Bilamana Anda menyembunyikan kehendak Anda dari orang lain, namanya mental baja.
Bilamana Anda memaksakan kehendak Anda terhadap orang lain, namanya pantang menyerah.
Oleh Edi Danggur★
infopertama.com – Para politisi biasanya mengimani credo bos mafia Michael Corleone dalam Film Godfather III: “Kekuasaan sejati tidak bisa didapat melalui pemberian, tetapi harus direbut”. Cara dan langkah boleh berbeda, tetapi tujuan para politisi tetap sama yaitu merebut kekuasaan.
Peluang untuk mendapat kekuasaan yang direbut, entah jabatan bupati atau walikota, gubernur, maupun presiden, biasanya sangat kecil. Maka kompetisi atau persaingan untuk merebut kekuasaan itu sulit dihindari.
Secara empirik, persaingan tidak sekedar ketat tetapi cenderung kasar. Para politisi ibarat kodok, jika mereka hendak ke atas, maka mereka harus injak yang di bawahnya sebagai tumpuan. Jika hendak berenang ke depan, dua kaki depan berusaha menghalau teman di samping kanan dan kiri.
Pengalaman banyak politisi di berbagai tempat, dari waktu ke waktu, tetap sama, yaitu hanya politisi dengan mental baja pantang menyerah saja yang biasanya tampil sebagai pemenang.
Apa dimaksudkan dengan mental baja pantang menyerah? Bagaimana mental baja pantang mnyerah itu dipraktekkan dalam politik kontemporer? Apa yang memotivasi para politik menerapkan mental baja pantang menyerah?
Chin Ning Chu dalam buku Thick Face, Black Heart, mengatakan: “Mental Baja berarti politisi harus mampu menyembunyikan kehendaknya dari orang lain, sedangkan Pantang Menyerah berarti politisi harus mampu memaksakan kehendaknya terhadap orang lain”.
Mental Baja
Dalam perspektif politik, sifat mental baja pantang menyerah harus ada dalam diri seorang politisi. Dengan menerapkan mental baja, seorang politisi akan berusaha menyembunyikan kendaknya dari orang lain.
Maka tidak ada politisi yang begitu ceroboh mengumbar kehendaknya ke ruang publik. Apa yang hendak ia lakukan untuk menaklukkan bahkan menghancurkan lawan-lawan politiknya. Pasti ia akan sembunyikan kehendaknya itu rapat-rapat.
Wartawan boleh bertanya tentang ambisinya dan bagaimana ia berusaha meraih ambisinya itu. Tetapi, jangan kaget kalau para politisi cenderung menjawab berputar-putar, samar-samar, tidak bicara lugas, tidak bicara apa adanya.
Jika ruang publik diibaratkan dengan pintu depan maka di pintu depan ia tetap harus bisa menyembunyikan kehendaknya. Bahkan demi menyembunyikan kehendaknya itu, politisi tega berbohong dan melakukan tipu daya.
Di mata politisi, setiap kali bibir mereka bergerak, bohong dan tipu daya adalah sah. Dalam konteks itu mereka tidak patut disalahkan, apalagi dianggap tidak bermoral.
Yang salah adalah kita warga masyarakat biasa yang percaya pada kebohongan dan tipu daya mereka, yang memercayai begitu saja pernyataan mereka seolah-olah benar.
Oleh karena itu setiap pernyataan politisi di ruang publik tidak bisa dibaca lurus-lurus. Bahkan harus dibaca sebaliknya. Kalau ia mengatakan ya, bisa jadi maksudnya adalah tidak. Demikian pula sebaliknya.
Jika pimpinan tertinggi di suatu negara atau daerah ditanya, apakah Anda mempunyai kehendak untuk melakukan praktek nepostime dalam rangka membangun dinasti politik? Pasti tidak mungkin dia akan langsung memberi konfirmasi kehendaknya untuk melakukan praktek politik busuk yang nepotis itu.
Bisa saja kehendaknya itu ia sembunyikan dengan mengatakan hal-hal sebaliknya. Misalnya, mana mungkin saya majukan anak saya untuk jadi gubernur atau bupati atau walikota.
Bisa ia beralasan, anakku masih belum cukup umur, belum akil balik, atau belum dewasa. Ibarat bayi merah, tidak mungkin langsung disuruh jadi pemimpin.
Tetapi jangan kaget, kalau secara diam-diam di ruang gelap si politisi mewujudkan kehendaknya untuk mengubah aturan. Misalnya batas terendah usia dewasa diturunkan agar anaknya bisa memenuhi syarat ikut kompetisi merebut jabatan politik.
Di sini si politisi mampu menyembunyikan kehendaknya. Tetapi ia berhasil mewujudkan kehendaknya itu tanpa bisa dideteksi oleh orang lain.
Pantang Menyerah
Bagaimana perilaku politisi yang pantang menyerah itu diwujudkan? Di mata para politisi, kekejaman harus dilakukan sedemikian rupa secara efektif semata-mata demi tercapainya tujuan. Sekalipun kekejaman itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan moralitas.
Persis seperti dikatakan Lao Tzu, dalam buku Tao Te Ching, seorang politisi harus berani tinggalkan kebaikan, berani lepaskan kebijaksanaan. Tidak ada kasih sayang, tidak ada moralitas. Sebab hanya dengan begitu, politisi akan menarik manfaat seribu kali.
Politisi yang sedang memegang kekuasaan, tidak akan segan-segan mempraktekkan “politik rebus kodok”. Kodok dimasukkan ke dalam panci yang sebelumnya sudah diisi dengan air dingin.
Kodok dimasukkan ke dalam panci dan dibiarkan berenang kesana-kemari dengan gembira. Sebab si kodok merasa masih sama seperti habitatnya sendiri.
Ternyata secara diam-diam, api di bawah panci dinyalakan tanpa diketahui si kodok. Perlahan tetapi pasti, air mulai hangat, panas dan mendidih sampai 100 derajat celsius. Tidak ada peluang lagi bagi kodok itu untuk melompat keluar dari panci. Kodok itu pun mati dalam kekejaman si politisi pemilik panci.
Demikian juga dalam praktek politik kontemporer. Politisi sekoalisi di pemerintahan, atau bahkan teman separtai pun bisa jadi lawan, yang harus disingkirkan atau dimatikan karier politiknya.
Tidak jarang pula, lawan politik disandera. Lalu si politisi diberi pilihan yang sangat dilematis. Mengikuti seluruh kehendak si pemegang kekuasaan, atau menghadapi proses hukum yang pasti tidak adil, untuk kemudian dijebloskan ke penjara.
Di mata politisi yang pantang menyerah, berlaku adagium: Tidak ada kawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan. Mereka rela mengorbankan apa saja, asal kehendak atau kepentingan mereka terwujud.
Kecerdikan atau akal bulus didewakan, cinta kasih pada sesama dikorbankan. Sembah bakti pada orangtua pun dapat ditiadakan jika hal itu dapat menghalangi pencapaian tujuan.
Bagi politisi bermental baja pantang menyerah, mereka tidak menghargai proses. Mereka hanya mementingkan hasil akhir, dimana mereka tampil sebagai pemenang. Apapun caranya dan berapapun biayanya.
Mereka menentang nasehat kaum bijak, bahwa tujuan yang baik hanya dapat dicapai melalui cara-cara yang baik pula.
Bahkan, mereka sangat alergi kalau kaum moralis bersabda bahwa tidak pernah ada tujuan yang baik jika menghalalkan penggunaan cara-cara yang bertentangan dengan moral. Sekalipun apa yang dikatakan kaum bijak itu secara substantif sungguh benar.
Sebab tujuan berpolitik itu sejatinya untuk mencapai kebaikan umum, maka segala upaya mendapatkan kekuasaan pun seyogyanya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
Demi Citra Sukses Sebagai Pemenang
Apakah para politisi itu adalah orang yang tidak beragama? Tentu saja para politisi juga adalah orang beragama. Jika saja penggunaan nama baptis tentu tidak diragukan lagi agama bos mafia Michael Corleone dalam Film Godfather III itu.
Apalagi setiap kali para bos mafia itu melakukan aktivitas kejahatannya, mereka memulai dengan tanda salib sebagai salah satu simbol dalam agama katolik.
Dalam film itu, ia malah mempunyai bapa pengakuan dosa yang bernama Kardinal Lamberto. Setelah kematian Paus Paulus VI, Lamberto terpilih sebagai paus baru dan mengambil nama Paus Yohanes Paulus I.
Di hadapan Kardinal Lamberto, Michael Corleono mengaku: “Tuhan, dalam hidup ini saya selalu berjuang dan bertarung dengan penuh kekerasan agar selalu tampil pemenang. Memang benar terjadi, kehendakku untuk menjadi pemenang selalu terwujud”.
Lanjutnya: “Tetapi, semakin aku jadi pemenang di berbagai pertarungan, jalan yang saya lalui penuh lekak-lekuk. Tuhan, kapan semua ini akan berakhir?”
Pengakuan dosa si bos mafia ini menunjukkan bahwa mereka tetap mengakui sebagai orang beragama. Bahkan sadar bahwa semua kejahatan yang mereka lakukan bertentangan dengan ajaran agama mereka.
Tetapi, mengapa mereka tega menerapkan mental baja pantang menyerah dalam berpolitik? Semua itu mereka lakukan demi citra sukses sebagai pemenang. Sebab sejarah dunia kita hanya bicara tentang pemenang, tidak pernah berbicara tentang orang kalah.
Media massa, media sosial, media elektronik kita atau media apapun, hanya menjejali otak kita dengan segala citra sukses. Sukses sering diukur dengan harta benda kita: uang, properti, emas, mobil mewah, jam tangan sport dari perancang terkenal yang umumnya digandrungi sampai semua jenis pakaian dengan mode mutakhir.
Semua orang mengukur kebahagiaan dari perolehan harta yang melimpah itu. Sekalipun itu adalah kebahagiaan semu. Inilah yang oleh Ignatius Loyola, seorang teolog dan mistikus sebagai salah satu penyebab kehancuran di dunia, yaitu politik tanpa prinsip.
Politik yang sejatinya untuk memperjuangkan kebaikan umum, justru berubah untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau keluarga. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun sulit dihindari.
Akibatnya, seni kepemimpinan politik telah digantikan oleh sekelompok pialang kekuasaan tanpa politik berprinsip sebuah panduan.
★Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel