Cepat, Lugas dan Berimbang

Meniti Ancaman Menggapai Damai

Persekongkolan
Pater Kons Beo, SVD (Dokumen Pribadi)

(sekadar satu perenungan)

“Pahlawan sejati adalah orang yang mengalahkan amarah dan kebenciannya sendiri….”
(Dalai Lama)

P. Kons Beo, SVD

Rasa aman itu kita ingini. Hidup mesti berjalan dalam damai. Kita mesti dimudahkan dengan banyak jaminan dan fasilitas. Demi alam hidup penuh sejuk dan damai itulah sekian banyak struktur ini dan itu diciptakan. Intinya bahwa kita tak boleh direpotkan dengan segala hal ikhwal yang kiranya mengancam dan hanya mengakibatkan situasi terombang-ambing tak karuan.

Bagaimana pun, siapa pun pada sadar bahwa hidup itu punya irama dan gejolaknya sendiri. Hidup tak bisa dikendalikan mutlak oleh kuasa manusiawi kita yang terbatas. Tidak kah hidup itu miliki alur dan dinamikanya yang tak terduga? Dan bukan kah ada saatnya ketika kita sepertinya mesti ‘terpaku menatap langit?’ Untuk merenung dan menanti jawaban-jawaban kehidupan yang tak sanggup kita pastikan?

Si bijak ingatkan: Memang tak selamanya masalah atau ancaman itu menjurus mutlak pada berakhirnya hidup kita (kematian). Namun, terdapat banyak hal yang sulit atau bahkan gagal kita kendalikan. Dan hal itu sudah berdampak pada rasa hati tak nyaman. Tak bebas. Alam batin penuh spontan seperti telah hilang melayang.

Susuri saja relasi kita yang retak bahkan pecah berantakan dalam keluarga (besar) sendiri. Kita jadi tak nyaman di tempat kerja karena ada salah paham yang sengit. Dalam perkumpulan, organisasi atau dalam kebersamaan kita mudah untuk saling selisih dan saling mencegat. Kita begitu cepat bereaksi membara walau untuk hal sepele. Apalagi bila hal itu berpautan dengan alam yang kompetitif penuh intrik. Iya, suasana terpanasi oleh persaingan yang tak sehat.

Kita, memang, telah berjuang membangun rasa damai dan aman. Tetapi, iya seperti itulah, bahwa banyak hal tak terduga yang mendadak bisa luluhlantakan semuanya. Hidup kita selalu dikitari ragam tragedi yang mengancam dan menghancurkan.

Dalam situasi serba tak menentu seperti ini, tulis si bijak, “Iman berubah jadi ketakutan. Jawaban menjadi pertanyaan. Dan kita berada di tempat asing tanpa peta.” Hidup benar-benar jadi rangkaian ancaman dan persoalan saat impian tak sesuai kenyataan. Dan di saat itu pula kita sendiri kehilangan pedoman dan arah untuk temukan satu dua solusi. 

Di titik praktis keseharian, tidak kah tanggungjawab, kepercayaan atau kewajiban sering dilihat sebagai ‘ancaman, beban, musuh yang mesti dielakkan?’ Orang menghindar atau lari dari kepercayaan dan kewajiban tugas, dan lalu hilang bersembunyi dalam ‘kesenangan dan suka-sukanya sendiri.’

Namun, dalam ‘penghindaran dan persembunyian’ itu sebenarnya beban rasa terancam dan tak nyaman justru semakin tebal menggumpal. Yang terjadi sebagai akibatnya adalah kita jalani hidup penuh kamuflase. Terdapat adanya turbulensi batin tak nyaman, penuh kontradiksi di dalamnya. Praktisnya begini, Bro….

Kita tampak damai nan teduh namun hati kita sebenarnya gersang nan kerontang; kita tertawa namun sebenarnya hati kita lagi jerit meratap; kita tampak kuat (mungkin saja karena masih berposisi) namun kita sebenarnya amat rawan dan ringkih dalam hadapi tantangan; kita terbang melayang di atas awan gemawan namun sesungguhnya kita lagi ‘tertati-tati merayap seperti lagi di debu tanah.’

Di kisi-kisi kehidupan tak menentu itu, -dan seperti itulah hidup-, tak ada kiat nan bijak selain berdirilah teguh dan damai untuk menghadapi semuanya. Kata si bijak “Ancaman harus dihadapi. Tetapi kita hanya dapat menghadapinya jika mempunyai tempat di mana kita dapat menyepi.”

Nouwen ada benarnya juga ketika berujar bahwa sekiranya, “Kita membiarkan pertanyaan kehidupan yang sulit menyentuh kita…walau menyakitkan.” Di dunia, kita tak hanya hadapi timbunan pertanyaan demi pertanyaan tentang banyak hal. Tetapi tentang kita sendiri pun dunia tetap ‘dalam tanya, dalam sangsi, dalam curiga, dalam serba ketidakmengertian’ yang lahirkan varian sikap terhadap kita. Maka?

Tak ada cara lain pula selain ‘sebaiknya kita pulang kepada diri sendiri dan menjumpai DIA yang memberi kehidupan.’ Kita memang sepantasnya ‘berdamai dengan diri sendiri. Memeluk diri yang tak indah mesti ditapaki. Sebab kita bakal tak sanggup memuaskan sepenuhnya siapapun dengan segudang tanya yang tak akan pernah tercukupkan apapun jawabannya.

Namun, sepantasnya kita tak pernah lupa pula untuk bersyukur dan ucapkan alhamdulilah atas pijaran Cahaya Kasih yang tetap kita dapatkan di tengah-tengah serba kelam dan  ketakpastian yang kita hadapi. Adakalanya kita dapatkan surprise kehidupan yang sama sekali tak kita bayangkan. Namun….

Tidak kah terdapat sekian banyak orang yang hadapi ancaman dan ketakpastian hidup dalam situasi hati tak menentu dan terasa asing?

Bagaimana pun di dunia yang terus bergulir dalam waktu, kita tak mesti menerawang segalanya dalam kebingungan dan rasa putus asa. Dalam rana kekristenan, sepantasnya tertanam dalam-dalam keyakinan pada Dia yang adalah “Jalan dan Kebenaran dan Kehidupan” (Yoh 14:6).

Tidaklah bernada over-spiritualistik sekiranya mesti sendengkan telinga dan menangkap penuh iman akan kata-kataNya, “Marilah kepadaKu, hai kamu semua yang letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegahan kepadamu” (Mat 11:28). Entah sampai kapan kita mesti bertahan hanya dalam kekuatan dan segala hebatnya kita, sementara Tuhan sendiri ingatkan kita bahwa “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5-6).

Akhirnya, insan beriman teguh pasti kembali pada Tuhan Segala Awal dan Akhir kehidupan, di dalam doa. Benarlah, bahwa doa tidak bebaskan kita untuk luput berlari dari kenyataan pahit kehidupan. Tetapi, doa dan sikap beriman itu sanggupkan kita untuk hadapi kenyataan hidup seperti apa adanya.

Sayangnya jika kita mengaku beriman (dan beragama), namun kita tampil panik kesetanan dalam kata dan tindak, dalam merawat dan uarkan ujaran kebencian penuh hasutan. Sesungguhnya jalan beriman ini masih panjang. Demi menggapai rasa damai yang sesungguhnya. Bukan damai  seperti yang kita kehendaki, melainkan kedamaian seturut kehendak Yang Mahakuasa, dan hanya di dalam Dia…

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel