Memiliki dan Menjadi dalam Sastra Dunia
Karakteristik terminologis dua kata itu dapat dirujuk secara sederhana dalam ilustrasi puitis dua buah sajak menarik. Sajak pertama diangkat dari kazanah kesusastraan Inggris abad ke 19, Tennyson yang berbunyi: kuntum di dinding retak/ aku menarik engkau dari dalamnya/ aku memegang engkau, akar dan seluruhnya dalam genggamanku/ kuntum mungil tapi jika aku sanggup memahami/ apakah engkau, akar dan semua dan semua di dalam semua/ aku seharusnya mengetahui siapakah Allah dan manusia.
Siratan makna tidaklah sukar dipahami. Sekuntum kembang menyemati dinding sebuah tembok retak. Keberadaannya in se bukan merupakan sebuah kenyataan yang terpaksa. Ia ada karena sungguh-sungguh merupakan bagian dari kreasi Sang Khalik yang menghendakinya untuk ada. Sebagaimana manusia yang ada karena ciptaan Sang Pencipta, demikianpun sekuntum bunga ada karena ia menjawabi secara jelas kehendak pencipta. Keberadaannya murni kehendak Sang Pencipta sebagai pengasal segala sesuatu.
Sayangnya, di balik keberadaan itu tersimpan persoalan. Tidak semua manusia memahami secara bijaksana artinya berada. Keberadaaan sering diidentikan dengan ada untuk dimiliki dan ada untuk memiliki. Sesuatu yang menarik akan dengan mudah memacu kehendak kita untuk memilikinya. Naluri ini jarang diabaikan ataupun luput dari pandangan mata posesif manusia.
Tak mengherankan jika sekuntum bunga yang menyemati dinding sebuah tembok retak begitu menggoda untuk mencabutnya. Ketika bercerai dengan huniannya, memisahkan dari habitatnya, bunga itu kehilangan identitasnya sebagai ciptaan yang hidup. Maka jadilah ia sebagai korban dari actus memiliki. Bunga itu tidak lagi menjadi sebagaimana adanya melainkan masuk dalam perangkap kehendak memiliki manusia yang dengan enteng menjadikannya sebagai sang empunya, tuan pemilik.
Sajak berikutnya merupakan racikan Basho (1644-1694), seorang penyair Jepang. Puisi kedua ini menunjukkan betapa berharga sebuah kuntum bunga nazuna. Keberadaannya menjadi kekayaan yang tidak harus tangan-tangan manusia ambil. Membiarkan sekuntum bunga bertumbuh pada sisi sebuah pagar adalah pilihan yang tepat. Harga keindahan yang mahal hanya bisa dibeli dengan pandangan mata apresiatif manusia. Dengan itu manusia telah menaruh harga yang tepat terhadap kehidupan yang begitu mulia. Sebagai balasannya manusia menerima pancaran keindahannya yang tiada tara sebagaimana yang Basho saksikan, ”saat aku menatap dengan saksama/ aku melihat nazuna berbunga/ pada pagar!”
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel