(sekadar satu perenungan)
P. Kons Beo, SVD
Kita terkesima pada yang rajin doa, pada yang rajin menyepi dan merenung. Kita kagum pada yang sulit absen untuk apapun kegiatan rohaniah.
Gelar ‘manusia spiritual’ kita sematkan pada dia ini dan dia itu yang meteraikan hidupnya atas banyaknya devosi. Yang tak pernah jauh dari lingkaran seputar gereja atau pun tempat-tempat ziarah.
Disiplin rohani sudah menjadi keseharian! Dia terbilang sebagai rutinitas yang tak samar.
Namun….
Tidak kah kita alami bahwa “disiplin rohani dapat berubah menjadi rutinitas yang tidak lagi memberikan kehidupan?” Iya, disiplin rohani dapat melelahkan kita. Di situ, jalan dan irama hidup terasa mandek dan bahkan sumpek. Tak ada ide yang mengalir. Tak tertangkap inspirasi hidup nan segar yang mencahayai. Kita jadinya letih, lesuh dan tak bergairah.
Soalnya? Kita terpola dalam isi dan cara meyakini: makin banyak aktif yang rohaniah, seperti halnya yang fisik – jasmaniah, semakin kreatif dan produktif lah hidup kita.
Ini tak selamanya benar. Dan ini tak harus jadi diktum yang diamini sejadinya.
Kita, sekali lagi, bisa keliru! Lalu? Kita, ada baiknya, mesti punya kesempatan untuk ‘keluar dari jebakan kedisiplinan rohani.’ Sesaat kita mesti kembali juga kepada ‘kekosongan kita.’
Artinya….
Bahwa kita masuk ke alam diri yang hampa. Ke alam yang tak sibuk, ramai dan sumpek. Kita mesti alami pikiran kita yang nihil. Yang tak dibelenggu oleh ide dan rencana itu atau maunya begini.
Yakinlah…
Bahwa ‘hidup kita bisa diperkaya dengan tidak melakukan apa-apa.’ Ketahuilah bahwa ‘bersantai juga bisa membuat kita berarti, sama seperti halnya bekerja.’
Tetapi juga….
Tidak kah kita sesekali lepaskan rantai rohani kita sambil kembali ke alam spontanitas? Di situlah kita temukan dan maknai kembali madah kemerdekaan diri dan ziarah hidup. Dari segala kisah dan tempat yang pernah kita lalui. Kosmos adalah tempat syering kehidupan terungkapkan dan dimaknai.
Jika semuanya ini benar dan sungguh terhayati, maka disiplin rohani itu hanyalah salah jalan kita menggapai Tuhan semesta, mendapatkan sesama-sesama kita dalam persahabatan dan mengalami alam serta lingkungan dalam keasriannya.
Disiplin rohani itu, kata si bijak, “tak sakral.” Dia tak boleh ditempatkan sekian elitis. Yang membatasi, atau bahkan menjerat kita ke alam yang ‘memisahkah kita’ dari keseharian dan dari apa adanya serta pada umumnya…
Karena itulah….
Kita sepantasnya dijarakkan dari imperium ‘disiplin rohani.’ Satu catatan penuh makna sekiranya pantas disimak:
‘Kadang kita harus melepaskan diri bukan dari dunia yang sibuk, tapi dari disiplin rohani kita yang menyibukkan, agar bisa mendapatkan energi untuk meneruskan perjalanan kita.’
Akhirnya baru tertangkaplah makna bahwa ‘hidup mesti juga dilepaskan dari alam super market yang serba wah penuh disiplin dan aturannya. Untuk mesti kembali juga dan nikmati lagi alam Pasar Mbongawani atau Pasar Senggol yang sumpek, ramai, jubel dan bersesakan….’
Bagaimana pun
Di situlah terdapat pula harapan dan impian tentang hidup ini….
Yang santai, ceriah dan penuh spontannya.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel