PW STO ANTONIUS DARI PADUA, IMAM DAN PUJANGGA GEREJA
Senin, 13 Juni 2022.
Bacaan: 1Raja-Raja 21: 1-16; Matius 5: 38-42
Nabot, seorang petani kecil di Yizreel mempunyai kebun anggur, di samping istana Ahab, Raja Samaria. Melihat posisinya yang dekat istana, berkatalah Ahab kepada Nabot: “Berikanlah kepadaku kebun anggurmu itu, supaya kujadikan kebun sayur, sebab letaknya dekat rumahku. Sebagai gantinya akan kuberikan kebun anggur yang lebih baik, atau jika engkau lebih suka, akan kubayar harga kebun itu dengan uang.” Jawab Nabot kepada Ahab, “Semoga Tuhan mencegah aku memberikan milik pusaka leluhurku kepadamu.” Mendengar jawaban Nabot, raja Ahab merasa amat kecewa, marah dan kesal hati. Begitu kecewa dan marah sampai ia berbaring saja di tempat tidurnya, menelungkupkan mukanya dan tidak mau makan” (1Raj 21: 1-4).
Dalam kondisi itu, datanglah Izebel istrinya menghibur dan meneguhkan raja Ahab suaminya itu. Ia berkata: “Bukankah engkau yang menjadi raja atas Israel? Bangunlah, makanlah, dan biarlah hatimu gembira. Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu.” Sesudah itu Izebel mulai ‘bermain’ dengan menulis surat atas nama Ahab dan mengirimnya kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam sekota dengan Nabot. Di depan saksi dua orang dursila (jahat), dibacakanlah surat itu, bunyinya: “Engkau telah mengutuk Allah dan raja.” Sesudah itu mereka membawa Nabot keluar kota dan melemparinya “dengan batu sampai mati” (1Raj 21: 5.7-10).
Dari kisah ini, ada dua butir renungan yang berguna bagi hidup kita.
1). Biarkan Manusia Hidup Menurut Haknya
Setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang melekat dengan dirinya. Menurut hak dan kebebasan itulah, manusia hidup dan mengembangkan kehidupannya. Tidak ada orang lain yang mencampuri urusan hak dan kebebasan setiap pribadi. Hanya bila hak dan kebebasan itu mengganggu, mengancam dan merusak kenyamanan dan keharmonisan hidup bersama, barulah hak dan kebebasan itu dibatasi ruang geraknya atau diatur dinamikanya. Dengan demikian kepentingan “bonum commune” kehidupan bersama dapat tercapai.
Dalam bingkai pemahaman ini, ada kesan kuat dalam kisah suci di atas, yaitu bahwa raja Ahab tidak mengakui dan menerima hak dan kebebasan Nabot untuk mempertahankan kebun anggur milik pusaka warisan leluhurnya. Mungkin karena Nabot orang kecil maka raja Ahab cenderung memaksakan kehendaknya untuk merampas dan mengambil kebun anggur Nabot untuk menjadi kebun sayurnya. Tetapi karena keinginan, kehendak dan kemauannya itu untuk mendapatkan kebun anggur Nabot tidak terpenuhi dan tidak tercapai, raja Ahab lalu menjadi amat kecewa, marah sampai mengunci diri dalam kamar dan bahkan mogok makan.
Berdasarkan kisah ini, hendaklah kita tidak memaksa orang lain atau memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain. Barangkali kita memiliki “power” yang besar karena kekuasaan, pangkat dan jabatan apa saja. Mungkin juga kita memiliki harta kekayaan yang banyak. Namun kekuasaan, pangkat dan jabatan tidak menjadi alasan untuk memaksa orang lain. Kita tidak dapat memaksakan kehendak dan keinginan kita kepada orang lain hanya karena “power” kita yang besar atau karena harta kekayaan kita yang melimpah ruah.
Dalam pandangan iman, kekuasaan dan pangkat, jabatan dan harta kekayaan bukanlah milik kita sendiri. Tetapi semua itu adalah karunia pemberian dari Tuhan untuk menyelamatkan kehidupan sendiri dan kehidupan orang lain. Secara manusiawi, kita memang berusaha dan berjuang untuk mencapai dan memiliki kekuasaan dan pangkat, jabatan dan harta kekayaan, Namun dalam maknanya yang terdalam, semua itu dikaruniakan atau diberikan kepada kita sebagai jalan atau sarana untuk melayani bukan hanya kehidupan sendiri, tetapi juga terutama untuk mengabdi atau melayani kehidupan bersama. Kekuasaan dan pangkat, jabatan dan harta kekayaan akan menjadi sia-sia bila kita hanya melayani diri dan kehidupan sendiri tanpa cinta dan perhatian, kepeduliaan dan pengabdian untuk orang lain dalam hidup bersama.
2). Menyelamat Hidup Sendiri Tanpa Mengorbankan Orang Lain
Izebel, istri raja Ahab sangat luar biasa. Ia sungguh menjadi contoh seorang istri yang baik. Ia amat memahami keadaan suaminya, Ia mencintai dan menyayangi suaminya. Ia menghibur, meneguhkan dan menguatkan suaminya itu. Bahkan ia mencari dan memberi solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi suaminya.
Namun sayang sekali, solusi yang dia ambil bukannya menyelamatkan Nabot, tetapi justru menghancurkan dan mematikan Nabot. Ia amat baik bagi suaminya sendiri, tetapi justru amat jahat bagi Nabot. Ia membela suaminya tetapi ia merebut dan merampas hak milik dan hak hidup dari Nabot. Ia menyelamatkan keluarganya sendiri, tetapi ia mengorbankan keluarga orang lain, yaitu keluarga Nabot.
Seperti Izebel, istri raja Ahab itu, tentu kita harus mencintai dan memperhatikan orang kita sendiri atau keluarga kita sendiri. Amat normal bila hidup pribadi kita sendiri dan hidup orang kita sendiri atau hidup keluarga kita sendiri berada pada urutan nomor pertama untuk dilayani, diperhatikan dan diselamatkan. Akan tetapi normalitas hidup seperti ini tidak berarti mengabaikan, meremehkan dan mengorbankan hidup orang lain.
Bila kita mengikuti logika iman, justru kehidupan orang lain mendapat prioritas dibandingkan dengan kehidupan sendiri. Sesudah mengasihi Tuhan Allah sebagai ‘hukum terutama dan pertama’, Yesus lalu berkata: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22: 39). Dengan mengasihi Tuhan, kita dapat mengasihi manusia. Dengan mengasihi sesama, kita dapat mengasihi diri. Secara negatif, kita tidak dapat mengasihi manusia tanpa lebih dahulu kita mengasihi Tuhan. Kita tidak dapat mengasihi diri tanpa lebih dahulu kita mengasihi orang lain.
Dalam logika ini, jalan kasih pada tingkat manusiawi bergerak dari dalam menuju keluar atau bergerak dari diri menuju kepada sesama. Secara konkrit, kita tidak dapat mengharapkan kasih dari orang lain tanpa lebih dahulu kita mengasihi orang lain. Kita tidak dihormati tanpa kita menghormati orang lain. Kita tidak dihargai tanpa kita menghargai orang lain. Kita tidak akan ditegur atau disapa tanpa kita menegur atau menyapa orang lain. Kita tidak dapat dihibur tanpa kita menghibur orang lain. Kita tidak dapat diteguhkan dan dikuatkan tanpa kita meneguhkan dan menguatkan orang lain. Kita tidak dapat diselamatkan tanpa kita menyelamatkan orang lain. Kita tidak dapat dikunjungi dan didatangi orang lain tanpa kita mengunjungi dan mendatangi orang lain.
Sebab itu, hendaklah kita bergerak dan berjuang selama hidup di dunia ini dengan mengikuti logika kasih dalam jalan iman. Dalam jalan iman, kasih secara vertikal mulai dari Tuhan dan bagi Tuhan. Secara horizontal, kasih mulai keluar baru masuk ke dalam atau mulai bergerak menuju orang lain baru menuju diri sendiri.
Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel