera humor. Tidak! Di kamar makan komunitas Kuwu, beliau sering buang kalimat untuk saya, “Polisi-polisi sekarang ini gerak lambat sekali. Dan selalu terlambat.” Dan untuk kalimat ini biasanya Pater Frans Pora, seorang senior Komunitas segera sambung, “Polisi mo gerak cepat bagaimana? Celana dinasnnya saja sesak semua tu..”
Tak terlupakan satu kisah di suatu hari. Pater Yan masuk kamar makan sambil senyum-senyum dan bawa cerita tak terduga. Seorang Mama, yang telah lama mengabdi bersama SVD hingga ke Novisiat Kuwu, ditegur oleh Pater Yan. Mama itu sedang tekun buat kue. Pater Yan yang melihat bagaimana si Mama itu sekian tekun lihat-lihat ke buku resep, dan lalu bilang, “Hei, kau ini sudah lama bikin kue, masih saja lihat-lihat buku resep. Tidak bisa hafal juga kah?” Ternyata si mama itu juga seakan tak mau kalah begitu saja, dan langsung jawab, “Ae, pater juga sama saja. Sudah berapa lama bikin misa, pater tetap juga masih lihat buku misa terus…” Jawaban si mama inilah yang bikin Pater Yan tersenyum-senyum.
Br Wilhelmus (Wilibrord), SVD berasal dari Manggarai, Keuskupan Ruteng. Ia dilahirkan tahun 1942, masuk Novisiat SVD tahun 1961, Ikrarkan Kaul Pertama tahun 1963 dan Kaul Kekal pada tahun 1969. Dan Pater Yan Djuang Tukan, SVD berasal dari Waibalun, Keuskupan Larantuka; dilahirkan pada tahun 1942, masuk Novisiat SVD tahun 1963, ikrarkan Kaul Pertama tahun 1965, dan Kaul Kekal pada tahun 1970. Pater Yan Djuang Tukan, SVD ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1971.
Puji syukur dan terimakasih atas rahmat Tuhan yang tak berhingga atas panggilan hidup religius-misioner yang Tuhan percayakan bagi kedua hambaNya ini. Opa Bruder Wily dan Opa Pater Yan, dengan cara yang unik telah jadi saksi iman-harapan dan kasih dari “Verbum caro factum est,” Sabda yang telah menjadi daging dan diam di tengah-tengah kita manusia.
“Opa Wily dan Opa Yan, selamat memasuki kemah surgawi abadi setelah kemah kehidupan di bumi ini dibongkar! (cf 2Kor 5:1)
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel