Bila Masih Mungkin Kita Menorehkan Batin

(sekadar heningkan isi jiwa dan mengalur arus pikiran)

P. Kons Beo, SVD

Kita sebenarnya bisa terjebak di ‘kemenduaan hati dan rasa.’ Antara maksud dan kata yang terungkap, kita sering terbentur dinding gelora rasa dan pikiran tak menentu. Bagaimana pun hasrat hati itu mengalir ‘lurus dan tak berbelok kelok.’

“Setangkai mawar yang kau beri, bisa beraroma mewangian kata-kata. Namun, sebenarnya, gelora suram hatimu berharap agar jemari si penerimanya bisa berdarah. Terluka oleh dedurian tangkai mawar itu.”

Di cakap-cakap kita…?

Ramai-ramai kita galang pendapat dan lalu runcingkan opini itu. Ungkapkan keyakinan dalam nalar berbalut rasa. Di situ kita ingin tiba pada factum. Dan di situ pula lah, kebenaran harus jadi milikku atau milik kita yang senafas. Dalam bicara-bicara lepas bersama, kita sering merasa telah yakin akan fakta atau telah tiba pada kebenaran itu.

Padahal, sebenarnya, di dalam cakap-cakap bersama itu, kita semua, bisa saja, telah ambruk dalam saling menyesatkan.

Sebab, kita begitu yakin bahwa kita telah bicara atas nama nilai. Suara kita itu diyakini lurus demi kebaikan bersama. Ini demi nama baik sesama yang tak boleh luntur. Tak boleh tertiup dan tercecer belepotan di sana sini. Padahalnya, semuanya hanyalah rangkaian kata-kata ‘seolah-olah.’ Iya, ‘seolah-olah kita bermaksud bening.’

Padahalnya?

Alih-alih bicara ‘atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas,’ bagai semerbak harum mewangi, kita sebenarnya telah bergerak dari kata hati yang miring. Kita sudah memulainya dengan menabur duri-duri. Atau bahwa kita telah awali dengan satu titik api. Dan berharap sekali bahwa api itu segera membesar, menyambar dan merambat kiri-kanan. Ke sana ke mari…

Untuk sesuatu yang kita asumsikan?

Tak ada fakta dan kebenaran pragmatis murni yang kita miliki. Kita bisa ‘dekati sesuatu dengan tafsiran.’ Begitulah kurang lebih, sederhananya, yang dapat ditangkap dari Nietschze. Karena tafsir, maka hal itu bisa bergantung dari kualitas relasi pribadi kita dengan seseorang itu. Pun karena tafsir, itu juga dipengaruhi alam ruang batin.

Maka, yakinlah…

Bila kita sejuk di hati dan tak sesak di rongga dada, pun bila pikiran kita tak berkabut suram, maka kita bakal melihat sesama dan dunia dalam terang. Iya, itu sepadan dengan ‘melihat segalanya dalam Kasih.’ Begitulah kurang lebih yang diyakini St Thomas Aquino.

Sayangnya….?

Sekiranya kita memandang, iya menafsir semuanya ‘penuh heboh nan bergejolak.’ Maka, segeralah bara api panas membakar. Kita bisa ‘melilitkan isu di leher sendiri. Lalu mulai bersemangat kibaskan dan hembuskan suasana panas.’ Kita jadinya telah takluk dan menyerah pada alam batin berkabut.

Dan lebih dari itu….?

Sekiranya kita jadikan diri sendiri sebagai ukuran penghakiman bagi sesama. Proklamasi diri sendiri sebagai ‘panglima kebenaran dan srikandi kesalehan’ jadi tak terhindarkan. Dan untuk sesama? Ia mesti tersekap dan terborgol dalam jeruji nista, hina dan bejat. Iya, dalam alam durjana!

Pahamilah….

Bukan kah terhadap sesama, sejatinya, tetap ada ‘ruang kosong dan dalam? Tak terselami sepenuhnya dan sesempurnanya? Kita bakal tak sanggup mengawal dengan ‘raungan sirene kegelisahan penuh heboh.’ Yang memaksa khalayak untuk menaruh perhatian dalam tanya penuh sangsi ‘yang bukan-bukan.’

Bukan kah…

Semua kita masih di kefanaan? Dan ‘Di bumi yang berputar pasti ada gejolak. Ikuti saja iramanya. Isi dengan rasa…’
Untuk menggapai sesama dalam sikap, aneka rasa, opini, dan segala tafsir sana sini, kita, ada bagusnya, ‘menorehkan batin kita sendiri.’ Sambil kita menata segala kesanggupan rohani kita sendiri. Membalut semuanya dalam Iman, Harapan dan Kasih…

Ini pun “Bila masih mungkin, kita menorehkan batin. Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas….”

Memang, terkadang kita merasa terpanggil untuk mengawal siapapun sesama. Dan bisa saja dalam pantauan dan kawalan sejadi-jadinya. Bagaimana pun, kita pun butuh ‘cadangan minyak kawalan’ demi diri dan ziarah hidup kita sendiri.

Ada saatnya, di suatu titik tertentu kita mesti berhenti, dan lalu membiarkan orang lain, iya sesamamu itu. Kita biarkan dia ‘pergi dan berlalu dalam untaian DOA dan HARAPAN kita yang tulus!’ Itulah ziarah batin Musa, yang dengan kebesaran hati, ‘membiarkan Yosua dan merelakan Bani Israel memasuki alam Tanah Terjanji.’ Tanpa pantauan dan pengawalannya lagi…

Mari pulang ke hadirat Yang Kuasa….

Setidaknya, setiap orang, termasuk sesama dan diri kita sendiri, miliki kisah-kisah berkat yang paling pribadi dalam Tuhan yang diimani. Dapat terjadi, bahkan diri kita sendiri pun tak bakal sanggup memahami. Semuanya, sepenuhnya, apalagi sesempurnanya…

“Masih kah kau ragu?”

Verbo Dei Amorem Spiranti

Qatar Airways – QR 959
September 2024

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV